Liputan6.com, Tokyo - Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dalam perjalanan menuju Iran untuk pertemuan bilateral dengan negara yang tengah terlibat tensi tegang dengan Amerika Serikat.
Banyak pengamat menilai, lawatan Abe akan membuka kesempatan bagi Iran untuk meringankan posisi mereka yang tertekan akibat sanksi ekonomi dari Amerika Serikat --yang menuduh Negeri Persia mengembangkan senjata nuklir.
Advertisement
Baca Juga
Namun bagi Abe, lawatan itu mungkin bertujuan untuk meningkatkan citranya sebagai negarawan global, menjelang pemilu di tanah air.
Mengutip BBC, Rabu (12/6/2019), Abe akan menjadi perdana menteri Jepang pertama yang mengunjungi Iran dalam empat dekade, dan diperkirakan akan mengadakan pembicaraan baik dengan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei dan Presiden Hassan Rouhani.
Simak video pilihan berikut:
90 Tahun Hubungan Diplomatik
Secara resmi, Jepang dan Iran menandai peringatan 90 tahun hubungan diplomatik mereka tahun ini.
Jauh lebih penting adalah bahwa perjalanan itu dilakukan tidak lama setelah Presiden AS Donald Trump melakukan kunjungan kenegaraan ke Jepang.
Dan hubungan AS dengan Iran telah menukik karena penarikan Washington dari kesepakatan nuklir 2015 atas program nuklir Iran.
Ketegangan semakin meningkat ketika AS mengirim kapal induk ke wilayah itu, menimbulkan kekhawatiran akan adanya konfrontasi terbuka.
Jadi ada harapan bahwa Abe mungkin dapat terlibat dalam diplomasi antar-jemput antara kedua belah pihak, menekan ketegangan dan membuat mereka berbicara satu sama lain.
Hanya satu hari sebelum berangkat, perdana menteri Jepang berbicara kepada Trump di telepon dan bertukar pandangan tentang Iran, juru bicara Abe mengatakan kepada wartawan pada hari Selasa.
Advertisement
Urgensi Bilateral Jepang - Iran
Tokyo tidak pernah menjadi bagian Iran Nuclear Deal, tetapi bukan berarti ketegangan seputar kesepakatan tak memengaruhi geo-politik Jepang.
Dulu, Negeri Sakura merupakan pengimpor minyak Iran. Namun, menyusul sanksi ekonomi AS usai keluar dari 'the Deal', Tokyo mematuhi kebijakan sekutu terdekatnya yang telah melarang pembelian minyak dari Negeri Persia.
Ihwal posisi Jepang pada 'the Deal', Profesor Jeff Kingston, direktur Studi Asia di Temple University Tokyo mengatakan, "Jepang mendukung perjanjian 2015 dan tidak senang bahwa AS memicu ketegangan dan berpikir itu adalah kesalahan yang sangat besar."
"Tapi Jepang tidak memiliki relevansi dalam masalah itu, jadi ketika AS menjatuhkan sansi, tak mengherankan bahwa Jepang kemudian mengikuti."
Dan, ketika banyak negara membatalkan transaksi minyak mereka dengan Iran, maka otomatis negara pemasok lain di Arab akan memanfaatkan situasi dengan menaikkan harga --memengaruhi daya beli Jepang dan negara lain.
Oleh karenanya, pertemuan Jepang dan Iran juga merupakan pengejawantahan dari kebijakan 'segala-arah' yang diterapkan oleh Tokyo sejak akhir Perang Dunia II. Apa artinya adalah bahwa Tokyo berusaha untuk berbicara dengan semua orang, tetap berteman dengan semua orang, untuk memastikan mereka masih bisa mendapatkan minyak.
Sekilas Hubungan Tegang AS - Iran
Pada dasarnya, pada 2015 Iran setuju untuk membatasi program nuklirnya dengan imbalan pencabutan sanksi internasiona. Kesepakatan itu tertuang dalam Joint Comprehensive Plan of Action 2015 atau populer disebut 'Iran Nuclear Deal'.
Kesepakatan itu dilakukan di bawah pemerintahan Obama. Namun, Trump menarik diri darinya tahun lalu.
Imbasnya, AS menerapkan kembali sanksi sepihak sementara penandatangan lain pada kesepakatan 2015: seperti Uni Eropa, Rusia dan China, masih berharap untuk menjaga perjanjian itu tetap hidup.
Sebagai balasan atas sanksi yang dipulihkan oleh AS, Iran bulan lalu mengumumkan akan menangguhkan beberapa komitmen yang tertuang dalam Iran Nuclear Deal.
Pada hari Selasa, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) melaporkan bahwa Iran meningkatkan produksi uranium yang diperkaya (enriched uranium, bahan baku nuklir) meskipun tidak jelas kapan akan mencapai batas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan 2015.
Advertisement