Liputan6.com, Kuala Lumpur - Komite Paralimpik Internasional (IPC) menyatakan Malaysia batal menjadi tuan rumah kejuaraan renang bagi kaum difabel 2019. Hal tersebut menyikapi keputusan negeri jiran yang melarang atlet Israel ikut berlaga. Pernyataan diberikan secara resmi pada Minggu, 27 Januari 2019.
Kejuaraan yang dimaksud adalah babak penyisihan untuk Olimpiade Paralimpik Tokyo 2020. Sebelumnya babak tersebut telah dijadwalkan, akan diadakan di Kuching, 29 Juli hingga 4 Agustus 2019.
IPC beralasan bahwa seluruh kejuaraan dunia harus bersifat terbuka bagi seluruh negara dan atlet, sebagaimana dikutip dari The Straits Times pada Senin (28/1/2019).
Advertisement
Baca Juga
"Seluruh kejuaraan dunia harus terbuka untuk seluruh atlet dan negara, untuk bersaing secara aman dan bebas dari diskriminasi," kata Presiden IPC, Andrew Parsons, pasca pertemuan pengurus IPC di London, dalam tanggapannya terhadap sikap Malaysia.
"Ketika sebuah negara tuan rumah melarang atlet dari negara tertentu, karena alasan politik, maka kami tentu tidak memiliki alternatif lain kecuali mencari tuan rumah yang baru," sambungnya.
Meskipun akan dihelat tidak lagi di Malaysia, IPC menyampaikan bahwa kejuaraan akan tetap dilakukan pada tanggal yang sama.
Saksikan video pilihan berikut:
Reaksi Malaysia
Malaysia menyatakan penolakan partisipasi Israel, sebagai bentuk solidaritas negara Asia Tenggara untuk Palestina. Selain itu, pemegang paspor negara yang berkonflik dengan Palestina tersebut, akan dilarang memasuki wilayah Malaysia, mengingat keduanya tidak memiliki hubungan diplomatik.
Israel melihat pelarangan sebagai hal yang memalukan. Pelarangan dianggap telah diilhami oleh Perdana Menteri Mahathir Muhammad yang disebut oleh Israel sebagai anti-Yahudi.
Dalam sebuah twit, juru bicara Kementeri Luar Negeri Israel, Emmanuel Nahshon, menganggap keputusan IPC adalah kemenangan bagi kebebasan dan kesetaraan.
"Ini adalah kemenangan nilai atas kebencian dan kefanatikan, sebuah pernyataan kuat demi kebebasan dan kesetaraan. Terima kasih @Paralympics untuk keputusan yang berani," tulisnya.
Menanggapi keputusan IPC tersebut, Malaysia mengatakan bahwa negaranya memprioritaskan hak asasi manusia bangsa Palestina, di samping kejuaraan internasional. Hal itu dinyatakan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia, Syed Saddiq Syed Abdul Rahman.
"Kami ingin mengingatkan kepada IPC, bahkan Amnesty International dan Human Rights Watch telah melaporkan jika Netanyahu (maksudnya Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel) adalah pelaku kejahatan perang," ungkap Syed Saddiq.
"Sebagai pemimpin Israel, dia mewakili keinginan bersama pemerintahan Israel. ... Malaysia berdiri teguh dengan keputusan kami dan atas dasar rasa simpati atas penderitaan bangsa Palestina. Kami tidak akan berkompromi," pungkasnya.
Malaysia sendiri adalah negara dengan mayoritas warga negara beragama Muslim. Pada 2017 silam, kasus pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel memicu protes luas di Malaysia.
Kasus penolakan Malaysia terhadap atlet Israel bukan pertama kalinya terjadi. Pada 2017 silam, Malaysia juga menolak menjadi tuan rumah bagi konferensi FIFA dimana delegasi Israel dijadwalkan datang.
Advertisement