Liputan6.com, Dhaka - Ribuan buruh pabrik garmen di Bangladesh --yang membuat pakaian untuk merek-merek global terkemuka-- terlibat bentrok dengan polisi setempat. Hal itu terjadi setelah aksi unjuk rasa menuntut kenaikan upah, yang kini memasuki pekan kedua.
Polisi terpaksa menembakkan meriam air dan gas air mata guna membubarkan kerumunan besar buruh pabrik yang berunjuk rasa pada Minggu 13 Januari 2019 di Savar, sebuah pusat industri garmen di luar ibu kota Bangladesh, Dhaka.
"Para buruh memblokade jalan raya. Kami harus mengusir mereka untuk memudahkan kondisi lalu lintas," kata kepala polisi setempat, Sana Shaminur Rahman, sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Senin (14/1/2019).
Advertisement
Baca Juga
"Sejauh ini, 52 pabrik, termasuk beberapa yang besar, telah menutup operasionalnya karena aksi protes tersebut," lanjutnya.
Sebelumnya, pada Selasa 9 Januari, seorang buruh dilaporkan tewas ketika polisi menembakkan peluru karet dan gas air mata ke arah 5.000-an orang demonstran.
Pemimpin serikat pekerja Bangladesh, Aminul Islam, menyalahkan para pemilik pabrik karena mendorong kekerasan untuk mengendalikan para buruh yang berunjuk rasa.
"Tapi mereka (buruh) lebih bersatu dari sebelumnya," kata Aminul kepada kantor berita AFP. "Sepertinya mereka tidak akan meninggalkan jalanan, sampai tuntutan mereka dipenuhi."
Aksi demonstrasi tersebut adalah ujian besar pertama bagi perdana menteri Sheikh Hasina sejak memenangkan masa jabatan ketiga dalam pemilihan bulan lalu, yang dirusak oleh kekerasan, ribuan penangkapan, serta tuduhan kecurangan dan intimidasi suara.
Pada hari Minggu larut malam, pemerintah mengumumkan kenaikan upah untuk buruh pabrik tingkat menengah, setelah bertemu produsen dan serikat pekerja. Namun, tidak semua serikat pekerja mengisyaratkan mereka akan menjunjung tinggi perjanjian.
Simak video pilihan berikut:
Eksportir Garmen Terbesar Kedua di Dunia
Upah minimum untuk buruh garmen dengan bayaran terendah di Bangladesh, dilaporkan naik sedikit di atas 50 persen pada bulan ini menjadi 8.000 taka (setara Rp 1,3 juta) per bulan.
Namun, para buruh tingkat menengah mengatakan bahwa kenaikan upah tersebut tidak masuk akal, karena gagal mencerminkan kenaikan biaya hidup, terutama di biaya perumahan.
Di lain pihak, Asosiasi Produsen dan Eksportir Garmen Bangladesh, yang memiliki pengaruh politik besar, memperingatkan semua pabrik akan tutup jika buruh jahit tidak segera kembali bekerja.
"Kita dapat mengikuti teori 'tidak ada pekerjaan, tidak ada upah', menurut hukum perburuhan," kata presiden asosiasi Siddikur Rahman kepada wartawan.
Industri garmen menempati porsi terbesar --sekitar 80 persen-- sumber pendapatan nasional Bangladesh, di mana jutaan buruh jahit bergaji rendah bekerja di ribuan pabrik di seluruh negara berpenduduk 165 juta orang itu.
Sekitar 4.500 pabrik garmen di Bangladesh mengekspor pakaian jadi senilai US$ 30 miliar (setara Rp 422 triliun) pada tahun lalu, di mana menjadikannya sebagai eksportis garmen terbesar kedua setelah China.
Bangladesh memiliki rencana untuk memperluas sektor garmen menjadi industri berpengahasilan US$ 50 miliar (sekitar Rp 703 triliun) per tahun pada 2023 mendatang.
Namun terlepas dari upaya mengubah negara miskin menjadi pusat manufaktur utama, buruh garmen di Bangladesh tetap menajadi salah satu dari yang dibayar paling rendah di dunia.
Advertisement