Hadapi China di Natuna, Pengamat: Indonesia Harus Diplomasi Pintu Belakang

Pengamat hukum internasional menyarankan diplomasi pintu belakang untuk menghadapi klaim China di Natuna.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 14 Jan 2020, 07:30 WIB
Diterbitkan 14 Jan 2020, 07:30 WIB
Presiden China Tiba di Hong Kong
Presiden Cina Xi Jinping setibanya di Bandara Internasional Hong Kong, Kamis (29/6). Selain untuk memperingati 20 tahun penyerahan, Xi Jinping juga akan melantik Pemimpin Eksekutif terpilih Hong Kong, Carrie Lam. (AP Photo/Kin Cheung)

Liputan6.com, Jakarta - Klaim sepihak China atas mayoritas wilayah Laut China Selatan masih menjadi urusan di Asia Tenggara. China pun tutup kuping terhadap hukum laut internasional alias UNCLOS (United Nations Convention for the Law of the Sea).

Pakar hukum internasional (Universitas Indonesia) Hikmahanto Juwana menyarankan sudah saatnya Indonesia memakai diplomasi pintu belakang (backdoor diplomacy). Caranya tidak lagi dengan bernegosiasi langsung melalui diplomat, melainkan harus ada tokoh yang "membisiki" China.

"Jadi bukan para diplomat aktif yang melakukannya tetapi harus ada tokoh-tokoh yang berkomunikasi dengan pihak China," ujar Hikmahanto dalam diskusi publik Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDDC) di Jakarta, Senin (13/1/2020).

"Paling tidak mengatakan bahwa, 'Eh China kalau elu caranya begini terus nih, mohon maaf kami pemerintah tak bisa membendung sentimen anti negara China,'" jelasnya.

Hikmahanto pun mengingatkan bukan berarti harus ada sweeping terhadap negara China, sebab hal itu justru menunjukan sifat ketidakdewasaan. 

China pun diminta serius agar tidak membuang-buang energi Indonesia. Pasalnya, China di sinyalir menunggu inkonsistensi dalam pemerintah terutama ketika berganti pemerintahan.

"Sudah reda nanti muncul lagi. Entar mundur lagi. Kita habis energi juga begini," ucap Hikmahanto.

Ia pun menegaskan Indonesia tidak perlu pusing soal investasi China. Posisi Indonesia sebagai negara investasi China justru bisa menguntungkan, sebab China harus menjaga relasi baik agar kepentingan dan investasinya untung.

"Jadi enggak perlu ada kekhawatiran ini menganggu investasi, menganggu persahabatan dua negara. Jepang sama China juga ada sengketa perbatasan antara mereka juga enggak ada masalah investasi," tegas Hikmahanto.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Bakamla Tidak Jelas?

Kapal bantuan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk nelayan di Kepulauan Natuna. (Gideon/Liputan6.com)
Kapal bantuan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk nelayan di Kepulauan Natuna. (Gideon/Liputan6.com)

Anggota Komisi I DPR RI Sukamta turut ambil bagian dalam diskusi ini. Ia berkata anggota DPR satu suara menjaga kedaulatan Natuna.

Catatan yang ia berikan agar pemerintah bisa membenahi aturan terkait siapa yang punya wewenang menjaga laut. Pembahasan ini ia minta turut dilakukan seiring pembahasan Omnibus Law.

"Siapa sih yang sebetulnya kita tugasin untuk mengamankan laut ini. Angkatan laut? Polisi air, bea cukai atau Bakamla?" ujar Sukamta.

"Siapa leadingnya? Siapa Garda kedepannya, leading actornya siapa, koordinatornya siapa. Selama ini terus saling berebutan," tegasnya.

Bila memang Bakamla ingin dijadikan pelindung zona laut seperti ZEE, maka ia berharap ada kejelasan. Selama ini, Bakamla ia nilai tidak jelas.

"Kalau misalnya Bakamla yang ditugaskan tentu kita harap Bakamla diperkuat," ucap Sukamta."Di Bakamla ini juga selain tak jelas penugasannya, kantornya belum terlalu jelas, armadanya juga demikian," ia menambahkan.

Sukamta berharap selain agar ada kejelasan, tetapi juga Bakamla diberikan sumber daya dan armada yang cukup untuk mengamankan laut.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya