Tersandung Krisis Rohingya, Aung San Suu Kyi Tetap 'Pegang' Nobel Perdamaian

Nobel Perdamaian yang diraih oleh Aung San Suu Kyi pada 1991 dipastikan tidak akan ditarik terkait krisis Rohingya. Ini alasannya.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 30 Agu 2018, 11:31 WIB
Diterbitkan 30 Agu 2018, 11:31 WIB
Akhiri Masa Diam, Aung San Suu Kyi Angkat Bicara Soal Krisis Rohingya
Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi menyampaikan pidato nasional terkait Rohingya di Naypyidaw (19/9). Dalam pidatonya, ia menjelaskan bahwa Pemerintah Myanmar tidak lari dari tanggung jawab. (AFP Photo/Ye Aung Thu)

Liputan6.com, Napyidaw - Komite Nobel di Norwegia belum lama ini memastikan Aung San Suu Kyi tidak akan kehilangan nobel perdamaian yang diraihnya, meski PBB baru saja menyatakan bahwa militer Myanmar melakukan pembunuhan massal terhadap Rohingya.

Pada Senin, 27 Agustus, penyelidik PBB mengatakan militer Myanmar melakukan pembunuhan dan pemerkosaan dengan "niat genosida". Ditambahkan bahwa panglima tertinggi dan lima jenderal harus dituntut atas kejahatan berat di bawah hukum internasional.

Dikutip dari The Guardian, Kamis (30/8/2018), Aung San Suu Kyi, yang memimpin pemerintahan Myanmar dan meraih Nobel Perdamaian pada 1991 --untuk kampanye demokrasi-- dikritik dunia karena gagal menentang praktik penindasan di Negara Bagian Rakhine.

Sejak operasi dimulai setahun yang lalu, puluhan ribu Rohingya dilaporkan meninggal dan 700 ribu lainnya telah melarikan diri. Sebagian besar tinggal di kamp-kamp pengungsi di negara tetangga Bangladesh.

Olav Njoelstad, sekretaris Komite Nobel Norwegia, mengatakan pada Senin, "Penting untuk diingat bahwa hadiah Nobel, baik dalam bidang fisika, sastra, atau perdamaian, diberikan untuk beberapa upaya atau pencapaian berharga dari masa lalu."

"Aung San Suu Kyi memenangi hadiah Nobel untuk perjuangannya demi demokrasi dan kebebasan hingga 1991, tahun ketika dia dianugerahi hadiah," Njoelstad menjelaskan.

Aturan yang mengatur pemberian Nobel tidak memungkinkan untuk ditarik kembali, termasuk pada kasus yang menyinggung Aung San Suu Kyi, katanya lagi.

Komite Nobel Norwegia terdiri dari panel lima warga terpilih Norwegia, sebagian besar merupakan mantan politikus dan akademisi setempat, yang mencerminkan kekuatan berbeda di parlemen Norwegia.

Pada 2017, ketua komite, Berit Reiss-Andersen, juga mengatakan tidak akan menghapus penghargaan itu, menyusul kritik sebelumnya terhadap peran Aung San Suu Kyi dalam krisis Rohingya.

"Kami tidak melakukannya. Bukan tugas kami untuk mengawasi atau menyensor apa yang dilakukan seorang pemenang setelah hadiah dimenangkan," kata Reiss-Andersen.

"Para pemenang harus menjaga reputasi mereka sendiri," dia menegaskan.

 

* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini

 

Simak video pilihan berikut: 

 

Aung San Suu Kyi Didesak Bertanggung Jawab

Banjir dan Tanah Longsor Ancam Ratusan Ribu Pengungsi Rohingya
Seorang pengungsi Rohingya menaiki tangga di perbukitan yang berada di Kamp Pengungsi Kutupalong, Bangladesh, 28 April 2018. Bangunan-bangunan pengungsian berdiri di atas tanah berlumpur yang sangat minim pepohonan. (AP Photo / A.M. Ahad)

Laporan tim pencari fakta PBB untuk Myanmar menyebut bahwa pemerintah sipil, yang secara de facto dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, turut bertanggung jawab atas krisis kemanusiaan yang menimpa kelompok etnis dan agama minoritas, termasuk Rohingya, di negara itu.

Pemerintah sipil, kata laporan itu, "telah gagal menyuarakan penentangan atas peristiwa yang terjadi, menyebarkan 'narasi palsu', mengawasi penghancuran bukti di negara bagian Rakhine dan menghalangi penyelidikan independen."

"Melalui tindakan dan kelalaian mereka, pihak pemerintah sipil telah berkontribusi terhadap kejahatan keji tersebut," tambah laporan TPF Myanmar.

"Aung San Suu Kyi tidak menggunakan posisi de facto-nya sebagai kepala pemerintahan, dan tak juga menggunakan moralitasnya, untuk membendung atau mencegah peristiwa yang terjadi di Rakhine."

"Pemerintah dan Tatmadaw (militer Myanmar) telah mengembangkan iklim di mana pidato kebencian tumbuh subur, pelanggaran hak asasi manusia dilegitimasikan, serta hasutan untuk diskriminasi dan kekerasan justru difasilitasi."

Juru bicara pemerintah dan militer Myanmar disebut belum memberikan komentar ketika dimintai keterangan oleh berbagai media asing.

Sebelumnya, para pemimpin Myanmar telah mengutarakan dalih dengan menegaskan secara pribadi kepada pejabat asing yang mempertanyakan krisis Rohingya bahwa Naypyidaw tidak mengontrol para jenderal militer atau tindakan mereka.

Namun, secara publik, pemerintah sipil mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan yang baik dengan angkatan bersenjata (Tatmadaw), berkomitmen untuk memukimkan kembali ratusan ribu orang muslim Rohingya yang melarikan diri setelah tindakan keras militer, dan bekerja untuk memperbaiki kondisi kemanusiaan di negara bagian Rakhine.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya