Liputan6.com, Jakarta Pagi itu, 7 Maret 1951, Perdana Menteri Iran Ali Razmara keluar dari kendaraan yang membawanya. Berjalan kaki, ia menuju ke Masjid Shah di pusat kota Teheran untuk menghadiri acara pemakaman.
Pria berlatar belakang jenderal militer tersebut baru sampai di halaman masjid, saat seorang pria menyeruak dari kerumunan, mengacungkan pistol, dan menembaknya dari belakang. Jaraknya hanya beberapa meter dari target.
Advertisement
Baca Juga
"Empat tembakan dilepaskan, dan dua peluru mengenai Razmara, satu di leher, satu lagi di punggung," kata seorang saksi mata seperti dikutip dari surat kabar The Canberra Times edisi lawas.
Saksi mata lain mengaku mendengar lima tembakan, tiga di antaranya mengenai PM Razmara.
Pasca-insiden, PM Razmara segera dilarikan ke rumah sakit. Ia meninggal dunia beberapa jam kemudian.
Seorang polisi yang berniat menangkap pelaku penembakan juga menjadi korban penembakan. Ia terluka parah.
Aparat membekuk pelaku, Khalil Tahmassebi, anggota kelompok militan Fadayan-e Islam.
Fadayan-e Islam mendukung tuntutan Front Nasional (National Front), untuk menasionalisasi aset perusahaan minyak British Anglo-Iranian Oil Company (AIOC).
Di sisi lain, sebagai perdana menteri, PM Ali Razmara meyakinkan anggota parlemen bahwa nasionalisasi akan menjadi pilihan bodoh. Sebab, menurut dia, kala itu tak masuk akan menjalankan industri migas dengan hanya mengandalkan kemampuan para teknisi Iran.
Shah Iran, Mohammad Reza Pahlavi kemudian menunjuk Hussein Ala untuk menggantikan Razmara sebagai perdana menteri. Namun, keputusan tersebut menuai demonstrasi, kerusuhan, hingga pembunuhan di seluruh negeri.
Ala kemudian mundur dari jabatannya. Shah lalu berniat menunjuk mantan perdana menteri, Sayyid Ziya al-Din Tabatabai. Namun, Majilis atau parlemen yang dikuasai Front Nasional tak menyetujuinya.
Seperti dikutip dari situs, worldhistoryproject.org, dua bulan setelah pembunuhan terhadap PM Razmara, pimpinan Front Nasional, Mohammed Mossadegh terpilih menjadi perdana menteri -- meski kendali atas partai dipegang oleh Ayatollah Seyid Abol Ghasim Kashani, pemimpin mullah. Nasionalisasi industri migas diwujudkan di bawah kepemimpinan Mossadegh.
Belakangan, Front Nasional menyatakan PM Ali Razmara sebagai musuh Islam dan pengkhianat bagi Iran karena penentangannya terhadap ketentuan UU Nasionalisasi Minyak.
CIA Luncurkan Operation Ajax
Nasionalisasi industri minyak didukung oleh sebagian besar masyarakat Iran, yang percaya hal itu akan membawa kesejahteraan bagi semua. Mohammad Mossadegh juga menjadi tokoh yang dicintai kala itu.
Di sisi lain, nasionalisasi dan terusirnya Anglo-Iranian Oil Company (AIOC) dari Iran menjadi pukulan telak bagi monarki dan kepentingan Inggris di sana.
Kemudian, Amerika Serikat dan Inggris melancarkan kudeta pada 1953, dengan kode Operation Ajax. Tujuannya adalah melengserkan Mohammed Mossadegh dari posisinya dan meyakinkan Shah untuk memilih perdana menteri pilihan mereka.
Shah Iran, Mohammad Reza Pahlavi tetap berkuasa sampai revolusi 1979, yang mengarah pada pembentukan Republik Islam.
Pada 19 Agustus 2013 untuk kali pertamanya CIA mengakui keterlibatannya dalam kudeta Iran 1953.
Sejumlah dokumen menyebut bahwa plot CIA di Iran dipimpin oleh Kermit Roosevelt Jr, cucu Presiden AS Theodore Roosevelt.
Menurut Stephen Kinzer, penulis buku All the Shah's Men, Roosevelt pertama-tama menguasai media di Iran, dengan cara membeli kepemilikannya dan menggunakan pers untuk menyebarkan propaganda anti-Mossadegh.
Ia juga merekrut sejumlah ulama dan meyakinkan shah bahwa Mossadegh adalah ancaman.
Roosevelt juga berencana menyergap Mossadegh di rumahnya pada tengah malam. Namun upaya itu gagal.
Mossadegh melawan balik dan berhasil lolos. Pagi berikutnya, ia bahkan mengumumkan kemenangan lewat radio.
Tak sampai di situ. Kermit Roosevelt Jr juga merencanakan kudeta kedua -- yang sukses.
Mossadegh diadili dan menghabiskan hidupnya sebagai tahanan rumah. Shah kembali berkuasa dan memerintah selama 25 tahun hingga Revolusi Iran 1979.
Kudeta tahun 1953, oleh para mahasiswa dan kelas politik di Iran, dijadikan sebagai pembenaran untuk menggulingkan shah.
Advertisement