Kebijakan Agresif Penasihat Donald Trump soal Irak, Iran, hingga Venezuela

Si 'hawkish' John Bolton merupakan penasihat kepresidenan bidang keamanan nasional di bawah Presiden Donald Trump. Agresor dan inisiator perang?

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 08 Mar 2019, 17:00 WIB
Diterbitkan 08 Mar 2019, 17:00 WIB
Penasihat Keamanan Donald Trump yang Baru: Jika Mau Damai, Bersiaplah Perang
John Bolton, Penasihat Keamanan Donald Trump yang Baru: Jika Mau Damai, Bersiaplah Perang. Foto diambil saat Bolton jadi dubes AS untuk PBB pada 2005 (Dennis Cook/Associated Press)

Liputan6.com, Washington DC - Penasihat kepresidenan Amerika Serikat bidang keamanan nasional, John Bolton, punya pajangan karikatur baru di kantornya di West Wing, Gedung Putih. Pajangan itu mulai hadir sejak akhir Februari 2019.

Karikatur tersebut menampilkan personalisasi dirinya, menggoyangkan marakas bercorak "garis-bintang" ala bendera AS, sambil membayangkan Presiden Venezuela Nicolas Maduro di balik jeruji besi berbaju jingga.

"Guantanamero ... Maduro Guantanamero ...," Bolton kartun bernyanyi dalam karikatur karya kartunis Venezuela Fernando Pinilla, merujuk lirik lagu Kuba yang terkenal itu dan--mungkin--sambil membayangkan Maduro berada di dalam pusat detensi AS di Guantanamo Kuba.

Salinan kartun yang dipasang dari surat kabar Miami, Diario Las Americas, itu telah bergabung dengan dinding trofi di kantor Bolton. Dinding itu hingga kini telah didominasi oleh kenang-kenangan yang terkait dengan kampanye kebijakan luar negerinya yang lain: isu Iran.

Satu kartun menampilkan bagaimana pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, tentang keputusan Presiden Trump dari perjanjian nuklir Iran (JCPOA 2015).

Koleksi pajangan baru adalah tanda bagaimana Bolton mulai memusatkan kebijakannya yang 'hawkish' alias agresif atau 'pro-perang' pada target baru--membuat Maduro meninggalkan Venezuela. Ini adalah pertarungan yang dia lakukan di Twitter, di mana ujarannya yang berlidah asam kepada pemimpin negara sosialis itu telah menjadikannya salah satu suara paling tajam dari pemerintahan Trump mengenai masalah ini.

Terbaru, pada Rabu 6 Maret 2019, Bolton mengatakan pemerintahan Trump menempatkan bank-bank asing "dalam notifikasi," mengancam akan mengenakan sanksi terhadap mereka yang memfasilitasi transaksi yang dapat menguntungkan Presiden Maduro.

"Kami sedang melihat sanksi baru, langkah-langkah baru untuk memperketat cengkeraman kami pada keuangan Maduro, untuk menyangkal rezimnya dari uang yang mereka butuhkan untuk tetap berkuasa," kata Bolton kepada Fox Business Network.

"Amerika Serikat memberi tahu lembaga keuangan asing bahwa mereka akan menghadapi sanksi karena terlibat dalam memfasilitasi transaksi tidak sah yang menguntungkan Nicolas Maduro dan jaringan korupnya," lanjutnya, bersumpah bahwa AS "tidak akan membiarkan Maduro mencuri kekayaan rakyat Venezuela."

Peringatan dari Bolton adalah yang terbaru dalam serangkaian ancaman yang dimaksudkan untuk menekan pemimpin otoriter negara sosialis itu untuk mundur, setelah Presiden Trump membuat keputusan awal tahun ini untuk mengakui pemimpin Majelis Nasional sekaligus bos oposisi Juan Guaido sebagai presiden interim Venezuela.

"Amerika Serikat sangat mendukung transisi demokrasi di Venezuela yang dipimpin oleh Presiden Sementara Juan Guaido dan Majelis Nasional dan sedang mengejar beberapa inisiatif diplomatik dan ekonomi baru untuk mendukung transisi itu," kata Bolton dalam sebuah pernyataan 6 Maret kemarin, seperti dikutip dari Politico, Jumat (8/3/2019).

Gedung Putih sangat bergantung pada sanksi ekonomi untuk meningkatkan tekanan terhadap Maduro sebagai pengganti intervensi militer, meskipun para pejabat --terutama John Bolton dan Presiden Donald Trump sendiri-- telah berulang kali mengindikasikan bahwa langkah-langkah semacam itu tidak mustahil.

AS telah menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan minyak milik pemerintah Venezuela, pendorong utama perekonomian negara itu, dan pekan lalu Gedung Putih menghantam pasukan keamanan Venezuela yang mendukung Maduro dengan sanksi tambahan. Ini juga mencabut visa pejabat tinggi dan kerabat mereka yang menurut Amerika tidak adil mendapat manfaat dari kebijakan Maduro dengan mengorbankan seluruh negara.

 

 

Simak video pilihan berikut:

John Bolton Bikin Kebijakan Luar Negeri AS Jadi 'Hawkish'?

Penasihat Keamanan Donald Trump yang Baru: Jika Mau Damai, Bersiaplah Perang
John Bolton, Penasihat Keamanan Donald Trump yang Baru: Jika Mau Damai, Bersiaplah Perang. Foto diambil saat Bolton menjadi dubes AS untuk PBB pada 2005 (Dennis Cook/Associated Press)

Selain andilnya dalam kebijakan luar negeri AS yang keras terhadap Venezuela, John Bolton juga disebut berkontribusi dalam keputusan Washington untuk mundur dalam "kesepakatan nuklir Iran" atau Joint Comprehensive Plan of Action pada Mei 2018, yang diteken Iran bersama dengan AS (di bawah pemerintahan Presiden Baracck Obama), Dewan Keamanan PBB dan Eropa pada 2015 silam.

Dan ternyata, agresivitasnya terhadap Iran atau sikapnya yang 'hawkish' bukan barang baru.

Pada 2007, selepas menjabat sebagai Duta Besar AS untuk PBB, Bolton pernah mengatakan, "Pada akhirnya, satu-satunya hal yang akan menghentikan Iran dari mendapatkan senjata nuklir adalah perubahan rezim di Teheran."

Agresivitas itu hanya semakin meningkat ketika ia telah menjabat sebagai penasihat kepresidenan AS bidang keamanan nasional di bawah Trump.

Tentang Iran dan mundurnya AS dari JCPOA, Bolton mengatakan pada Juli 2018, "Presiden Trump mengatakan kepada saya bahwa jika Iran melakukan sesuatu yang negatif, mereka akan membayar harga seperti beberapa negara yang pernah membayar," ujarnya dalam sebuah komentar yang mengindikasikan bahwa Iran bisa bernasib sama dengan Irak ketika Amerika menginvasi Negeri 1001 Malam pada 2003.

Ia juga pernah mengatakan bawha "negosiasi ... adalah buang-buang waktu, dan perjanjian pada dasarnya hanya dokumen politik," catat Steve Feldstein, associate professor School of Public Service di Boise State University dalam sebuah artikel untuk The Conversation pada 2018 lalu.

Bolton dewasa ini sedang mencoba mengulangi perannya pada 2003 sebagai pengadvokasi perang, ketika ia masih menjabat sebagai asisten menteri luar negeri bidang pengendalian senjata di bawah periode pertama Presiden George W Bush. Dia pernah mengatakan kepada BBC bahwa "AS yakin Saddam Hussein menyembunyikan senjata pemusnah massal (WMD) dan fasilitas produksi di Irak". Justifikasi ini kemudian dijadikan pendorong bagi Amerika untuk menginvasi Irak.

Namun kemudian, justifikasi itu dianggap keliru dan tidak ada bukti bahwa Saddam Hussein memiliki WMD. Beberapa pejabat AS yang pernah mendukung perang mungkin telah mempertimbangkan dua kali sebelum melontarkan "opsi militer" sejak saat itu, mengingat besarnya korban manusia dan destabilisasi kawasan.

Akan tetapi, Bolton berpendapat bahwa menggulingkan Saddam sepadan dengan usaha, bahkan jika keputusan justifikasi yang diambil untuk invasi tidak selalu benar.

Kini, pria berusia 70 tahun itu ingin melakukan tindakan serupa seperti pada masa-masa kejayaannya era-2000-an lalu, menerapkan kebijakannya yang 'hawkish' atau 'war hawk' di Iran atau Venezuela.

"Pada Bolton, Trump memiliki seorang komandan, 'inisiator perang' yang sangat peka. Tapi perbedaannya kali ini, bagaimanapun adalah bahwa tidak ada 9/11 untuk perlindungan politik. Dan yang lebih meresahkan lagi, Irak bukanlah Iran," kata Michael Morford, analis untuk Truman National Security Project dalam kolom di USA Today.

"Bolton sekarang berbisik di telinga Presiden Donald Trump, dan Amerika Serikat sedang menuju jalur yang karib. Pada Trump, Bolton menemukan seseorang yang fokus bukan pada keamanan nasional, tetapi pada pembongkaran tindakan presiden yang mendahului masa jabatannya. Trump tidak tertarik pada negara Iran, rakyat Iran, atau ancaman Iran apa pun. Dia hanya membenci mantan Presiden Barack Obama dan JCPOA, yang lebih dikenal sebagai kesepakatan nuklir Iran yang dinegosiasikan oleh pemerintahan Obama," lanjut Morford spesifik tentang kebijakan luar negeri AS terhadap Iran.

Tentang Venezuela, John Bolton pada November 2018 mengisyaratkan pendekatan yang lebih keras ke wilayah tersebut. Dalam pidatonya, Bolton mencap Venezuela sebagai bagian dari "troika tirani" dan "segitiga teror" bersama dengan Kuba dan Nikaragua, yang para pemimpinnya dia tuduh sebagai penyebab "penderitaan manusia yang hebat dan ketidakstabilan regional."

Bolton bersumpah AS akan mengambil "tindakan langsung "terhadap rezim mereka, dan melemparkan peringatan yang tidak menyenangkan bahwa "hari perhitungan mereka sudah menunggu."

Pada bulan yang sama, Bolton mengunjungi Presiden Brasil Jair Bolsonaro untuk meminta bantuannya dalam menekan Presiden Nicolas Maduro--diplomasi pribadi yang terbayar ketika Brasil bergabung dengan AS dalam mengakui Guaido, bersama dengan Kolombia, pemerintah lain yang berhaluan kanan-konservatif yang telah dikembangkan oleh Bolton.

Meski ia menghadapi penolakan dari diplomat karier di Kementerian Luar Negeri yang khawatir tentang kebijakan itu, Bolton membentuk front persatuan dengan Menlu Mike Pompeo, mendukung pengangkatan Elliott Abrams, seorang 'hawkish' yang bekerja bersamanya di pemerintahan George W Bush, sebagai utusan untuk membantu mengarahkan kebijakan.

"Episode ini menunjukkan sisi diplomatik Bolton yang mungkin kurang dihargai--meskipun mantan pejabat tinggi pemerintahan itu juga memperingatkan bahwa jenis intervensi militer yang menurut Presiden Trump telah direnungkan akan menjadi 'bencana' bagi kepentingan AS di wilayah Amerika Latin," kata Elise Labott, kontributor untuk majalah politik AS Politico.

 

Realis, Pro-Miiter, Skeptis terhadap Diplomasi

3 Prajurit AS Dibunuh Tentara Afghanistan dalam Serangan Jebakan
3 Prajurit AS Dibunuh Tentara Afghanistan dalam Serangan Jebakan (HOSHANG HASHIMI / AFP)

Steve Feldstein, associate professor School of Public Service di Boise State University menilai bahwa John Bolton merupakan "salah satu politisi AS yang berhaluan realis, namun di ujung yang paling ekstrem," ujarnya dalam sebuah artikel untuk The Conversation pada 2018.

"Ia adalah seorang garis keras, seorang 'hawkish'," lanjut Feldstein.

"Dia secara refleks tidak mempercayai diplomasi untuk menyelesaikan perselisihan. Dia percaya bahwa kekuatan dan paksaan adalah cara yang lebih disukai untuk memajukan kepentingan A.S. Bolton memandang hubungan internasional sebagai serangkaian perjuangan 'jahat, brutal dan pendek' di mana kekuatan militer adalah faktor penentu," lanjut sang associate professor.

Bolton percaya bahwa kekuatan saja akan memastikan berlanjutnya dominasi AS dalam sistem internasional, lanjut Feldstein.

Dia melihat diplomasi dan negosiasi, khususnya melalui AS, sebagai taktik bagi negara-negara lemah untuk mengikat tangan negara-negara yang lebih kuat. Dia telah berulang kali mengklaim bahwa negosiasi, seperti program nuklir Korea Utara, adalah buang-buang waktu, dan bahwa perjanjian "pada dasarnya hanya dokumen politik."

Beberapa ahli berpendapat bahwa di bawah kepemimpinan Bolton, pergi berperang bukan tidak terhindarkan.

"Dan itu semakin mungkin ketika banyak diplomat senior dan pemimpin militer --terutama mereka yang memiliki kewenangan check and balances-- meninggalkan pemerintahan," kata Feldstein yang merujuk pada langkah Menhan AS Jim Mattis yang mengundurkan diri pada akhir 2018 lalu.

Kehadiran Mattis di kabinet Trump telah dipandang sebagai 'voice of reason' bagi kebijakan luar negeri sang presiden yang memang telah eksentrik.

"Hanya ada sedikit orang berpengalaman yang tersisa di ruangan itu untuk menantang ide-ide Bolton," lanjut Feldstein.

Trump yang impulsif juga dapat mempengaruhi Bolton. Ini bisa berubah menjadi apa yang oleh akademisi disebut sebagai "fenomena pergeseran berisiko."

"Ini terjadi ketika individu dalam pengaturan kelompok enggan tampil terlalu hati-hati. Sebaliknya, anggota yang paling ceroboh mendominasi kelompok-kelompok seperti itu, menyebabkan individu mengambil peluang yang tidak akan mereka bawa," kata Feldstein.

"Kecenderungan Trump untuk melakukan perjudian yang berani, dikombinasikan dengan kecenderungan Bolton untuk menggunakan kekuatan militer, adalah apa yang menyebabkan banyak orang takut akan risiko tinggi konfrontasi internasional," jelasnya --risiko yang mungkin bisa tiba-tiba pecah di Iran atau yang paling dekat, di Venezuela.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya