Liputan6.com, Jakarta - Sebagaimana diketahui, Amerika Serikat terkenal sebagai negara yang menerapkan kebijakan internasional aktif.
Sepanjang sejarah, melalui kebijakan internasional aktif tersebut, Negeri Paman Sam juga giat melakukan intervensi pada sebuah negara yang dianggap oleh AS mengalami 'krisis'.
Negara yang kini dipimpin oleh Presiden Donald Trump itu juga menganggap dirinya seakan-akan sebagai 'The Global Police' -- polisi global. Mereka memiliki tendensi tinggi untuk mencampuri urusan dalam negeri suatu negara, dan menegakkan hukum di negara tersebut sesuai dalil kebenaran versi AS.
Advertisement
Baca Juga
Terkadang, tindakan untuk mengintervensi situasi politik di negara lain juga dilakukan atas justifikasi 'melindungi keamanan nasional' Amerika Serikat. Akan tetapi, seringkali aksi Negeri Paman Sam justru dibarengi dengan dugaan motif bisnis hingga politik. Seperti mengamankan bisnis minyak di Timur Tengah, atau membendung pengaruh Uni Soviet di sejumlah negara pada Perang Dingin.
Cara yang dilakukan AS dalam melakukan intervensi pada suatu negara pun bermacam-macam. Mulai dari cara politik terbuka hingga politik tersembunyi; melalui pendanaan kudeta domestik, militer, pembunuhan politik, hingga intelijen dan spionase.
Dari berbagai peristiwa kudeta yang ada, berikut 4 intervensi intelijen Amerika Serikat --yang telah terkonfirmasi-- untuk melengserkan sebuah rezim pemerintahan negara di dunia, seperti yang dirangkum oleh Liputan6.com dari Foreign Policy dan situs resmi CIA, Minggu (2/9/2018).
* Saksikan keseruan Upacara Penutupan Asian Games 2018 dan kejutan menarik Closing Ceremony Asian Games 2018 dengan memantau Jadwal Penutupan Asian Games 2018 serta artikel menarik lainnya di sini.
Simak video pilihan berikut:
1. Iran, 1950-53
"Penggulingan Perdana Menteri Iran Mohammed Mossadegh adalah kudeta paling awal di era Perang Dingin yang telah diakui oleh pemerintah AS," tulis J Dana Stuster, analis di National Security Network, dalam artikelnya yang dirilis di Foreign Policy.
Menurut literatur sejarah operasi CIA yang baru saja dipublikasikan, seperti dikutip dari Foreign Policy, kudeta itu "Dipicu atas potensi ... yang membuat Iran terbuka untuk agresi Soviet - pada saat ketika Perang Dingin mencapai puncaknya dan ketika AS terlibat dalam perang yang dideklarasikan di Korea melawan pasukan yang didukung oleh Uni Soviet dan China."
"Itu memaksa Amerika Serikat turut serta dalam perencanaan dan pelaksanaan TPAJAX (nama kode operasi kudeta di Iran),"
Pada awal 1950-an, Mohammad Mossaddegh merupakan perdana menteri Iran yang terpilih secara demokratis. Setelah menjabat, Mossaddegh berupaya untuk mendapatkan kontrol nasional atas ladang minyak di negara itu.
Dalam upayanya untuk mengontrol kilang minyak nasional Iran, sang perdana menteri mulai mengaudit Perusahaan Minyak Anglo-Iran (AIOC) yang berasal dari Inggris. Hal itu membuat Amerika Serikat was-was.
Ketakutan AS adalah, jika Mossaddegh berhasil mendapat kontrol penuh AIOC, dalam waktu dekat Uni Soviet --seteru AS pada Perang Dingin dan secara geografis dekat ke Iran-- akan melakukan pendekatan dan menanamkan pengaruhnya kepada sang perdana menteri.
Atas alasan itu, CIA mulai berencana untuk menggulingkan Mossaddegh, dengan harapan dapat menegaskan kembali kekuatan Shah Mohammad Reza Pahlavi sebagai raja yang kemudian menisbatkan Jenderal Fazlollah Zahedi sebagai pemimpin baru Iran.
Gugus tugas gabungan intelijen AS - Inggris mulai aktif melakukan pendanaan ke berbagai kelompok oposisi Mossaddegh di Iran. Kelompok itu kemudian melakukan sejumlah plot teror yang dirancang untuk melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan Mossaddegh.
Selain itu, Inggris melalui AIOC turut mengucurkan kocek untuk menyuap sejumlah pejabat Iran yang pro-Barat, dan menjadikan Mossadegh sebagai persona-non-grata.
Kudeta terselubung AS - Inggris 1953 itu berhasil. Sekitar 300 orang pro-Mossadegh tewas dan ratusan lainnya dipenjara dan dijatuhi hukuman mati oleh mahkamah militer kelompok oposisi.
Raja Pahlavi berhasil memimpin selama 26 tahun, sebelum sentimen anti-AS di Iran muncul. Sentimen itu muncul akibat persepsi negatif warga Iran terhadap keterlibatan AS dalam politik Timur Tengah. Yang akhirnya menghasilkan Revolusi Iran 1979 dan menggulingkan Reza Pahlavi dari pucuk kekuasaan.
Advertisement
2. Guatemala, 1954
Amerika Serikat awalnya mendukung Presiden Guatemala Jacobo Árbenz yang menjabat pada 1950-an, yang mana Kementerian Luar Negeri merasa bahwa kebangkitannya melalui militer yang dilatih dan dipersenjatai AS akan menjadi keuntungan pengaruh Washington di Amerika Latin.
Namun, hubungan itu memburuk ketika Árbenz mencoba serangkaian reformasi kepemilikan tanah dan menasionalisasi perusahaan AS, United Fruit Company, yang beroperasi di Guatemala.
AS akhirnya melancarkan operasi kudeta tahun 1954 yang memaksa Árbenz terguling dari kekuasaan dan membuka jalan bagi junta militer yang didukung AS memerintah Guatemala.
Detail rahasia keterlibatan CIA dalam penggulingan Arbanez, yang termasuk melengkapi pemberontak dan pasukan paramiliter, hingga upaya Angkatan Laut AS memblokade pantai Guatemala, terungkap pada tahun 1999.
Anda dapat membaca plot lengkap kudeta tersebut di situs web resmi pemerintah CIA di sini.
3. Kongo Belgia, 1960
Kongo Belgia (hari ini Republik Demokratik Kongo) baru saja mendapatkan kemerdekaannya dari kolonis Belgia dan pemerintah baru mengambil langkah-langkah kecil menuju negara yang berdaulat.
Namun, sayangnya, kemerdekaan itu terjadi di tengah konflik pengaruh dan kebijakan antara AS dan Uni Soviet pada era Perang Dingin di Afrika.
Figur yang terperangkap dalam semua itu adalah Perdana Menteri Patrice Lumumba, seorang Pan-Afrika yang berkeinginan kuat agar Belgia tidak pernah kembali ke negaranya --sebuah sikap yang dibaca oleh AS sebagai anti-kapitalis.
Patrice Lumumba, perdana menteri pertama Kongo, diusir dari jabatannya oleh Presiden Joseph Kasavubu di tengah intervensi militer Belgia yang didukung AS di negara itu --dalam seuah upaya keras untuk mempertahankan kepentingan bisnis Belgia setelah dekolonisasi negara.
Meski lengser, Lumumba tetap berhasil mempertahankan pengaruh siginifikan di Kongo. Ia kemudian mendekati Uni Soviet untuk meminta bala bantuan.
Lumumba semakin ditargetkan oleh CIA, yang kemudian memainkan pengaruhnya dengan pemerintahan Kongo untuk segera menyatakan pria itu sebagai ancaman terhadap pemerintahan baru Joseph Mobutu.
Setelah upaya pembunuhan yang gagal terhadap Lumumba, CIA memperingatkan pasukan Kongo ke lokasi Lumumba dan memerintahkan jalan-jalan untuk diblokir dan rute pelarian potensial ditutup.
Lumumba ditangkap pada akhir 1960 dan dibunuh pada bulan Januari tahun berikutnya.
Komite Gereja, komisi 11-senator yang dibentuk pada 1975 untuk mengawasi tindakan klandestin dari komunitas intelijen AS, menemukan bahwa CIA "terus mempertahankan hubungan dekat dengan warga Kongo yang menyatakan keinginan untuk membunuh Lumumba," dan bahwa "petugas CIA didorong dan ditawarkan untuk membantu orang-orang Kongo ini dalam upaya mereka melawan Lumumba," demikian ujar J Dana Stuster, analis di National Security Network, dalam artikelnya yang dirilis di Foreign Policy.
Advertisement
4. Chile, 1973
Pada tahun 1970, Salvador Allende menjadi presiden Chile, satu-satunya figur komunis di seluruh Amerika Selatan yang mendapatkan pekerjaan tertinggi negaranya melalui proses pemilu demokrasi yang sah.
Segera, dia mulai memerintah dengan menganjurkan reformasi kiri yang keras yang membuat Washington dalam keadaan panik tentang sebuah negara yang secara sukarela menjadi komunis.
Belum lama Allende memerintah, Badan Intelijen AS (CIA) memulai plot kudeta terhadap sang presiden Chile --yang ternyata gagal.
Ketika itu gagal, CIA menghabiskan 3 tahun ke depan berada di belakang layar untuk mengatur berbagai plot kudeta, mencampuri perekonomian Chile, dan bertukar intelijen dengan unsur-unsur tentara yang ingin Allende mati.
Upaya AS untuk mengganggu ekonomi Chile berlanjut sampai Jenderal Augusto Pinochet dari militer Chile memimpin kudeta militer terhadap Allende pada tahun 1973.
Laporan resmi CIA tentang perebutan kekuasaan pada 11 September 1973, mencatat bahwa lembaga itu "mengetahui adanya kudeta oleh militer, memiliki hubungan pengumpulan intelijen berkelanjutan dengan beberapa komplotan (di Chile), dan --karena CIA tidak menyurutkan pengambilalihan dan berusaha untuk memicu kudeta pada tahun 1970-- kemudian memaafkan apa yang dibuat oleh Pinochet."
"CIA juga melakukan kampanye propaganda untuk mendukung rezim baru Pinochet setelah dia berkuasa pada tahun 1973, meskipun Washington mengetahui pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk pembunuhan para pembangkang politik yang dilakukan oleh sang jenderal," ujar J Dana Stuster, analis di National Security Network, dalam artikelnya yang dirilis di Foreign Policy.
Augusto Pinochet mengambil kendali pemerintahan dan menghabiskan lima belas tahun berikutnya menyempurnakan seni penggelapan dan penyiksaan, mencuri US$ 17 juta dari negara itu, membuat lebih dari 3.000 pembangkang terbunuh, dan 28.000 lainnya disiksa. Dibandingkan dengan rekam jejak Pinochet, sulit untuk melihat bagaimana Allende bisa memerintah secara jauh lebih buruk.
* Baca sejumlah peristiwa kudeta selengkapnya di Foreign Policy, atau di situs operasi intelijen historis resmi CIA di cia.gov/library/center-for-the-study-of-intelligence/