Liputan6.com, Damaskus - Pemerintah Suriah baru-baru ini meledakkan beberapa properti hunian di zona industri Qaboun, yang merupakan bekas kubu oposisi di luar ibu kota Damaskus.
Laporan kerusakan dan kehilangan menggema setelah pemerintah Suriah melakukan puluhan pembersihan di seantero negeri, yang menurut catatan para aktivis dan analis, kian menunjukkan pola mengkhawatirkan.
Dikutip dari The Guardian pada Minggu (9/6/2019), pemusnahan semacam ini terjadi hampir setiap hari, dengan menggunakan berbagai alasan, termasuk dalih balasan atas kerusakan properti yang meluas.
Advertisement
Baca Juga
Hancurnya pemukiman tersebut berisiko membuat jutaan pengungsi di luar negeri kehilangan tempat tinggal, ketika mereka mungkin mempertimbangkan untuk kembali pulang seetlah perang delapan tahun itu berakhir.
Lebih dari 12 juta warga Suriah meninggalkan rumah mereka, di mana 5,6 juta meninggalkan negara itu dan 6,6 juta lainnya mengungsi secara internal.
Banyak dari pengungsi tersebut merupakan pendukung atau simpatisan kubu oposisi.
Presiden Bashar al-Assad telah mendesak para pengungsi untuk pulang, dan berjanji bahwa mereka yang "jujur" akan dimaafkan karena menentangnya.
Namun, menurut laporan para aktivis HAM menyebut ratusan orang telah ditangkap saat kembali ke Suriah. Banyak dari mereka mengaku disiksa, dan yang lainnya dikenai wajib militer.
Laporan tersebut juga menambahkan bahwa pemerintah Suriah telah menggunakan undang-undang perumahan, termasuk 45 kebijakan baru yang disahkan selama konflik, untuk merebut properti pendukung pemberontak, dan memecah komunitas yang menentangnya.
Â
Khawatir Dimanfaatkan Pemerintah Suriah
Sementara itu, beberapa pihak khawatir pemerintah Suriah akan mengambil keuntungan dari kekacauan perang, guna memperketat cengkeramannya di kota-kota yang dihuni oleh para kubu penentang Presiden Bashar al-Assad.
Lembaga think tank European Institute of Peace melaporkan bahwa selama periode September hingga Desember lalu, terendus kebijakan pemerintah Suriah tentang 344 ledakan, yang tampaknya dilakukan untuk menghapus dampak perang.
"Masing-masing punya alasan seperti 'melakukan pengeboman' atau 'untuk meledakkan markas terowongan, alat peledak dan amunisi organisasi teroris'," kata laporan yang tidak dipublikasikan.
"Namun ... ledakan ini malah menargetkan dan menghancurkan kawasan hunian," lanjutnya menyayangkan.
Analisis tersebut didasarkan pada citra satelit, video sumber terbuka dan citra foto, serta berbagai twit pemerintah Suriah sendiri.
Advertisement
Masalah Perumahan Telah Berlangsung Lama
Suriah telah memiliki masalah perumahan yang serius sebelum perang saudara. Hal itu bahkan turut memicu ketegangan --bersama dengan kekeringan, stagnasi ekonomi dan represi politik-- yang meledak menjadi konflik pada tahun 2011.
Selama beberapa dekade, pembangunan tidak sejalan dengan membanjirnya penduduk desa ke kota.
Banyak yang menetap di dalam kawasan pemukiman liae, seringkali tanpa dokumen kepemilikan mereka. Terpinggirkan dalam ekonomi sebelum perang, penduduk daerah ini sering mendukung pemberontakan terhadap Assad.
Bank Dunia memperkirakan pada 2017, bahwa secara keseluruhan lebih dari sepertiga stok perumahan Suriah tersebut telah terpengaruh, sehingga lebih banyak hunian yang harus dibangun atau didirikan kembali.
Tetapi, kelompok-kelompok masyarakat sipil takut Assad berencana menggunakan proyek rekonstruksi itu untuk menjauhkan lawan-lawannya, dan memecah benteng mereka.
Pemerintah memiliki sejarah perumahan yang dipersenjatai selama konflik. Human Rights Watch telah mendokumentasikan pembongkaran properti mulai tahun 2012, dan ketika pertempuran berkobar, undang-undang baru yang mencakup isu terkait disahkan.
Bersama-sama kebijakan tersebut memberikan kekuasaan besar kepada pemerintah untuk meminta tanah dan properti, serta melakukan zona ulang untuk pembangunan baru.