Liputan6.com, Seattle - Hari itu, 26 Januari 1700, Bumi tiba-tiba berguncang hebat, samudera pun bergolak. Penduduk Asli Amerika mengira, sebuah pertempuran kolosal sedang berlangsung. Penguasa langit, Thunderbird melawan paus raksasa yang merajai lautan.
Konon, pertempuran keduanya mengguncang dunia tatkala Thunderbird mencoba mengangkat paus ke udara dan menjatuhkannya ke daratan.
Advertisement
Baca Juga
Di sisi lain, paus tak sudi mengalah. Ia melawan sejadinya dengan menggerakkan ekornya di dalam air. Bukan riak yang muncul, tapi gelombang-gelombang raksasa yang menerjang tanpa ampun. Desa-desa lenyap seketika, seluruh hutan tumbang dalam sekejap mata.
Legenda itu menyebar dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi. Tak banyak yang menyadari, itu bukan kisah dongeng semata, melainkan kejadian mengerikan yang nyata.
Sementara itu di Jepang, yang jauhnya 8.000 kilometer di seberang Samudera Pasifik, gelombang raksasa tiba-tiba menerjang pada 27 Januari 1700 dini hari.
Gelombang gergasi setinggi 5 meter menyapu rumah-rumah dan kapal-kapal yang ditambatkan di dermaga. Penduduk desa yang sedang terlelap terbangun dengan perasaan kaget bukan kepalang.
Dengan tubuh basah kuyup, mereka bergegas menuju ke tempat yang lebih tinggi. Terjangan air menjatuhkan lampu minyak. Kebakaran terjadi di sana-sini. Nyala api merah menyelubungi bangunan-bangunan yang rusak, dengan bunyi gemeretak yang membikin hati jeri.
Tsunami tak hanya datang sekali lalu pergi, tapi berkali-kali. Malam hingga pagi menjelang. Smong bahkan menerjang Desa Miho tujuh kali.
Bagi orang Jepang, gempa dan tsunami adalah sebuah keniscayaan. Sejumlah prasasti kuno memuat nasihat dari para nenek moyang. Salah satunya berada di dekat pesisir Kesennuma. "Jika gempa terjadi, awas tsunami," demikian tulisan yang tertera di atas batu itu, seperti dikutip dari Forbes, Jumat (25/1/2019).
Masalahnya, kala itu sama sekali tak ada gempa yang jadi penanda. "Jishin nite mo tsukamatsurazu," tulis seorang pedagang kala itu. Warga tak habis pikir, kekuatan apa gerangan yang membangkitkan tsunami. Misterius.
Orang Jepang kemudian menjulukinya sebagai 'Orphan Tsunami' -- tsunami yatim piatu. Tanpa lindu yang jadi 'orangtuanya'.
Misteri penyebab gempa dahsyat di Amerika, juga tsunami Jepang akhirnya terkuak tiga abad kemudian.
Jawaban Misteri
Seperti dikutip dari situs sains LiveScience, tim yang terdiri atas para ilmuwan dan akademisi internasional akhirnya menemukan jawabnya. Mereka mengkaitkan tsunami di Jepang dengan gempa dahsyat yang melanda wilayah di Amerika Utara yang disebut Cascadia -- di mana mitos pertarungan Thunderbird dan paus raksasa lahir.
Cascadia terletak di barat laut Amerika Serikat, di sebelah timur berbatasan dengan Cascades -- pegunungan yang mencakup Gunung St. Helens. Sementara di sebelah barat berbatasan dengan Samudra Pasifik.
Sementara, garis patahan yang rawan gempa, disebut Zona Subduksi Cascadia atau Cascadia Subduction Zone (CSZ), membentang 700 mil atau 1.126 kilometer di sepanjang wilayah tersebut, dari Vancouver, Kanada, lalu Washington, Oregon dan berakhir di California utara.
Hasil studi para ilmuwan menemukan, zona subduksi Cascadia bersifat aktif -- di mana Lempeng Juan de Fuca meluncur di bawah Lempeng Amerika Utara dengan kecepatan rata-rata sekitar 13 kaki (4 meter) per abad.
Berdasarkan bukti geologis, para ilmuwan menduga bahwa gempa dahsyat magnitudo 9 bisa jadi mengguncang wilayah itu antara tahun 1680 dan 1720.
Lindu tersebut diyakini berlangsung selama beberapa menit karena menyebabkan bagian-bagian pantai Washington anjlok hingga 1,5 meter dibandingkan perairan pesisir di dekatnya.
Pada tahun 1997, analisis cincin pohon di wilayah Cascadia mempersempit waktu bencana alam menjadi periode jendela 10 bulan, dari Agustus 1699 hingga Mei 1700.
Catatan tertulis soal fenomena 'Orphan Tsunami' di Jepang memungkinkan waktu persis terjadinya gempa dikuak.
Para ilmuwan telah mengetahui, gempa dengan skala massif, seperti yang terjadi di Cascadia bisa memicu tsunami dahsyat yang bisa dengan mudah menyeberangi Pasifik dan menyebabkan kehancuran di Jepang.
Para ahli pun menyimpulkan, kedua kejadian itu saling bertautan. Tsunami diperkirakan melaju dengan kecepatan sekitar 500 mil per jam (mph) atau 804 kilometer per jam. Butuh waktu sekitar 10 jam bagi gelombang raksasa dari Cascadia menuju Jepang.
"Waktu perjalanan yang nyaris sama jika saya naik pesawat dari Seattle (AS) ke Narita (Jepang)," kata Brian Atwater, ahli geologi dari U.S. Geological Survey (USGS) seperti dikutip dari LiveScience.
Advertisement
Horor Gempa Dahsyat di AS
Pengungkapan misteri tsunami di Jepang punya dua manfaat sekaligus. Pertama, para ilmuwan dapat menentukan waktu pasti terjadinya gempa Cascadia dengan presisi yang tidak mungkin didapat jika mereka hanya mengandalkan bukti geologis dan petunjuk dari lingkaran tahun yang ada pada batang pohon.
Kedua, hal itu memberikan petunjuk terkait potensi gempa yang mungkin terjadi di zona Cascadia. Sebab, gempa bisa jadi berulang.
Jika apa yang terjadi pada masa lalu adalah pertanda, para ilmuwan memperkirakan bahwa garis patahan Cascadia akan menghasilkan gempa bumi yang kuat setiap beberapa abad.
Garis patahan dapat pecah sedikit demi sedikit dan menyebabkan serangkaian gempa kecil, atau bisa pecah sekaligus -- niscaya wilayah tersebut akan mengalami bencana besar dengan yang terjadi pada tahun 1700.
Kabar buruknya, zona itu telah 'tertekan' sekian lama, dan jika suatu saat bergeser, bencana luar biasa mungkin akan terjadi.
Potensi gempa di Cascadia Subduction Zone atau Zona Subduksi Cascadia berkisar antara magnitudo 8,7 hingga 9,2.
Kekuatan gempa magnitudo 9 sekitar 1.000 kali lebih kuat daripada gempa di Christchurch Selandia Baru pada 2011.
Gempa dengan kekuatan lebih dari 9 jarang terjadi. Lindu sekuat itu baru dua kali terjadi di masa modern.
Pertama di Aceh pada 26 Desember 2004 dan yang kedua terjadi pada 11 Maret 2011 di Jepang.
Gempa dengan kekuatan seperti itu mampu menghancurkan Seattle dengan sekejap. Tak seperti Los Angeles yang membangun kota dengan struktur antigempa, Seattle yang awalnya dianggap 'jauh dari bencana', tak dibentengi sekuat itu.
Dalam pertemuan Seismological Society of America (SSA) di Miami pada Mei 2018 diketahui, waktu datangnya kembali gempa besar di Zona Subduksi Cascadia atau Cascadia Subduction Zone (CSZ) mungkin lebih cepat 200 tahun dari perkiraan sebelumnya.
Tekanan dari gerakan lempeng Juan de Fuca yang semakin menghujam ke bawah lempeng Amerika Utara, kian meningkat.
Berabad-abad berlalu sebelum lempeng akhirnya membangun tekanan yang cukup untuk kemudian berujung pada pelepasan yang tiba-tiba dan dahsyat, yang memicu apa yang dikenal sebagai gempa "megathrust", demikian menurut Pacific Seismic Network Pacific.
Catatan geologis menunjukkan bahwa patahan tersebut telah menghasilkan gempa dahsyat berkekuatan 8,0 hingga 9,0, bersama dengan tsunami yang merusak, setidaknya setiap 500 tahun atau lebih.
Gempa besar terakhir terjadi pada tahun 1700, dengan kekuatan sekitar 8,7 hingga 9,2.
Namun, penelitian terbaru menyimpulkan, gempa besar di sepanjang bagian selatan Zona Subduksi Cascadia dapat terjadi lebih sering. Muncul setiap 300 tahun.
Hal itu diketahui berdasarkan formasi di dasar laut yang disebut turbidit -- endapan batu dan tanah yang dihela dalam jumlah besar ke lautan sekaligus di bagian selatan Zona Subduksi Cascadia.
Meski demikian, tim ilmuwan belum bisa memprediksi kapan lindu dahsyat akan terjadi.
Sejauh ini gempa tak mungkin diprediksi. Namun, mitigasi dan tindakan preventif mungkin bisa mengurangi malapetaka di masa depan.