Para Direktur Intelijen AS Sebut China dan Rusia Jadi Ancaman Keamanan Teratas

China dan Rusia, menurut para direktur intelijen AS, disebut sebagai ancaman keamanan tertinggi bagi Negeri Paman Sam.

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Feb 2019, 08:31 WIB
Diterbitkan 01 Feb 2019, 08:31 WIB
Ilustrasi Bendera Amerika Serikat (Wikimedia Commons)
Ilustrasi Bendera Amerika Serikat (Wikimedia Commons)

Liputan6.com, Washington DC - Para kepala intelijen Amerika Serikat (AS) memperingatkan tentang serangkaian ancaman keamanan yang dihadapi negara itu seluruh dunia.

Mereka melukiskan gambaran serius tentang tantangan keamanan di seluruh dunia, dan menyebutnya "toxic mix" atau kombinasi yang sangat berbahaya.

Dua negara yang menjadi sorotan utama dalam pembahasan di atas adalah China dan Rusia, demikian sebagaimana dikutip dari VOA Indonesia pada Kamis (31/1/2019).

"Tindakan China mencerminkan strategi jangka panjang untuk mencapai keunggulan global. Sementara Kremlin meningkatkan kampanyenya untuk memecah belah lembaga-lembaga politik dan keamanan Barat, serta merusak tatanan internasional pasca Perang Dunia II," ujar Dan Coats, Direktur Intelijen Nasional.

Di saat bersamaan, para senator Amerika Serikat melihat adanya ancaman gabungan terkait hal yang disinggung sebelumnya.

Angus King, Senator Independen yang duduk dalam komisi intelijen berkomentar: "Jika kedua negara itu mulai bekerja bersama secara sistematis, maka hal itu bisa menjadi masalah besar bagi kita."

Sementara Presiden Donald Trump mempersiapkan pertemuan kedua dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, para senator ingin mengetahui sejauh mana komitmen Pyongyang terhadap denuklirisasi di Semenanjung Korea.

Letnan Jenderal Robert Ashley, Direktur Badan Intelijen Pertahanan mengatakan, "Masih ada kapasitas militer substansial yang dimiliki oleh Kim Jong-un. Tujuh puluh persen pasukannya ada di sepanjang zona demiliterisasi (DMZ). Jadi kemampuan dan ancaman yang ada setahun lalu masih ada."

Adapun mengenai kepatuhan Iran dengan perjanjian nuklir internasional yang disebut cacat oleh Donald Trump, dan karenanya AS menarik diri.

"Secara teknis, Iran patuh, tetapi kita melihat para pejabat di sana saling berdebat, karena mereka gagal mewujudkan manfaat ekonomi yang diharapkan dari kesepakatan nuklir itu," ujar Gina Haspel, Direktur Badan Intelijen Pusat (CIA).

Haspel melanjutkan dengan melukiskan gambaran rumit tentang ISIS di Suriah, di mana Trump telah mengumumkan penarikan pasukan Amerika Serikat.

"Mereka masih berbahaya dan mereka adalah kelompok teroris Sunni terbesar, dan mereka masih memimpin ribuan pengikut di Irak dan Suriah," jelasnya.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

Risiko Adu Pengaruh di Venezuela

Penampilan Unik Para Pengunjuk Rasa di Venezuela
Seorang pengunjuk rasa memakai topeng berwarna bendera Venezuela, saat ikut serta dalam demonstrasi anti-pemerintah ke Mahkamah Agung di Caracas, Venezuela, Kamis, 6 Juli 2017. (AP Photo / Ariana Cubillos)

Sementara itu, dalam perebutan kekuasaan di Venezuela yang tengah berlangsung --di mana Washington mendukung oposisi-- senator Republik dari negara bagian Florida mengajukan pertanyaan tajam.

"Bukankah demi kepentingan nasional Amerika Serikat bahwa rezim Nicolas Maduro jatuh, dan digantikan oleh pemerintahan yang demokratis dan lebih bertanggung jawab?" kata Senator Marco Rubio.

Dan Coats menjawab: "Ini adalah situasi yang sangat cair, di mana saya kira, akan berhasil jika diselesaikan dengan dukungan rakyat Venezuela."

Menanggapi hal itu, Senator Angus King dari negara bagian Maine memperingatkan keterlibatan AS dalam upaya perubahan rezim di Venezuela, yang disebutnya sebagai "sebuah lereng yang licin", atau tindakan yang bisa mengarah pada bencana dan keadaan yang tidak dapat diterima.

"Atau dalam definisi singkatnya adalah memicu perang baru," ujar King, yang menyebut Rusia dan China bisa turut menempatkan kekuatannya sebagai pendukung Maduro.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya