Liputan6.com, Jakarta - Ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Iran relatif mereda usai dua kejadian menegangkan di Irak, yakni pembunuhan Jenderal Qasem Soleimani dan serangan Iran ke pangkalan militer AS. Presiden AS Donald Trump juga sudah mengajak damai.
Pengamat Timur Tengah Nahdlatul Ulama (NU) Zuhairi Misrawi berkata eskalasi tidak akan membesar karena tidak ada serangan balasan dari AS. Meski demikian, pengamat menilai hubungan antara AS dan Iran semakin buram akibat penewasan Soleimani.
Advertisement
Baca Juga
Ia bahkan menyamakan kondisi saat ini seperti Revolusi Islam pada 1979. Dampaknya, kali ini Iran punya skenario ingin mengusir AS dari Timur Tengah.
"Setelah kematian Qasem Soleimani, hubungan Iran dengan Amerika itu pada titik terendah seperti Revolusi Islam 1979. Revolusi Islam itu mengusir Amerika dari Iran, sekarang ini pesannya bukan hanya mengusir Amerika dari Iran, tetapi mengusir Amerika dari Iran," ujar Zuhairi Misrawi kepada Liputan6.com, Kamis (9/1/2020).
Dampak lain jika perang adalah terganggunya situasi di negara-negara sekutu AS seperti Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Israel. Donald Trump juga punya kepentingan di Timur Tengah sehingga diprediksi enggan berperang.
Saat ini Iran memang belum mengambil langkah, namun Iran memiliki proksi-proksi militer yang siap angkat senjata. Qasem Soleimani sebagai pemimpin pasukan Quds juga berpengaruh di kalangan proksi Iran.
"Iran punya proksi di Palestina yaitu Hamas di Jalur Gaza. Di Lebanon Selatan punya Hizbullah. Dia punya Hasyad Sya'bi di Irak. Dia punya Houthi di Yaman. Dia punya di Suriah," jelas Zuhairi.
Jika Iran ingin melakukan pembalasan, maka keputusan itu bisa berlangsung mulus karena sudah mendapat restu dari eksekutif dan legistlatif.
"Menurut saya dari pihak Iran pasti akan melakukan pembalasan yang proporsional. Jadi jelas bahwa payung politiknya sudah jelas. Iran mendapat dukungan dari Ayatollah Ali Khamenei, dan parlemen sebagai perwakilan dari rakyat, dan juga eksekutif," ujar Zuhairi.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
PM Inggris Boris Johnson Desak Trump Menurunkan Ketegangan dengan Iran
Sementara itu, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan Presiden AS Donald Trump membahas serangan rudal Iran pada Rabu 8 Januari 2020, bahkan kedua pemimpin itu secara terpisah memberikan pendekatan berbeda tentang bagaimana cara mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir.
Dilansir dari CNA, Kamis (9/1/2020), kedua pemimpin sekutu itu berbicara dalam sebuah panggilan sebelum Trump, berbicara tentang mundur dari respons militer terhadap Tehran sebagai balasan atas serangan di pangkalan militer di Irak yang menaungi pasukan AS, kata juru bicara Johnson dan White House.
Serangan Iran terjadi setelah Amerika Serikat membunuh seorang komandan tinggi Iran di Baghdad pekan lalu. Trump mengatakan tidak ada tentara AS yang tewas dalam serangan di Tehran.
Johnson, dalam panggilan itu, mendesak Trump untuk menurunkan situasi secepatnya guna menghindari konflik lebih lanjut, kata juru bicara Johnson.
Advertisement
Koordinasi Erat
Dalam sambutannya di Gedung Putih pada hari Rabu, Trump menyebut pakta yang dinegosiasikan di bawah pendahulunya yang diprakarsai Barack Obama tidaklah efektif
“Sudah tiba waktunya bagi Inggris, Jerman, Prancis, Rusia, dan China untuk mengakui kenyataan ini,” kata Trump.
“Mereka sekarang harus melepaskan diri dari sisa-sisa kesepakatan Iran—atau JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action)—dan kita semua harus bekerja sama untuk membuat kesepakatan dengan Iran yang membuat dunia menjadi tempat yang lebih aman dan lebih damai."