Liputan6.com, Baluchestan - Musim panas pada 2017 diibaratkan bagai uji ketahanan orang-orang di Phoenix, Arizona. Layanan Cuaca Nasional mengeluarkan peringatan panas yang ekstrem, dan pesawat-pesawat mendarat karena suhu melebihi 120 derajat Fahrenheit atau 48 derajat Celcius.
Panas memengaruhi kepadatan udara, yang pada gilirannya memengaruhi daya angkat pesawat.
Advertisement
Baca Juga
Dikutip dari laman Mentalfloss.com, Jumat (8/5/2020), meskipun langkah-langkah itu dilakukan, Phoenix bukanlah tempat terpanas di Bumi. Dan itu bahkan tidak dekat.
Lokasi terpanas ini terjadi di Gurun Lut di Iran pada 2005, ketika suhu tanah dicatat pada 159,3 derajat Fahrenheit atau 70,7 derajat Celcius.
Lut juga mengukur rekor suhu pada tahun 2004, 2006, 2007, dan 2009.
Sebelum satelit mendaftarkan Lut sebagai lokasi terpanas, salah satu daerah terpanas di Bumi sebelumnya yaitu di El Azizia, Libya, pada tahun 1922 pada 57 derajat Celcius.
Angin yang berhembus dari Gurun Sahara di dekatnya berkontribusi terhadap panas di wilayah tersebut.
Sementara Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mengakui pembacaan ini sebagai rekor terpanas selama bertahun-tahun, mereka kemudian menyatakan bahwa masalah instrumentasi dan masalah lain menyebabkan keraguan baru tentang akurasi.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini
Alasan Suhu Bumi Semakin Panas
Pada 56 juta tahun yang lalu, Kutub Utara disebut tidak berada dalam kondisi seperti sekarang ini, beku dan suhunya selalu minus di bawah nol derajat Celcius. Saat itu, masih ada pemandangan hijau yang subur (meskipun Anda harus berhati-hati terhadap buaya), tanpa padang es yang luas.
Itu karena dunia berada di tengah-tengah periode pemanasan global yang ekstrem, yang disebut Paleo-Eocene Thermal Maximum, yakni ketika Bumi begitu panas sehingga kutubnya mencapai suhu yang hampir tropis.
Â
Advertisement
Lebih dari Sekali
Tetapi apakah planet ini pernah sepanas seperti masa kini, ketika setiap bulan tampaknya memecahkan rekor suhu tertinggi satu demi satu?
Ternyata Bumi telah melalui periode pemanasan ekstrem lebih dari sekali. Kutub telah membeku, lalu mencair, dan membeku lagi. Sekarang, Bumi sedang memanas lagi.
Meski begitu, perubahan iklim yang terjadi pada waktu-waktu ini adalah momok yang berbeda dan bukan hanya bagian dari beberapa siklus alami yang lebih besar, kata Stuart Sutherland, ahli paleontologi di University of British Columbia.
Iklim Bumi berosilasi secara alami, selama puluhan ribu tahun, perputarannya di sekitar matahari perlahan berubah, mulai dari pergantian musim hingga besaran masuknya sinar matahari. Sebagai akibat osilasi ini, Bumi melewati periode glasial (lebih dikenal sebagai Zaman Es) dan periode interglasial yang lebih hangat.
Tetapi untuk menciptakan peristiwa pemanasan besar-besaran, seperti Paleo-Eocene Thermal Maximum, dibutuhkan perubahan kemiringan sumbu Bumi atau bentuk orbitnya di sekitar matahari. Selain itu, pemanasan ekstrem selalu melibatkan karbon dioksida (CO2) dalam dosis yang banyak.
Â
Gas Rumah Kaca
Gas rumah kaca tersebut hampir pasti bertanggung jawab atas terjadinya Paleo-Eocene Thermal Maximum. Tetapi bagaimana konsentrasi CO2 bisa begitu tinggi tanpa ada manusia di sekitarnya? Para ilmuwan tidak benar-benar yakin, kata Sebastien Castelltort, seorang ahli geologi di University of Geneva.
Dugaan utama mereka adalah gunung berapi memuntahkan karbon dioksida ke atmosfer, memerangkap panas, dan mencairkan kantong metana beku --gas rumah kaca yang lebih kuat daripada CO2 yang telah lama diasingkan di bawah laut.
Lantaran pemanasan global yang dipicu oleh gas rumah kaca telah terjadi sebelumnya, bukan berarti peristiwa ini tidak berbahaya. Ambil contoh, kepunahan Permian-Triassic yang melanda beberapa juta tahun sebelum dinosaurus muncul di Bumi. Kejadian itu adalah bencana mutlak bagi planet kita dan segala sesuatu yang hidup di atasnya.
Peristiwa pemanasan ini, yang terjadi pada 252 juta tahun lalu, sangat dahsyat karena disebabkan oleh aktivitas gunung berapi (dalam hal ini, letusan wilayah vulkanik yang disebut Siberian Traps), memicu kekacauan iklim dan kematian yang meluas.
"Bayangkan, kala itu amat keringan, tanaman sekarat, Saharah menyebar ke seluruh benua," kata Sutherland kepada Live Science.
Temperatur di Bumi naik 18 derajat Fahrenheit (10 derajat Celsius). Selain itu, sekitar 95% kehidupan laut dan 70% kehidupan darat punah. "Bumi terlalu panas dan tidak menyenangkan bagi makhluk untuk hidup," imbuh Sutherland.
Advertisement