Kenapa Ventilator Tak Membantu Pasien Corona COVID-19?

Dokter pengobatan darurat Kota New York Dr. Cameron Kyle-Sidell mengatakan bahwa ventilator kemungkinan tidak akan membantu pasien COVID-19.

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Apr 2020, 18:01 WIB
Diterbitkan 20 Apr 2020, 18:01 WIB
Ventilator
Ventilator yang dikembangkan oleh ITB. (Dok. Istimewa)

Liputan6.com, New York - Dokter Cameron Kyle-Sidell  membuat pernyataan bahwa ventilator tidak membantu keadaan pasien terinfeksi Virus Corona COVID-19 menjadi lebih baik. Klaim bahwa kemungkinan alat itu jauh lebih membahayakan daripada membantu menolong memicu perdebatan, ketika dimuat di situs berbagi video YouTube sekitar dua pekan lalu.

Kemudian menuai kontroversi di dunia medis, yang berujung membuat sejumlah dokter tak menggunakan ventilator dan alat medis dasar dalam menangani pasien COVID-19. 

Pasalnya, seperti dikutip dari TIME, Senin (20/5/2020), penggunaan ventilasi mekanis juga memiliki risiko dan kebanyakan dokter hanya memilih opsi ini sebagai pilihan terakhir ketika pasien benar-benar tidak dapat bernafas. 

Hal ini membuat beberapa dokter memilih pasien untuk berbaring di posisi yang berbeda - termasuk di perut mereka - untuk memungkinkan bagian paru-paru yang berbeda aerasi lebih baik.

Sedangkan dokter lain mencoba untuk memberikan oksida nitrat untuk membantu meningkatkan aliran darah dan oksigen ke bagian paru-paru yang rusak, seperti yang dikutip dari Associated Press.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Pasien Corona di New York Hanya Bertahan Setidaknya 15 hari

FOTO: Kuburan Massal Korban Corona COVID-19 di New York
Pekerja yang mengenakan alat pelindung diri mengubur jenazah dalam parit di Pulau Hart, Bronx, New York, Amerika Serikat, Kamis (9/4/2020). Pemerintah New York menguburkan secara massal korban-korban virus corona COVID-19 di Pulau Hart. (AP Photo/John Minchillo)

Dikutip dari Associated Press, Gubernur New York, Andrew Cuomo, menuturkan setidaknya pasien COVID-19 yang menggunakan ventilator hanya bertahan hidup selama lima belas hari. 

Sejauh ini, diperkirakan hanya tiga hingga empat persen pasien yang membutuhkan alat ventilasi. 

Menurut para ahli yang dikutip dari Associated Press, empat puluh hingga lima puluh persen pasien dengan gangguan sistem pernafasan meninggal selama dirawat dalam ventilator. Namun, menurut pemerintah kota New York, delapan puluh pasien di kota tersebut telah meninggal dalam perawatan intensif ventilator. 

Tak hanya itu, ventilator diperkirakan dapat merusak tubuh pasien karena tekanan udara yang tinggi dipaksa masuk ke kantung udara paru-paru pasien yang kecil, seperti dimuat dalam artikel Associated Press dan TIME


Di China dan Inggris Tingkat Kematian Juga Tinggi Akibat Ventilator

London Bridge.
London Bridge. (iStockphoto)

Dikutip dari Associated Press bahwa China dan Inggris juga mencatat tingkat kematian yang tinggi akibat ventilasi. 

Inggris mencatat setidaknya ada 66 persen kasus kematian pasien COVID-19 akibat ventilator, sedangkan dari Wuhan, China dikutip bahwa tingkat kematian pasien coronavirus mencapai 86 persen. 

Pakar sistem pernafasan dari Rumah Sakit Umum Toronto, dokter Eddy Fan menuturkan bahwa dalam penemuan beberapa dekade silam, ventilasi medis dapat mengakibatkan kerusakan paru-paru lebih parah. 

Namun, Dr Fan mengatakan bahwa bahaya dapat dikurangi dengan membatasi jumlah tekanan dan ukuran napas yang disampaikan oleh mesin.

Reporter: Yohana Belinda

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya