Liputan6.com, New York - Dokter Cameron Kyle-Sidell membuat pernyataan bahwa ventilator tidak membantu keadaan pasien terinfeksi Virus Corona COVID-19 menjadi lebih baik. Klaim bahwa kemungkinan alat itu jauh lebih membahayakan daripada membantu menolong memicu perdebatan, ketika dimuat di situs berbagi video YouTube sekitar dua pekan lalu.
Kemudian menuai kontroversi di dunia medis, yang berujung membuat sejumlah dokter tak menggunakan ventilator dan alat medis dasar dalam menangani pasien COVID-19.
Pasalnya, seperti dikutip dari TIME, Senin (20/5/2020), penggunaan ventilasi mekanis juga memiliki risiko dan kebanyakan dokter hanya memilih opsi ini sebagai pilihan terakhir ketika pasien benar-benar tidak dapat bernafas.
Advertisement
Hal ini membuat beberapa dokter memilih pasien untuk berbaring di posisi yang berbeda - termasuk di perut mereka - untuk memungkinkan bagian paru-paru yang berbeda aerasi lebih baik.
Sedangkan dokter lain mencoba untuk memberikan oksida nitrat untuk membantu meningkatkan aliran darah dan oksigen ke bagian paru-paru yang rusak, seperti yang dikutip dari Associated Press.
Pasien Corona di New York Hanya Bertahan Setidaknya 15 hari
Dikutip dari Associated Press, Gubernur New York, Andrew Cuomo, menuturkan setidaknya pasien COVID-19 yang menggunakan ventilator hanya bertahan hidup selama lima belas hari.
Sejauh ini, diperkirakan hanya tiga hingga empat persen pasien yang membutuhkan alat ventilasi.
Menurut para ahli yang dikutip dari Associated Press, empat puluh hingga lima puluh persen pasien dengan gangguan sistem pernafasan meninggal selama dirawat dalam ventilator. Namun, menurut pemerintah kota New York, delapan puluh pasien di kota tersebut telah meninggal dalam perawatan intensif ventilator.
Tak hanya itu, ventilator diperkirakan dapat merusak tubuh pasien karena tekanan udara yang tinggi dipaksa masuk ke kantung udara paru-paru pasien yang kecil, seperti dimuat dalam artikel Associated Press dan TIME.
Advertisement
Di China dan Inggris Tingkat Kematian Juga Tinggi Akibat Ventilator
Dikutip dari Associated Press bahwa China dan Inggris juga mencatat tingkat kematian yang tinggi akibat ventilasi.
Inggris mencatat setidaknya ada 66 persen kasus kematian pasien COVID-19 akibat ventilator, sedangkan dari Wuhan, China dikutip bahwa tingkat kematian pasien coronavirus mencapai 86 persen.
Pakar sistem pernafasan dari Rumah Sakit Umum Toronto, dokter Eddy Fan menuturkan bahwa dalam penemuan beberapa dekade silam, ventilasi medis dapat mengakibatkan kerusakan paru-paru lebih parah.
Namun, Dr Fan mengatakan bahwa bahaya dapat dikurangi dengan membatasi jumlah tekanan dan ukuran napas yang disampaikan oleh mesin.
Reporter: Yohana Belinda