Liputan6.com, Taipei - Bertutur lembut, berkacamata, pengabdi gereja dan bertempat tinggal 650 km dari Hong Kong --sekilas tidak ada korelasi apapun antara Alex Ko asal Taiwan dengan rangkaian demonstrasi yang telah mengguncang wilayah otonomi khusus China selama lebih dari 100 hari terakhir.
Kendati demikian, dia adalah pendukung setia massa gerakan pro-demokrasi Hong Kong.
Dalam beberapa minggu terakhir, ketika para demonstran bertempur melawan polisi di jalan-jalan Hong Kong menuntut hak pilih universal, dan mendesak kebebasan mereka untuk dilestarikan oleh China: Alex Ko (23) tidak hanya sekedar menonton.
Advertisement
Baca Juga
Dia meluncurkan donasi, menyuplai masker gas, saringan udara, dan helm di gerejanya.
Pemuda itu menyuplai lebih dari 2.000 set perlengkapan semacam itu, dan mengirimnya ke pengunjuk rasa Hong Kong untuk melindungi mereka dari gas air mata yang secara teratur ditembakkan polisi.
"Saya belum pernah ke Hong Kong, tetapi saya merasa tidak punya alasan untuk tidak peduli," katanya, seperti dilansir BBC, Kamis (19/9/2019).
"Sebagai seorang Kristen, ketika kita melihat orang-orang terluka dan diserang, saya merasa kita harus membantu mereka. (Dan) Sebagai orang Taiwan, saya khawatir kita akan menjadi yang berikutnya."
Hong Kong adalah bekas koloni Inggris yang kembali ke kedaulatan Tiongkok pada 1997. Sementara Taiwan telah mendeklarasikan diri sebagai negara berdaulat dan diperintah secara terpisah sejak berakhirnya perang saudara China pada tahun 1949.
Namun, Beijing melihat pulau itu sebagai provinsi yang akan disatukan kembali dengan China suatu hari - dengan kekerasan jika diperlukan.
Kekhawatiran bahwa suatu hari China akan mengendalikan Taiwan, mengubahnya menjadi Hong Kong berikutnya, telah membuat pemerintah Taiwan dan orang-orang menjadi pendukung terkuat demonstran Hong Kong.
Pemerintah Taiwan telah berulang kali mendesak Beijing dan otoritas Hong Kong untuk merespons secara positif permintaan para pemrotes untuk demokrasi --dan memenuhi janji mereka untuk mempertahankan kebebasan dan otonomi.
Dan orang-orang Taiwan --yang sebelumnya hanya peduli dengan Cantopop (genre musik pop Kanton Hong Kong) dan dim sum Hong Kong-- telah semakin banyak jumlahnya untuk menunjukkan dukungan bagi gerakan RUU anti-ekstradisi yang berubah menjadi pro-demokrasi.
Simak video pilihan berikut:
Bersatu Kita Kuat
"Meskipun Taiwan dipisahkan dari China oleh Selat Taiwan, status politik kami bukanlah Daerah Administratif Khusus seperti Hong Kong," kata Alex Ko, si penyuplai masker gas untuk massa pro-demokrasi.
"Kami bukan bagian China, mereka suatu hari bisa menyerang kami. Dengan bergabung (dengan Hong Kong), kami lebih kuat. Suatu hari kami mungkin membutuhkan bantuan mereka juga."
Sementara itu Beijing menuduh Taiwan, bersama dengan Amerika Serikat, sebagai "entitas asing" yang menyulut protes Hong Kong.
Meskipun tidak ada bukti Taiwan membantu mengorganisir atau mendanai protes di tingkat negara, telah ada kontak antara aktivis sejak Gerakan Payung Hong Kong dan Gerakan Bunga Matahari Taiwan pada 2014. Keduanya berasal dari kekhawatiran Beijing menggulung kembali demokrasi di wilayah masing-masing.
Aktivis demokrasi Hong Kong, seperti Joshua Wong, telah mengunjungi Taiwan untuk bertemu dengan aktivis Taiwan. Didirikannya partai pro-demokrasi Demosisto yang dipimpin Wong kabarnya terinspirasi oleh Partai Kekuatan Baru Taiwan (New Power Party).
Penyerbuan parlemen Hong Kong baru-baru ini juga mencerminkan insiden serupa di Taipei, ibukota Taiwan. Dan partai yang berkuasa di Taiwan dan partai oposisi baru-baru ini menyuarakan dukungan untuk memberikan suaka kepada pengunjuk rasa Hong Kong yang membutuhkannya.
Penggabungan tangan oleh Hong Kong dan Taiwan bisa berarti dua kali lipat kesulitan bagi Beijing. Tetapi tidak semua orang berpikir Taiwan akan menjadi Hong Kong berikutnya...
Advertisement
'Taiwan Sudah Demokrasi, Kami Ingin Hong Kong Juga'
Kepala Taipei Economic and Trade Office in Indonesia (TETO) John C. Chen --perwakilan diplomatik non-formal Taiwan di RI-- memantau dekat apa yang terjadi di Hong Kong, meski ia berjarak ribuan km jauhnya dari sana.
"Kami hanya ingin orang-orang di Hong Kong dapat menikmati demokrasi yang sama, supremasi hukum, yang kami nikmati di Taiwan," jelas John Chen kepada Liputan6.com.
Sementara itu, Yen Hsiao-lien, seorang pensiunan pengacara di Taiwan, mengatakan: "Taiwan memiliki kemerdekaan dan demokrasi; apa yang diperjuangkan rakyat Hong Kong, sudah kami miliki - hak pilih universal."
Yen menginginkan tensi Taipei-Beijing mereda dan hidup ko-eksis satu sama lain dengan damai.
Di sisi lain, Yen juga khawatir bahwa Presiden Taiwan Tsai Ing-wen --yang mengejar masa jabatan kedua pada Pemilu 2020 mendatag-- justru akan semakin memperburuk keadaan. Ia telah dipandang oleh sejumlah orang Formosa kerap memperuncing keadaan antara Taiwan-China --BBC melaporkan.
China di lain hal, lebih peduli tentang ancaman terbesar yang dirasakan - ketidakstabilan dan tantangan terhadap kekuatan mereka dari dalam.
Mereka berpikir gerakan demokrasi dapat mengacaukan negara, merebut kekuasaan mereka - atau menjadi alat bagi saingan mereka untuk menggulingkan mereka --kata analis.
"Mereka merasa jika mereka benar-benar menerima tuntutan pengunjuk rasa, itu akan melepaskan pintu air dan membuat tempat-tempat lain di Tiongkok daratan menjadi tidak stabil," kata akademisi Andy Chang kepada BBC.
Perlahan tapi pasti, orang-orang Hong Kong dan Taiwan melihat nasib mereka saling terikat.
Mereka adalah satu-satunya dua tempat di Tiongkok Raya (konsep historis di mana kekaisaran China membentang sebelum perang saudara yang berakhir pada 1949) yang telah merasakan kebebasan. Dan, beberapa percaya dengan bergabung, mereka dapat menunjukkan kepada kepemimpinan Tiongkok dan orang-orang bahwa demokrasi layak diperjuangkan.
Namun Alex Ko, si penyuplai alat-alat demo massa Hong Kong, menyarankan agar massa pro-demokrasi menggunakan cara-cara tanpa kekerasan, dan belajar dari pengalaman Taiwan dalam menggunakan metode damai untuk mencapai demokrasi.
"Saya pikir metode damai diperlukan untuk para pengunjuk rasa," katanya.
"Itu mungkin membantu mereka untuk berpikir tentang (masyarakat) seperti apa yang mereka inginkan agar Hong Kong menjadi --aman dan damai, atau kejam."