Liputan6.com, Ankara - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memiliki alasan baru untuk menuntut diadakannya penghitungan suara ulang di beberapa wilayah. Baru-baru ini ia mengatakan bahwa "hampir semua' pemilihan umum, khususnya di Istanbul dan Ankara dinodai oleh penyimpangan.
"Warga mengatakan 'lindungi hak kami, kami melihat bahwa kejahatan terorganisir telah terjadi'," katanya kepada wartawan sebelum berangkat ke Moskow, mengutip Al Jazeera pada Selasa (9/4/2019).
Advertisement
Baca Juga
Ia melanjutkan, berbagai tindakan terorganisir telah dilakukan, seperti pencurian kotak suara.
Sebagaimana diketahui, Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunannya (AKP) mengalami kemunduran besar dalam pemilu Turki. Oposisi memenangkan kontestasi politik di dua kota besar yang disebutkan sebelumnya.
Di Istanbul, Partai Rakyat Republik (CHP) berhasil memimpin dengan sekitar 16.000 suara, setelah sebelumnya mengklaim mendapatkan 25.000 suara.
Kekalahan AKP berpengaruh strategis bagi kendali partai terhadap kekuasaan pemerintah Turki, mengingat Erdogan sendiri dikenal sebagai walikota Istanbul pada 1990-am sebelum muncul sebagai pemimpin nasional.
Â
Simak video pilihan berikut:Â
Banding Bukan Hal Aneh
Erdogan mengatakan ketika ada masalah dengan margin kemenangan suara di negara lain, banding dan bahkan pemilihan baru bukanlah hal yang aneh.
Sebelumnya, ia sempat mengatakan agar oposisinya tidak merasa di atas angin hanya dengan margin kemenangan 13.000 - 14.000 suara, saat terdapat lebih dari 10 juta pemilih yang terdaftar di negeri itu.
Pernyataan itu menanggapi Imamoglu yang menginginkan dewan pemilihan negara segera melakukan tugasnya dan mengonfirmasi kemenangan dirinya di Ibu Kota.
Meski demikian, Erdogan juga mengatakan bahwa bagaimanapun, partainya akan menerima hasil akhir yang benar-benar dikonfirmasi oleh dewan pemilihan.
Advertisement
Jelas Kalah di Ankara?
Sementara itu, calon wali kota Ankara dari CHP, Mansur Yavas, menerima dokumen yang menyatakan kemenangannya pada Senin, 8 April 2019 dan mengambil alih kepemimpinan kota itu dalam sebuah upacara singkat.
"Semoga giliran Istanbul berikutnya," katanya.
Setelah 16 tahun berkuasa, Erdogan dipuji oleh para pendukung, khususnya berkat pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran.
Tetapi para pengkritiknya di dalam negeri dan di antara sekutu Barat mengatakan pemimpin Turki itu telah merusak demokrasi dengan menghilangkan perbedaan pendapat. Hal itu dapat dilihat dari kudeta yang gagal 2016, di mana ia menyalahkan seorang pengkhotbah Turki yang berbasis di AS.
Setelah melewati kudeta itu, nyatanya saat ini Erdogan dan partainya benar-benar diuji. Khususnya, dengan hilangnya kendali atas dua kota besar di Turki.