AS Pertimbangkan Semua Opsi untuk Suriah, Intervensi Militer Berlanjut?

Dubes AS untuk Indonesia mengatakan bahwa Washington akan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menindaklanjuti situasi di Suriah.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 17 Apr 2018, 20:20 WIB
Diterbitkan 17 Apr 2018, 20:20 WIB
Luluh Lantak, Begini Kerusakan Parah di Suriah Usai Diserang AS
Kondisi bangunan Pusat Penelitian Ilmiah Suriah yang hancur parah usai diserang oleh AS dan sekutunya di Barzeh, Damaskus (14/4). AS dan sekutunya, yakni Inggris dan Perancis menyerang Suriah melalui serangan udara pada Sabtu malam. (AP/Hassan Ammar)

Liputan6.com, Jakarta - Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Joseph Donovan Jr, mengatakan bahwa AS akan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk menindak-lanjuti perkembangan situasi yang terjadi di Suriah saat ini.

Komentar itu diutarakan oleh Donovan guna menyikapi serangan senjata kimia di Douma, Ghouta Timur, Suriah pada 7 April 2018. Negara Barat menuduh pemerintahan Presiden Suriah Bashar Al Assad dan sekutunya, Rusia, mendalangi peristiwa itu.

Sebagai respons atas serangan tersebut, AS, Inggris, dan Prancis merudal fasilitas militer Assad di Suriah pada 14 April 2018.

Ketika ditanya langkah apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh Negeri Paman Sam seputar situasi di Suriah, Donovan mengatakan "Kami akan mempertimbangkan semua langkah yang diperlukan," ujarnya di Jakarta, Selasa (17/4/2018).

"Kami akan terus menggunakan semua perangkat diplomasi yang kami miliki, tapi kami akan tetap terbuka juga dengan opsi lainnya," ujar sang Dubes.

Intervensi Militer AS Berlanjut?

Menyusul serangan rudal AS-Inggris-Prancis ke Suriah, beberapa pihak memprediksi bahwa Presiden Donald Trump akan melanjutkan berbagai opsi militer guna menghadapi pemerintahan Presiden Bashar Al Assad -- meski Trump telah berkicau lewat Twit; 'Misi telah selesai'.

Salah satu bukti adalah desakan Prancis yang meyakinkan Trump agar AS tetap mempertahankan pasukan militernya di Suriah.

"Kami yakinkan dia (Donald Trump) bahwa perlu agar mereka (tentara AS) tetap bertahan di Suriah," kata Presiden Prancis Emmanuel Macron seperti dilansir CNN, Senin 16 April 2018.

Bahkan, beberapa hari sebelum serangan rudal ke Suriah berlangsung, Donald Trump berencana untuk 'menyikapi dengan respons yang lebih tegas dan berdurasi lebih lama terhadap rezim Assad'.

Kendati demikian, beberapa anggota kabinet Trump dan politisi AS mengimbau sang presiden agar tidak bertindak demikian.

Seperti dilansir oleh The Wall Street Journal, Menteri Pertahanan AS James Mattis berkeberatan dengan langkah Trump untuk merudal Suriah. Termasuk, rencana Trump untuk memberikan respons lanjutan terhadap Presiden Assad pasca-serangan rudal.

"Mattis menginginkan 'respons yang lebih terbatas' yang tidak menimbulkan risiko konfrontasi meluas dengan pasukan Rusia," tulis The Wall Street Journal yang mengutip sumber-sumber pejabat AS yang anonim.

Rusia adalah salah satu negara yang mendukung pemerintahan Presiden Assad dalam Perang Saudara Suriah yang telah berlangsung sejak 2011.

Di sisi lain, saat ini Amerika Serikat memiliki sekitar 2.000 pasukan di Suriah Utara, dalam kapasitasnya sebagai penasihat bidang kemiliteran untuk membantu milisi lokal anti-Assad yang tengah memerangi kelompok teroris.

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

 

Sikap Rusia dan Suriah

Luluh Lantak, Begini Kerusakan Parah di Suriah Usai Diserang AS
Kondisi bangunan Pusat Penelitian Ilmiah Suriah yang hancur parah usai diserang oleh AS dan sekutunya di Barzeh, Damaskus (14/4). Serangan itu menyisakan puing-puing bangunan yang luluh lantak akibat rudal. (AP/Hassan Ammar)

Pasca-serangan rudal Amerika Serikat ke Suriah, Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut langkah militer AS sangat berisiko memicu kekacauan geo-politik.

Pernyataan tersebut disampaikan Putin ketika melakukan sambungan telepon dengan Presiden Iran, Hassan Rouhani, sehari setelah serangan udara yang dipimpin Amerika Serikat bersama Inggris dan Prancis.

Iran -- yang mengerahkan milisi dan pasukan Garda Revolusi -- merupakan salah satu negara pendukung pemerintahan Presiden Bashar Al Assad dalam Perang Saudara Suriah yang telah berlangsung sejak 2011.

Dikutip dari South China Morning Post, Senin 16 April 2018, pemimpin Rusia dan Iran itu juga sepakat menyatakan bahwa serangan tersebut merusak prospek penyelesaian konflik di Suriah.

Sementara itu, Presiden Assad mengklaim bahwa opsi militer yang dilakukan oleh Amerika Serikat Cs merupakan sebuah agresi terhadap pemerintahan yang berdaulat.

Assad juga mengkritik bahwa AS menjustifikasi bombardir itu dengan menggunakan peristiwa serangan senjata kimia di Douma, Ghouta Timur, Suriah pada 7 April 2018 lalu -- di mana sang presiden membantah terlibat dalam kejadian tersebut.

Di sisi lain, beberapa rakyat Suriah anti-Assad dikabarkan menyambut baik opsi militer yang dilakukan oleh AS.

"Suriah bersuka cita! Kemustahilan bagi mentalitas Eropa! Tapi di sini, di Suriah, semuanya akan baik-baik saja," menurut laporan jurnalis Rusia di Damaskus, seperti dikutip dari Al Arabiya.

Tapi di lain hal, para pendukung Assad dan militer Suriah disebut-sebut lebih melihat serangan Amerika Serikat dan sekutunya hanya sebagai simbolis dibanding "perubahan taktik" yang mampu mendobrak status quo di kawasan.

Intervensi rudal AS-Prancis-Inggris ke Suriah juga dinilai tidak akan mengubah momentum dukungan terhadap Assad dalam perang saudara yang telah berkecamuk selama tujuh tahun.

Setelah mengutuk serangan udara Amerika Serikat, Kementerian Luar Negeri Suriah merilis pernyataan yang menjanjikan, Damaskus akan terus melanjutkan kampanye militer melawan oposisi atau yang mereka sebut sebagai takfiri atau ekstremis.

"Serangan yang dipimpin Amerika Serikat, tidak akan memengaruhi tekad dan kehendak rakyat Suriah dan angkatan bersenjata untuk terus memburu sisa-sisa teroris takfiri dan membela kedaulatan Suriah," sebut pernyataan Kementerian Luar Negeri Suriah.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya