Liputan6.com, Moskow - Pada akhir 1940-an dan awal 1950-an, pemerintah Uni Soviet pernah mempertimbangkan untuk bergabung dengan Pakta Kerja Sama Militer Atlantik Utara atau NATO, usai Perang Dunia II dan teror Nazi-Jerman yang menghantui Eropa.
Hal itu didorong oleh diskusi di Parlemen Inggris mengenai keperluan mengundang Moskow untuk bergabung organisasi keamanan tersebut.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Mengenai hal ini, Menteri Luar Negeri Uni Soviet Andrey Vyshinsky mengirim sebuah catatan ke London, mengusulkan untuk membicarakan kemungkinan Moskow bergabung dengan NATO. Namun, gagasan Soviet tak ditanggapi.
Di Balik Tawa Stalin
Isu tersebut mulai muncul kembali pada 1952 dalam sebuah pertemuan antara Stalin dengan Duta Besar Prancis untuk Moskow Louis Joxe.
Sang diplomat menjelaskan, menurut pemimpin Prancis Jenderal Charles de Gaulle, NATO adalah sebuah organisasi damai yang keberadaannya tidak bertentangan dengan Piagam PBB.
Stalin tertawa mendengarnya, dan bertanya apakah Uni Soviet harus bergabung dengan NATO.
Menurut sejarawan Natalia Egorova, kemungkinan besar ini hanya sarkasme Stalin. Namun, banyak ilmuwan yang menganalisis lebih dalam.
Sejarawan Nikolai Kochkin percaya perkataan Stalin serius, dengan bukti bahwa pada 1951 di Uni Soviet, Stalin berulang kali menyatakan bahwa Moskow "akan bergabung dengan aliansi tersebut", jika ini berkaitan dengan kemungkinan agresi dari Jerman di masa depan - terbelahnya Jerman merupakan isu terpenting di Eropa saat itu.
Kekhawatiran Soviet
Pada saat yang sama, Stalin berpikir bahwa NATO "mengacaukan PBB" karena aliansi tersebut memiliki "karakter agresif" sebagai "aliansi militer tertutup negara-negara" di tengah kurangnya pengaturan keamanan di Eropa.
Itulah sebabnya ketika pada tahun 1954 penerus Stalin - tiga serangkai yang terdiri dari Nikita Khrushchev, Georgy Malenkov dan Nikolai Bulganin - kembali membahas ide bergabung, Moskow mempertimbangkan beberapa hal.
Ini terkait prinsip kedaulatan, dengan alasan bahwa tidak tepat bagi NATO untuk mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Moskow juga tidak menyukai kehadiran militer Amerika di Eropa, dan ingin menghapus markas AS dari benua tersebut.
Kompromi Moskow
Ketika mengajukan proposal resminya ke Barat pada tanggal 31 Maret 1954, kepemimpinan Soviet tidak ingin terlalu menekankan syarat tersebut.
Kochkin mengutip sebuah memo Kemenlu yang menyatakan, "Masalah yang kami perhatikan harus dibentuk sedemikian rupa supaya pemerintah tiga negara (Inggris, Prancis, dan AS) tak berkesempatan melakukan langkah propaganda. "
Proposal tersebut ditambah lagi dengan gagasan Soviet lainnya - menandatangani sebuah perjanjian pan-Eropa mengenai keamanan kolektif.
Untuk menyingkirkan kemungkinan kritik dari Barat, Moskow melunakkan posisinya, mengundang AS untuk bergabung dalam sebuah perjanjian Eropa yang telah diusulkan. Sebelum bergabung, dinyatakan bahwa Washington tidak punya urusan apa-apa dengan Eropa.
Advertisement
Ancaman Terhadap Peradaban
Apa yang mendorong kepemimpinan Soviet untuk mendorong sebuah perjanjian keamanan Eropa dan mempertimbangkan bergabung NATO? Alasan Moskow dapat dilihat dari sebuah pidato oleh Perdana Menteri Soviet Georgy Malenkov pada tanggal 12 Maret 1954.
Ia mengingatkan tentang ancaman berakhirnya peradaban manusia sebagai akibat dari perang dunia ketiga yang berbuah menjadi konflik nuklir.
Pada bulan Mei 1954, pihak Barat menolak usulan Moskow, dengan menyatakan bahwa masuknya Uni Soviet tidak sesuai dengan tujuan demokratis dan pertahanan NATO. Gagasan dari perjanjian itu pun tidak disambut baik.
Menurut pendapat sejarawan Inggris Geoffrey Roberts, Soviet kemudian "terbuka untuk diskusi serius tentang pembentukan struktur keamanan pan-Eropa - negosiasi yang mungkin menyebabkan berakhirnya Perang Dingin."
Ia menyesalkan bahwa Barat merespons ajuan Uni Soviet dengan "lebih fleksibel".
Artikel asli dapat dibaca di sini.