Liputan6.com, Jakarta - Baru-baru ini muncul kabar yang menyebut bahwa sekitar 300 mahasiswa asal Indonesia menjalani kerja paksa di Taiwan.
Kabar itu pertama kali tersiar lewat sebuah pemberitaan media di Taiwan pada akhir Desember 2018.
Dalam pemberitaan itu, disebutkan mengenai penyelidikan yang dilakukan oleh satu anggota Parlemen Taiwan dari Partai Kuomintang --yang beroposisi dengan pemerintahan Presiden Tsai Ing-wen-- Ko Chih-en. Ia menjelaskan, mahasiswa RI itu merupakan pelajar dari Universitas Hsing Wu di Distrik Linkou, Taipei.
Advertisement
Pemberitaan itu menyebutkan siswa hanya diizinkan pergi ke kelas dua hari dalam sepekan dan memiliki satu hari istirahat, sambil bekerja empat hari sisanya di pabrik untuk mengemas 30.000 lensa kontak selama 10 jam per giliran kerja.
Ko mengatakan dalam kasus khusus ini, 300 siswa Indonesia di bawah usia 20 terdaftar di Universitas Hsing Wu di Distrik Linkou Kota New Taipei melalui perantara.
Baca Juga
Para siswa datang untuk menghadiri kelas internasional khusus yang dibawahi Departemen Manajemen Informasi Taiwan pada pertengahan Oktober tahun lalu, China Times melaporkan, dikutip dari Taiwan News, Rabu (2/1/2019).
Namun, Kementerian Pendidikan Taiwan (MOE) melarang magang untuk mahasiswa tahun pertama. Meskipun ada larangan, sekolah tersebut mengatur agar siswa bekerja sebagai sebuah kelompok.
Kelas hanya diadakan pada hari Kamis dan Jumat setiap pekan. Pada hari Minggu hingga Rabu, mereka diangkut dengan bus ke sebuah pabrik di Hsinchu.
Para siswa bekerja secara bergiliran yang berlangsung dari pukul 07.30 sampai 19.30, dengan hanya satu kali istirahat selama 2 jam, sementara mereka berdiri selama 10 jam sehari untuk mengemas 30.000 lensa kontak.
Ko mengatakan bahwa sebagian besar siswa Indonesia adalah Muslim, namun yang mengejutkan banyak makanannya terdiri dari non-halal. Ketika para siswa mengeluh ke universitas, para pejabat meminta mereka untuk bersabar dan mengatakan bahwa jika para siswa membantu perusahaan, maka perusahaan akan membantu sekolah.
Pejabat sekolah mengatakan kepada siswa jika mereka tidak pergi bekerja, perusahaan tidak akan dapat bekerja sama dengan sekolah. Manajer pabrik juga diduga secara langsung mengatakan kepada siswa, "Kamu sama dengan pekerja migran asing."
Ko mengatakan bahwa setelah universitas membuka "kelas khusus," mereka menerima subsidi dari MOE, yang kemudian mereka gunakan untuk membayar perantara untuk merekrut siswa.
Perantara itulah yang kemudian meyakinkan para siswa dari negara-negara NSP (New Southbond Policy) untuk belajar di Taiwan.
Setelah tiba di Taiwan, universitas kemudian mengatur "magang" untuk para siswa, dan para perantara kemudian akan mengantongi biaya dari perusahaan.
Biaya yang dibayarkan universitas kepada para perantara adalah NT$ 200 (berkisar Rp 93.944) untuk satu siswa dan NT$ 200.000 (Rp 93,9 juta) untuk 1.000 siswa, yang akan dibayar dengan kedok "biaya kehadiran," menurut Liberty Times.
Penjabat Menteri Pendidikan Taiwan, Yao Leeh-ter mengatakan bahwa MOE mengundang para presiden dari universitas-universitas ini tahun lalu, memperingatkan mereka secara pribadi agar tidak melanggar hukum. Yao mengatakan bahwa berdasarkan kabar terbaru, kementerian akan melakukan investigasi.
Direktur Departemen Pendidikan Teknologi dan Kejuruan MOE, Yang Yu-hui mengatakan bahwa magang dilarang untuk mahasiswa baru dari negara-negara mitra NSP --salah satunya Indonesia-- dan setelah tahun pertama mereka, mereka tidak boleh bekerja lebih dari 20 jam per pekan, berdasarkan UU Layanan Ketenagakerjaan Taiwan.
Pengungkapan terbaru ini mengemuka sekitar sebulan sejak tersiar kabar bahwa 40 siswa Sri Lanka di Universitas Kang Ning dipaksa untuk bekerja di rumah jagal di Taipei dan Tainan.
Simak video pilihan berikut:
Tanggapan dari Pemerintah RI
Kementerian Luar Negeri RI mengatakan telah memperoleh laporan dari Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei perihal adanya pengaduan sejumlah mahasiswa Indonesia terkait skema kuliah-magang yang berlangsung mulai 2017 di sana.
Menanggapi pengaduan tersebut, KDEI Taipei telah berkoordinasi dengan otoritas setempat guna memperoleh klarifikasi.
"Dari hasil pendalaman awal yang dilakukan oleh KDEI Taipei diketahui situasi yang dihadapi para mahasiswa peserta skema kuliah-magang di Taiwan berbeda-beda di 8 perguruan tinggi yang menerima mereka. Karena itu, KDEI Taipei akan melakukan pendalaman lebih lanjut guna mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh," demikian menurut pernyataan dari Kementerian Luar Negeri RI.
"Terkait dengan situasi yang ada saat ini, Kemlu melalui Kementerian Perdagangan, telah meminta kepada KDEI Taipei untuk mendalami lebih lanjut informasi mengenai situasi mahasiswa skema kuliah-magang, memastikan otoritas setempat mengambil langkah-langkah konkrit yang diperlukan dalam rangka melindungi kepentingan serta keselamatan mahasiswa peserta skema kuliah-magang dan berkoordinasi dengan otoritas setempat untuk menghentikan sementara perekrutan serta pengiriman mahasiswa skema kuliah-magang hingga disepakatinya tata kelola yang lebih baik."
Saat ini diperkirakan terdapat sekitar 6.000 mahasiswa Indonesia di Taiwan. Termasuk di antara sekitar 1.000 mahasiswa dalam skema kuliah-magang di 8 universitas yang masuk ke Taiwan pada periode 2017-2018.
Diperkirakan jumlah mahasiswa Indonesia di Taiwan akan terus meningkat seiring dengan kebijakan New Southbond Policy otoritas Taiwan yang memberikan lebih banyak beasiswa melalui berbagai skema kepada mahasiswa dari 18 negara Asia, termasuk Indonesia.
Advertisement