Dubes AS, Prancis, dan Inggris Temui Pemerintah Indonesia, Bahas Situasi di Suriah

Dubes AS, Prancis, dan Inggris bersama-sama menemui Menlu RI selaku perwakilan Pemerintah Indonesia untuk membahas situasi di Suriah

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 19 Apr 2018, 14:21 WIB
Diterbitkan 19 Apr 2018, 14:21 WIB
(dari kiri ke kanan) Duta Besar Prancis, Amerika Serikat, dan Inggris usai menemui Menteri Luar Negeri RI di Kemlu, Jakarta (19/4/2018) (istimewa)
(dari kiri ke kanan) Duta Besar Prancis, Amerika Serikat, dan Inggris usai menemui Menteri Luar Negeri RI di Kemlu, Jakarta (19/4/2018) (istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Duta Besar Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris bersama-sama menemui Menteri Luar Negeri RI selaku perwakilan Pemerintah Indonesia, untuk membahas situasi di Suriah.

Pertemuan itu dilaksanakan di Kementerian Luar Negeri RI, pada Kamis 19 April 2018.

Secara spesifik, dialog yang dilakukan oleh ketiga dubes dan Menlu Retno Marsudi ditujukan untuk membahas mengenai dugaan serangan senjata kimia di Douma, Ghouta Timur, Suriah pada 7 April 2018. Serta, langkah AS-Inggris-Prancis yang merespons peristiwa itu dengan membombardir Suriah pada 14 April 2018.

"Kami meminta untuk bertemu dengan Ibu Menlu RI Retno Marsudi untuk menjelaskan situasi di Suriah dari sudut pandang kami. Meliputi, serangan senjata kimia di Douma beserta bukti dan legalitas serangan udara kami terhadap Suriah -- menyusul peristiwa di Douma," kata Dubes Inggris, Moazzam Malik, dalam pernyataan pers gabungan bersama Dubes AS dan Prancis usai bertemu dengan Menlu RI, Kamis (19/4/2018).

Lebih lanjut, Dubes AS Joseph Donovan Jr mengatakan kepada Menlu Retno bahwa komunitas internasional dalam beberapa kesempatan pernah menyebut Suriah terbukti menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya sendiri pada tahun-tahun sebelumnya.

Maka, atas dasar riwayat itu, beserta bukti yang beredar terkait serangan senjata kimia di Douma pada 7 April, koalisi tiga negara memutusukan untuk merespons peristiwa tersebut dengan membombardir beberapa fasilitas militer Suriah pada 14 April 2018.

Akan tetapi kala itu, komunitas internasional, seperti PBB, UN Chemical Weapon Convention (CWC), dan Organization of the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW) -- badan monitor CWC -- belum memverifikasi bukti serangan senjata kimia di Douma seperti yang diklaim oleh AS-Inggris-Prancis.

"Menurut kami, tidak ada cara lain selain membombardir pemerintahan Presiden Suriah Bashar Al Assad sebagai respons atas langkah mereka menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya sendiri. Itu mengapa kami melakukan serangan udara (pada 14 April)," Dubes Prancis Jean Charles Berthonnet menambahkan dalam kesempatan yang sama.

Sementara itu, pada waktu dan kesempatan terpisah, Pemerintah Suriah telah berkali-kali membantah mendalangi serangan senjata kimia di Douma. Begitu pun Rusia, yang merupakan sekutu dekat Presiden Bashar Al Assad. 

Kedua negara itu juga mengecam langkah AS-Inggris-Prancis yang membombardir Suriah sebagai respons atas peristiwa di Douma.

Rusia dan Suriah justru menyebut bahwa serangan senjata kimia di Douma, beserta bukti foto dan video yang beredar, merupakan fabrikasi dari organisasi bernama White Helmets. Mereka diketahui sebagai pihak yang pertama kali melaporkan kejadian itu dan mengedarkan bukti foto dan video tersebut.

White Helmets merupakan organisasi kemanusiaan yang beroperasi di Suriah. Eksistensi mereka, menurut berbagai pihak, disebut ambivalen.

Beberapa pihak, seperti Komite Palang Merah Internasional dan media Amerika Serikat The Wall Street Journal menyebut bahwa organisasi itu murni memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga terdampak konflik bersenjata dan Perang Saudara menahun di Suriah.

Tapi ada pula beberapa pihak -- seperti entitas atau media Rusia dan beberapa negara lain -- kerap mendiskreditkan White Helmets. Mereka kerap menyebut organisasi itu sebagai 'penerima dana dan pelaksana propaganda negara Barat'.

Terlepas dari klaim tersebut, saat ini, tim penyelidik independen internasional dari Organisasi untuk Larangan Senjata Kimia (OPCW) -- yang tiba di Suriah pada Sabtu, 14 April 2018 -- baru akan memulai penyelidikan atas peristiwa senjata kimia di Douma, Suriah.

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

Mengajak Indonesia untuk Bergabung dengan Koalisi

Serangan Senjata Kimia di Suriah
Asap mengepul ketika tentara Tentara Suriah bertempur pada 8 April 2018, di tanah pertanian di pinggiran timur Douma. (Foto: AFP)

Sementara itu, Duta Besar Inggris Moazzam Malik mengatakan, dalam pertemuan dengan Menlu RI, para dubes mengajak Pemerintah Indonesia untuk 'bergabung bersama AS-Inggris-Prancis' sebagai upaya bersikap secara 'lebih jauh' terhadap situasi di Suriah.

"Kepada Ibu Retno, kami mengajak pemerintah Indonesia untuk melakukan hal lebih ... bergabung dengan kami untuk menyeret Presiden Assad bertanggungjawab atas serangan senjata kimia (di Douma) yang jelas melanggar CWC dan hukum internasional," kata Moazzam di Kemlu RI, Kamis 19 April 2018.

"Apalagi, bulan depan, Indonesia akan bergabung dalam Komite Eksekutif OPCW," tambahnya.

Respons Kementerian Luar Negeri RI

Usai dialog bersama para dubes, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi tidak menyampaikan pernyataan kepada awak pers.

Meski begitu, salah satu pejabat Kementerian Luar Negeri menegaskan bahwa respons Menlu Retno kepada para dubes, beserta sikap Pemerintah Indonesia atas situasi di Suriah, 'tetap sama dengan pernyataan yang telah dirilis oleh Kemlu RI' pada akhir pekan lalu.

Sebelumnya, pada 15 April, Kementerian Luar Negeri RI mengungkapkan pernyataan sikap Indonesia atas peristiwa serangan senjata kimia di Douma dan bombardir AS-Inggris-Prancis terhadap Suriah.

Beberapa poin sikap Indonesia atas situasi di Suriah antara lain;

  1. Menyampaikan keprihatinan terhadap perkembangan yang terjadi di Suriah
  2. Mengecam keras atas penggunaan senjata kimia di Suriah oleh pihak manapun
  3. Mengimbau agar semua pihak dapat menahan diri dan mencegah terjadinya eskalasi situasi buruk di Suriah
  4. Menegaskan ke semua pihak untuk menghormati nilai dan hukum internasional, khususnya Piagam PBB mengenai keamanan dan perdamaian internasional
  5. Mengajak semua pihak untuk menjaga keamanan dan keselamatan masyarakat sipil, terutama wanita dan anak-anak yang selalu jadi prioritas, dan
  6. Menegaskan dan menekankan pentingnya penyelesaian konflik di Suriah secara komprehensif melalui negosiasi dan cara-cara damai.
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya