Dinilai Berbahaya, DPR AS Selidiki Kerja Sama Nuklir Donald Trump dan Arab Saudi

Kongres Amerika Serikat tengah menyelidiki kerja sama nuklir antara pemerintahan Donald Trump dan Arab Saudi, yang dinilai berbahaya.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 20 Feb 2019, 12:31 WIB
Diterbitkan 20 Feb 2019, 12:31 WIB
Donald Trump Bertemu Pangeran Mohammed bin Salman di Gedung Putih
Donald Trump Bertemu Pangeran Mohammed bin Salman di Gedung Putih (AP Photo/Evan Vucci)

Liputan6.com, Washington DC - Kongres Amerika Serikat (AS) mengatakan akan menyelidki tentang rencana berbagi teknologi nuklir antara Gedung Putih dan pemerintah Arab Saudi, menyusul keberatan dari staf keamanan nasional Negeri Paman Sam.

Menurut Komiter Pengawas DPR AS, seorang pelapor dalam pemerintahan Donald Trump telah memperingatkan tentang usulan kesepakatan tenaga nuklir, yang dapat melanggar aturan internasional, demikian sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Rabu (20/2/2019).

"Komite yang dikontrol Partai Demokrat telah meluncurkan penyelidikan terhadap klaim pelapor, kata ketua komis terkait, senator Maryland Elijah Cummings, pada Selasa 19 Februari.

Sementara itu, mantan penasihat keamanan nasional Donald Trump, Michael Flynn, diketahui sebagai pendukung utama rencana konsorsium perusahaan-perusahaan Amerika Serikat, untuk membangun lusinan pembangkit listrik tenaga nuklir di Arab Saudi.

Selama kampanye dan transisi kepresidenan, Flynn terdaftar sebagai penasihat anak perusahaan IP3 International, perusahaan di belakang proposal pembangkit listrik tersebut.

Flynn dipecat pada 2017, dan sejak itu mengaku bersalah berbohong kepada FBI dalam penyelidikan dugaan campur tangan Rusia. Tetapi perencanaan untuk proyek nuklir Arab Saudi mungkin sedang berlangsung hingga hari ini, menurut laporan itu.

"Pengungkap fakta yang muncul telah menyatakan keprihatinan signifikan tentang potensi pelanggaran hukum dan prosedural, yang berkaitan rencana mentransfer teknologi nuklir ke Arab Saudi. Mereka telah memperingatkan tentang konflik kepentingan di antara para penasihat Gedung Putih teratas, yang dapat melibatkan undang-undang pidana federal," kata laporan itu.

"Mereka juga memperingatkan tentang lingkungan kerja di dalam Gedung Putih yang ditandai dengan kekacauan, disfungsi, dan fitnah," lanjutnya.

Beberapa staf politik Amerika Serikat di Gedung Putih juga berulang kali memperingatkan bahwa perintah untuk melanjutkan rencana pembangkit listrik tenaga nuklir dapat melanggar hukum, karena tidak mematuhi langkah-langkah yang disyaratkan oleh Undang-Undang Energi Atom.

Tanpa perlindungan yang tepat, teknologi yang ditransfer untuk pembangkit listrik itu bisa dialihfungsikan sebagai senjata nuklir.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

Dugaan Keterlibatan Menantu Trump

Jared Kushner, menantu Donald Trump yang juga menjabat sebagai penasihat senior presiden AS
Jared Kushner, menantu Donald Trump yang juga menjabat sebagai penasihat senior presiden AS (AP Photo/Pablo Martinez Monsivais)

Laporan itu juga mengutip peran menantu Trump, Jared Kushner.

Seorang pejabat Dewan Keamanan Nasional AS (NSC) mengatakan kepada rekan-rekannya bahwa Kushner mempromosikan rencana IP3 "untuk disetujui oleh Presiden (Trump)", lapor akun whistleblower.

Selain itu, laporan tersebut juga mencatat hubungan keuangan yang kompleks antara Kushner dan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di Arab Saudi.

Salah satunya menyebut Brookfield Asset Management, perusahaan yang menangai krisis keuangan keluarga Kushner, dengan mengambil alih properti Manhattan yang bermasalah.

Perusahaan itu mengakuisisi Westinghouse Electric, sebuah organisasi riset nuklir swasta yang bangkrut, di mana sebelumnya diketahui berpartisipasi dalam kesepakatan nuklir dengan Riyadh.

Di lain pihak, pada pekan lalu, Donald Trump bertemu dengan para pengembang tenaga nuklir di Gedung Putih, untuk membahas transfer teknologi terkait dengan negara-negara Timur Tengah, termasuk Arab Saudi.

"Penyelidikan lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan Trump adalah untuk kepentingan keamanan nasional Amerika Serikat, atau, lebih tepatnya, untuk memperoleh keuntungan finansial sebagai akibat dari perubahan potensial dalam kebijakan luar negeri AS saat ini," tulis salah satu bagian pada laporan Kongres AS.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya