Kata Mantan PM Kevin Rudd soal Rencana Pemindahan Kedutaan Australia ke Yerusalem

Kevin Rudd, mantan perdana menteri Australia, berkomentar soal pemindahan kedutaan besar Negeri Kanguru dari Tel Aviv ke Yerusalem.

oleh Afra Augesti diperbarui 09 Nov 2018, 07:00 WIB
Diterbitkan 09 Nov 2018, 07:00 WIB
Mantan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd
Mantan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd ketika mengisi acara yang diadakan oleh FPCI bertajuk "The US, China, & ASEAN: Can The Right Equilibrium be Found?" di Jakarta, Kamis, 8 November 2018. (FPCI/Liputan6.com/Afra Augesti)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan perdana menteri Australia, Kevin Rudd, menyayangkan keputusan Perdana Menteri Australia saat ini, Scott Morrison, terkait rencananya untuk memindahkan kedutaan besar (kedubes) Negeri Kanguru yang ada di Tel Aviv (Israel) ke Yeruslaem (Palestina).

Pada bulan Oktober, Morrison mengatakan bahwa ia sedang mempertimbangkan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Ia pun mengumumkan bahwa pihaknya akan membahas kemungkinan pemindahan gedung kedubes.

Namun di satu sisi, Australia tetap berkomitmen terhadap solusi dua negara (two-states solution) dalam menangani konflik antara Israel dan Palestina. Meski demikian, Rudd menyebut keputusan Morrison sebagai sebuah tindakan yang tidak bertanggung jawab dan tidak cerdas.

Ia pun memperingatkan bahwa sikap Australia tersebut bisa memicu gelombang protes kekerasan di Timur Tengah.

Menurut perdana menteri ke-28 Australia itu, Morrison bahkan ingin meninggalkan konsensus bipartisan yang dipegang lama dalam politik Australia, mengenai status Yerusalem. Menjadikannya "kambing hitam" untuk tujuan politik domestik.

"Sangat disesalkan bahwa Perdana Menteri Morrison telah memilih untuk keluar dari konsensus bipartisan Australia yang sudah lama berdiri. Tampaknya, dia melakukan itu untuk memenuhi kepentingan elemen-elemen dari lobi sayap kanan Israel di Australia, demi tujuan politik domestik," katanya saat menjadi pembicara dalam acara yang diadakan oleh FPCI bertajuk The US, China, & ASEAN : Can The Right Equilibrium be Found? di Jakarta, Kamis (8/11/2018).

"Pandangan Australia tentang isu-isu seperti proses perdamaian Timur Tengah, dianggap serius di mata dunia, sebab Australia adalah kekuatan tengah yang dihormati," lanjutnya.

Dengan memindahkan kedubes, menurut Presiden Asia Policy tersebut, berarti Australia siap untuk mengorbankan kredibilitas politik internasionalnya demi keuntungan Israel, serta mendapatkan reaksi yang sangat negatif dari negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, khususnya Indonesia.

Mantan PM Australia lainnya, Malcolm Turnbull, baru-baru ini memperingatkan tentang respons Indonesia jika proposal untuk memindahkan kedutaan ditandatangani dan Australia secara diplomatis mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Usulan pemerintah Morrison itu telah memantik kekhawatiran soal penandatanganan perjanjian perdagangan bebas (free trade) antara kedua negara, Indonesia dan Australia. Bila proposal direalisasikan, ada kemungkinan Indonesia bakal menunda ratifikasi.

"Itulah sebabnya, mengapa pemerintah Australia telah lama mendukung solusi dua negara, dan mengapa kami mendukung Kedutaan Besar Australia untuk tetap berada di Tel Aviv, serta menolak tekanan dari Benjamin Netanyahu (perdana menteri Israel) yang meminta kami untuk memindahkan kedutaan ke Yerusalem," tutur Rudd yang pernah menjadi pemimpin Partai Buruh Australia.

Rudd menegaskan bahwa penduduk Palestina akan semakin merasa terasing di negerinnya sendiri, radikalisme akan kian tumbuh dan intifada (gerakan rakyat Palestina untuk melawan Israel) jilid tiga bisa saja terjadi.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

Apa yang Akan Dilakukan RI?

Warga Palestina membentang bendera negara mereka, bergembira menyambut rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah
Warga Palestina membentang bendera negara mereka, bergembira menyambut rekonsiliasi antara Hamas dan Fatah (AP Photo/Khalil Hamra)

Sementara, pemerintah Indonesia akan menyesuaikan kebijakan luar negerinya terhadap Australia, menyusul niat Negeri Kanguru, pada 16 Oktober 2018, untuk memindahkan kedutaannya di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.

"Isu yang berkaitan dengan Palestina merupakan hal penting bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, serta merupakan mandat konstitusi kita," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir beberapa waktu lalu, mengawali jawabannya ketika ditanya apakah rencana tersebut akan memicu perubahan sikap Indonesia dalam hubungan bilateralnya dengan Australia.

Melanjutkan, Arrmanatha mengatakan, "Tentu kita akan menyesuaikan kebijakan atau tindakan kita, tergantung pada situasi yang ada."

Tapi, Arrmanatha menambahkan, "Namun, saya tidak bisa meramal atau juga memutuskan langkah apa yang akan kita ambil jika hal itu terjadi pada waktu dekat."

Meski begitu, Arrmanatha menegaskan, bukan berarti sikap itu diinterpretasikan bahwa hubungan bilateral Indonesia-Australia 'menjadi nomor dua' dalam kebijakan luar negeri RI. "Saya tidak bilang begitu ya," jelasnya.

"Yang saya katakan adalah, isu Palestina sangat penting. Hubungan bilateral Indonesia-Australia dan bilateral Indonesia dengan para negara tetangga, juga sangat penting."

"Kami mengambil langkah (terkait kebijakan luar negeri) selaras dengan prioritas Indonesia. Hubungan bilateral Indonesia-Australia adalah salah satu prioritas. Tentu saja kita akan mengambil langkah dan kebijakan sesuai dengan prioritas itu."

"Isu Palestina juga salah satu prioritas, dan kita juga akan mengambil langkah serta kebijakan sesuai dengan prioritas itu," jelas Arrmanatha.

Komentar itu datang setelah Perdana Menteri Australia Scott Morrison, pada 16 Oktober 2018, mempertimbangkan opsi untuk memindahkan kedutaan Australia di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Rencana itu dinilai bermuatan politis domestik, karena, diumumkan menjelang pemilihan anggota House of Representative Australia (setara DPR) yang akan diselenggarakan pada 20 Oktober 2018. Tujuannya, demi mendulang suara calon pemilih Yahudi kepada kandidat dari partai yang sama dengan Morrison, Partai Liberal Australia.

Palestina dan sejumlah negara pendukungnya, termasuk Indonesia, mengkhawatirkan keras rencana tersebut.

Menteri Luar Negeri Palestina, Riyad al-Maliki, pada 16 Oktober, mengatakan bahwa niat Australia --jika terlaksana-- merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional dan berbagai Resolusi Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB.

Maliki juga mengatakan, "Niat Australia berisiko mengganggu hubungan bisnisnya dengan seluruh dunia, terutama, negara Arab dan negara mayoritas muslim."

Indonesia, sebagai salah satu negara pendukung setia Palestina, mengkhawatirkan dan mempertanyakan niat Australia tersebut.

"Indonesia menyatakan kekhawatirannya terhadap pengumuman Australia dan kami mempertanyakan maksud dari hal itu," kata Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi saat menyampaikan keterangan pers bersama dengan Menlu Maliki di Jakarta pada 16 Oktober 2018.

Retno juga menjelaskan bahwa isu Yerusalem merupakan salah satu dari 6 isu yang harus dinegosiasikan dan diputuskan sebagai bagian akhir dari perdamaian yang komprehensif. Itu sesuai resolusi Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum PBB serta kesepakatan berbagai proses perundingan yang telah dilakukan.

"Karena itu Indonesia meminta Australia dan negara lain untuk terus mendukung proses perdamaian Palestina-Israel sesuai dengan kesepakatan yang sudah disepakati dan tidak ambil langkah yang dapat mengancam proses perdamaian dan stabilitas keamanan dunia."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya