HEADLINE: 7 Negara Lockdown Jilid II COVID-19, Perlu Antisipasi Global?

Gelombang kedua Virus Corona COVID-19 menghantam, lockdown jilid kedua terpaksa dilakukan sejumlah negara.

oleh Tanti YulianingsihFitri Haryanti HarsonoTeddy Tri Setio BertyBenedikta Miranti T.VTommy K. Rony diperbarui 08 Jul 2020, 12:18 WIB
Diterbitkan 08 Jul 2020, 00:02 WIB
Penjelasan Mengenai Lockdown
Ilustrasi Lockdown Credit: pexels.com/cottonbro

Liputan6.com, Jakarta - Bagai makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tak dimakan ayah mati. Pepatah Indonesia itu kini mewakili kegundahan hampir seluruh negara di dunia yang terdampak pandemi Virus Corona COVID-19.

Mereka dihadapkan dengan pilihan sulit. Memulihkan kondisi ekonomi atau menyelamatkan nyawa warganya dari virus corona jenis baru yang memicu pagebluk.

"Kita tidak bisa menyeimbangkan nyawa dan ekonomi. Jadi marilah jadikan kesehatan publik sedemikian sehingga membantu membuka ekonomi, dan jangan memperlakukannya sebagai dua kekuatan yang berlawanan," kata pakar penyakit infeksi terkemuka di Amerika Serikat Dr. Anthony Fauci.

Hingga Selasa (7/7/2020), kasus positif Virus Corona COVID-19 di seluruh dunia mencapai 11.590.195, berdasarkan Coronavirus COVID-19 Global Cases by Johns Hopkins CSSE, dengan jumlah kematian secara global tercatat sebanyak 537.429 jiwa. 

Meski begitu, sejumlah negara di dunia ada yang mulai melonggarkan pembatasan karena jumlah kasus COVID-19 di wilayahnya melandai. Namun, ada juga negara yang nekat membuka penguncian wilayah atau lockdown karena kondisi ekonomi yang melemah, walau kasusnya masih melonjak.

Akibatnya, gelombang kedua Virus Corona menghantam. Lockdown jilid kedua pun terpaksa dilakukan.

Tercatat, ada tujuh negara yang mulai memberlakukan lockdown jilid II. Meski, tak secara nasional melainkan hanya di sejumlah bagian negaranya. Antara lain: Spanyol, Portugal, Kazakhstan, Inggris, China, Jerman, dan Australia.

Kondisi ini sudah diperkirakan bakal terjadi oleh organisasi kesehatan dunia (WHO). Dr Maria Van Kerkhove selaku kepala unit penyakit dan zoonosis WHO mengatakan, jika langkah penguncian kembali dirasa perlu untuk dilakukan, maka para pemerintah negara harus siap untuk memberlakukannya lagi. 

"Beberapa negara yang telah berhasil menekan transmisi dan buka kembali, sekarang mungkin mengalami kemunduran," katanya dikutip dari laman CNBC International.  

"Pemerintah negara itu mungkin harus melakukan intervensi lagi, mungkin harus melakukan apa yang kita sebut lockdown," tambahnya.

Di sejumlah negara, pembukaan kembali lockdown membuat kasus terlihat menjadi sangat luar biasa. Maria pun meminta para pemimpin negara segera mengambil alih, untuk menuntaskan masalah ini.

"Belum terlambat untuk membalikkan keadaan. Kami melihat negara-negara yang berada dalam situasi luar biasa bisa membalikkan keadaan. Belum terlambat menggunakan pendekatan komprehensif ini." 

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus pun memperingatkan dunia bahwa pandemi Virus Corona COVID-19 ini belum mendekati berakhir.

"Kita semua ingin ini berakhir. Kita semua ingin melanjutkan kehidupan'...Tetapi kenyataan yang sulit adalah ini bahkan belum berakhir. Walaupun banyak negara telah membuat beberapa kemajuan, secara global pandemi ini sebenarnya sedang meningkat."

Ia mengungkap, 60 persen kasus Virus Corona dunia sejauh ini muncul pada Bulan Juni. Karena itu, Tedros meminta semua pihak memakai langkah pencegahan holistik sebagai upaya antisipasi global.

"Tidak hanya testing. Tidak hanya jaga jarak fisik. Tidak hanya melacak kontak. Tidak hanya masker. Laksanakan semua," tegas dia.

Tedros juga berpesan mengenai pentingnya mengedukasi masyarakat, serta melatih dan menyediakan perlengkapan bagi petugas kesehatan.

Infografis 7 Negara Lockdown Jilid II Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)

Secara khusus di Indonesia, WHO menilai risiko penularan secara keseluruhan masih tinggi lantaran transmisi dan pergerakan masyarakat yang terus berlangsung antardaerah. 

Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dilakukan secara bervariasi di setiap provinsi. Namun demikian, Indonesia masih melaporkan lebih dari 1.000 kasus baru dalam beberapa hari terakhir.

Melalui laporan resmi WHO tentang kondisi pandemi Virus Corona COVID-19 di Indonesia, WHO menyatakan dukungannya bagi Kementerian Kesehatan untuk memperluas pelacakan kontak di seluruh Indonesia.

"Sebagai bagian dari upaya ini, WHO akan memberikan bantuan teknis untuk mengembangkan buku panduan bagi staf lapangan yang akan dikerahkan untuk pelacakan kontak di tingkat provinsi," ungkap laporan resmi WHO.

Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono mengungkapkan, untuk melihat situasi pandemi COVID-19 di Indonesia, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Di antaranya melihat daerah kasus lonjakan serta jumlah tes COVID-19 yang sudah dilakukan. 

"Kita harus melihat lonjakan kasus COVID-19 di mana, daerah mana saja. Lalu perlu juga diketahui berapa tes (untuk pemeriksaan spesimen) yang dilakukan," tutur Pandu kepada Liputan6.com.

"Yang namanya lonjakan (kasus COVID-19) tergantung testing atau faktor lainnya seperti apa. Kalau (penambahan kasus COVID-19) dari testing aktif itu bagus," imbuhnya.

Pandu menegaskan, dalam melihat situasi COVID-19 tidak hanya dari lonjakan kasus COVID-19, juga angka positivity rate. "Saya melihat bukan hanya soal lonjakan kasus saja, tapi positivity rate-nya. Artinya, jumlah kasus dibagi jumlah tes. Jadi, kalau positivity rate-nya masih 20 persen ya tinggi. Di bawah itu ya 3 persen (angka positivity rate aman)" tegasnya.

"Untuk positivity rate-nya data terakhir saya belum tahu seberapa banyak. Karena seringkali tidak dilaporkan. Kita bingung kalau ada penambahan positif COVID-19, apakah memang pandemi masih tinggi, penularan tinggi."

Jika penambahan kasus COVID-19 yang diketahui dari hasil tes, Pandu menyebut hal itu bagus. Itu berarti bisa diidentifikasi.

Data Gugus Tugas Nasional pada 2 Juli 2020 melaporkan, sejak pertengahan Juni 2020, jumlah kasus baru terkonfirmasi positif Corona di Indonesia berada di kisaran 1.000 kasus per harinya. Namun, hal tersebut tidak serta merta menunjukkan angka positivity rate-nya tinggi.

Epidemiolog Gugus Tugas Nasional Dewi Nur Aisyah menerangkan, positivity rate tidak hanya dilihat dari angka saja, melainkan jumlah orang yang diperiksa. Secara nasional, positivity rate Indonesia mencapai 12 persen.

Angka ini masih di atas standar positivity rate yang ditetapkan WHO, yaitu sebesar 5 persen. Jika dibandingkan Mei 2020 lalu, positivity rate saat ini lebih rendah.

"Di pertengahan Mei ada 3.448 orang positif dalam waktu satu minggu. Orang yang diperiksa ada 26.000. Jadi dari 26,000 orang ada 3.000 yang positif. Sehingga, angka positivity rate-nya adalah 13 persen," jelas Dewi.

Ia menambahkan, data pada Juni 2020 dengan rata-rata 8.000 kasus baru dalam satu minggu dan orang yang diperiksa mencapai 55.000, sehingga positivity rate-nya 12 persen. 

Jika angka nasional 12 persen, maka setiap kabupaten-kota memiliki cerita yang berbeda bila ditelaah dari jumlah orang positif dibandingkan dengan jumlah orang yang diperiksa.

"Jumlah kasus terbanyak, misalnya, dari Surabaya, tapi begitu dilihat perbandingan 100.000 penduduk, ceritanya jadi berbeda. Walaupun Surabaya masuk lima besar, tapi kalau dari data provinsi, tidak masuk kedalam lima besar (kasus COVID-19 tinggi)," Dewi memungkasi.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Kasus COVID-19 Dunia Bakal 2 Kali Lipat pada September

Banner Infografis Cara China hingga Vietnam Tangani Virus Corona. (Liputan6.com/Abdillah)
Banner Infografis Cara China hingga Vietnam Tangani Virus Corona. (Liputan6.com/Abdillah)

Lebih dari 10 juta orang di dunia tertular Virus Corona COVID-19 setelah enam bulan wabah pertama dilaporkan muncul di kota Wuhan, China.

Mengutip ABC Indonesia, Senin (29/6/2020), WHO mengatakan angka penularan belum melambat, dengan jumlah penularan yang bisa mencapai 20 juta orang di bulan September.

Pandemi global Virus Corona COVID-19 sekarang sudah dilaporkan terjadi di 210 negara dan kawasan, kecuali benua Antartika.

Virus Corona baru juga sudah resmi dinyatakan sebagai penyebab kematian lebih dari 500 ribu orang di seluruh dunia.

Virus ini dengan cepat menyebar setelah China melaporkan ke WHO tanggal 31 Desember 2019 soal kasus radang paru-paru yang tidak biasanya di Wuhan.

Bulan Januari, COVID-19 dengan cepat menyebar ke berbagai kawasan di China hingga akhirnya mencapai seluruh 31 provinsi di negara tersebut.

China mengalami puncak kasus dengan adanya 6.500 kasus dalam masa 24 jam pada pertengahan Februari 2020.

Angka penularan bisa dikendalikan setelah kota Wuhan, dengan penduduk lebih dari 10 juta orang, ditutup sepenuhnya atau 'lockdown', ditambah kebijakan 'social distancig' dan peningkatan jumlah tes.

Pada Minggu 28 Juni, kasus aktif virus corona di China berada di bawah angka 1.000.

Sebanyak 4.641 orang di China meninggal akibat virus corona, namun sejak akhir Februari korban kematian terbanyak berada di luar China.

Menyebar Cepat di Luar China

Kasus pertama di luar China dilaporkan terjadi di Thailand, tanggal 15 Januari, kemudian dengan cepat menyebar ke Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Amerika Serikat.

Menariknya, Thailand selama ini hanya mencatat 58 kematian akibat virus tersebut.

Di bulan Maret, pusat penyebaran virus berada di kawasan Eropa.

Tanggal 5 Maret 2002, Eropa mencatat separuh dari kasus virus corona di dunia terjadi di kawasannya.

Ratusan juta warga Eropa harus menjalani karantina dilarang keluar rumah, di saat pemerintah berusaha menghentikan penyebaran virus.

Dua klaster besar yang merepotkan pemerintah adalah yang terjadi di Italia Utara.

Di pertengahan bulan Maret, dengan 'lockdown' yang ketat, Italia mengalami masa puncak penyebaran virus.

Dalam dua bulan terakhir angka penularan di Italia mulai menurun dan di awal bulan Juni lalu negara tersebut kembali dibuka dengan pelonggaran pembatasan perjalanan di dalam negeri.

Hari Sabtu, hanya ada 8 kematian akibat COVID-19 yang dilaporkan di Italia, pertama kalinya angka kematian berada di bawah angka 10 sejak 1 Maret 2020.

Angka penularan di Eropa sudah mencapai titik puncak, meski Rusia kini disebut sebagai daerah penularan baru. Angka kematian di Inggris, Italia, Spanyol dan Prancis dilaporkan terus menurun.

Virus corona tidak mengenal perbatasan negara. Di bulan April, Amerika Serikat menjadi pusat penyebaran baru dan sampai sekarang masih berjuang untuk mengatasinya.

Angka penularan di Amerika Serikat sudah lebih tinggi dari seluruh jumlah kasus di Eropa.

Lebih dari satu bulan, 30 persen kasus COVID-19 di seluruh dunia terjadi di Amerika Serikat.

Lokasi Penyebaran di Dunia

Jika awalnya penyebaran COVID-19 di luar China terjadi di negara-negara maju, seperti di Eropa dan Amerika Serikat, kini negara berkembang yang menjadi pusat penyebaran.

Banyak negara di lokasi yang disebut 'hotspot' di Amerika Latin, Asia Selatan dan Afrika tampaknya masih akan lama berjuang untuk bisa mengatasi penyebaran virus tersebut.

WHO menyatakan Amerika Selatan sebagai pusat penyebaran baru di akhir bulan Mei, dengan angka penularan setiap harinya di Brasil sudah melampaui Amerika Serikat.

Brazil mencatat lebih dari 1,3 juta kasus, lebih dari 50 ribu kematian, sementara Peru dan Chile masing-masing melaporkan adanya 250 ribu kasus penularan.

Penularan COVID-19 di Afrika dilaporkan sudah menurun, namun WHO memperingatkana virus ini sekarang sudah ditemukan di luar ibukota masing-masing negara di Afrika.

Kurangnya kemampuan tes dan pasokan lainnya telah dianggap bisa memperlambat penanganan virus corona di kawasan ini.

Mesir, Afrika Selatan dan Nigeria melaporkan angka penularan tertinggi di benua Afrika, di mana Afrika Selatan memiliki 30 persen dari sekitar 350 ribu kasus di Afrika.

Di Asia Selatan, India sejauh ini yang paling parah terkena dengan 500 ribu kasus, keempat terbesar di dunia.

Imbauan untuk WNI di Luar Negeri

Banner Rapid Test, Tes Massal Virus Corona Covid-19
Banner Rapid Test, Tes Massal Virus Corona Covid-19 (Liputan6.com/Triyasni)

Salah satu negara yang mengalami ancaman Virus Corona gelombang II adalah China. Setengah juta orang di Provinsi Hebei sebagai upaya mengurangi penyebaran Virus Corona COVID-19. Salah satu wilayah di China yang harus lockdown adalah Anxin, berjarak sekitar 150 km dari Beijing.

Lewat perwakilan Indonesia di China, pihak KBRI di Beijing telah membenarkan adanya kekhawatiran penyebaran Corona COVID-19 gelombang ke-2.

"Beijing raises emergency response level... All Indonesians in Beijing please be updated and observe current local regulations. Keep healthy and safe," tulis akun resmi @KBRI_Beijing.

Imbauan kepada WNI yang ada di Beijing maupun kota lain di China juga dilakukan. Lewat sejumlah media sosial di China, pemerintah RI telah mengingatkan sejumlah hal kepada WNI kita.

Mulai dari penggunaan masker dan mempraktikkan social distancing. Selain itu, KBRI Beijing juga meminta WNI menghindari keramaian, termasuk pasar.

KBRI juga meminta warga Indonesia yang ada di China untuk mematuhi peraturan setempat dan menghubungi hotline KBRI Beijing apabila memerlukan bantuan.

"Imbauan. Sehubungan dengan ditemukannya kasus baru COVID-19 di Beijing, KBRI Beijing kembali mengimbau warga masyarakat Indonesia untuk senantiasa bersikap waspada dan mengedepankan prinsip kehati-hatian," tweet @KBRI_Beijing.

KBRI juga meminta warga Indonesia yang ada di China untuk mematuhi peraturan setempat dan menghubungi hotline KBRI Beijing apabila memerlukan bantuan.

Sementara itu, menurut Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah hingga saat ini, upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah mengimbau agar WNI tidak terlebih dahulu bepergian ke luar negeri.

"Pada prinsipnya WNI juga belum bisa bepergian karena banyak negara yang belum bisa memproses permohonan visa," ujar Teuku Faizasyah.

 

7 Negara Lockdown Jilid II

Banner Infografis Polusi Udara di Dunia Menurun saat Pandemi Corona. (Foto: Dok. Freepik)
Banner Infografis Polusi Udara di Dunia Menurun saat Pandemi Corona. (Foto: Dok. Freepik)

Spanyol baru saja melonggarkan lockdown di negaranya, tetapi kini pemerintah memutuskan akan kembali menerapkannya. Kebijakan ini diambil karena kasus baru melonjak lagi hingga ratusan. 

Lockdown berjilid ini tak hanya dilakukan Spanyol. Portugal yang bersebelahan dengan Spanyol juga sudah mengunci kembali mobilitas masyarakat sejak akhir bulan lalu. 

Di Portugal, lockdown terjadi di ibu kota Lisbon. Menurut laporan Euro Weekly News, 77 persen kasus baru Virus Corona terjadi di ibu kota. 

Di Asia, Kazakhstan juga memutuskan kembali melakukan lockdown karena kasus meroket pada bulan lalu. Selengkapnya, berikut 7 negara yang akhirnya kembali melakukan lockdown. 

1. Spanyol

Dua pekan lalu, Spanyol baru melonggarkan lockdown. kini BBC melaporkan bahwa wilayah Catalunya dan Galisia. Masyarakat tak boleh bebas keluar-masuk daerah. 

Di Galisia, distrik A Marina yang memiliki 70 ribu penduduk hanya mengizinkan pekerja keluar-masuk di wilayah itu. Masyarakat juga tak boleh berkumpul dengan lebih dari 10 orang. 

Kapasitas bar dan restoran juga hanya boleh 50 persen saja. Meski demikian, masyarakat masih boleh berpergian di dalam A Marina. 

Sementara, Catalunya melakukan lockdown di distrik Segrià. Masyarakat tak bisa lagi bebas keluar-masuk daerah itu.

2. Portugal

Ibu kota Lisbon sedang kembali lockdown hingga 14 Juli mendatang. Euro Weekly News melaporkan masyarakat hanya bisa keluar rumah untuk kegiatan-kegiatan pokok.

Menurut CoronaTracker, ada 43 ribu kasus Virus Corona di Portugal. Sebanyak 29 ribu sudah sembuh dan 1.614 meninggal dunia.

3. Kazakhstan

Presiden Kazakhstan Kassym-Jomart Tokayev mengumumkan negaranya akan masuk ke lockdown jilid II pada pekan depan. Kasus di Kazakhstan terpantau melonjak tinggi dalam dua pekan terakhir.

Kazakhstan sebetulnya baru saja keluar dari masa darurat akibat Virus Corona pada Mei lalu. Kini, Presiden Tokayev berkata lockdown jilid II dapat terus diperpanjang.

"Pemerintah telah menyerahkan rencanana karantina selama dua minggu dimulai pada 5 Juli (dengan kemungkinan perpanjangan)," ujar Presiden via Twitter, Kamis 2 Juli 2020.

4. Leicester, Inggris

Kota Leicester, Inggris, akan memberlakukan lockdown atau karantina wilayah setelah mengalami peningkatan kasus baru Virus Corona COVID-19. 

Sebelumnya, pemerintah setempat sedang mempertimbangkan langkah itu, namun pekan lalu kota ini akhirnya memberlakukan lockdown. 

Pada situs resmi pemerintah Leicester, masyarakat diminta hanya bepergian hanya jika dirasa penting. Perintah work from home (WFH) juga kembali digencarkan. 

Tempat-tempat seperti restoran, bioskop, pub, perpustakaan, taman, dan lain sebagainya diputuskan untuk tutup. 

5. Hebei, China

China memberlakukan penguncian ketat pada hampir setengah juta orang di Provinsi Hebei sebagai upaya mengurangi penyebaran Virus Corona COVID-19 pada Minggu, 28 Juni 2020.

Kebijakan ini diterapkan setelah pihak berwenang memperingatkan wabah itu masih menjadi ancaman. Bisa semakin parah dan rumit, demikian dikutip dari laman Channel News Asia, Senin, 29 Juni 2020.

Para pejabat kesehatan mengatakan, wilayah Anxin--sekitar 150 km dari Beijing--akan "sepenuhnya tertutup dan dikendalikan".

Langkah-langkah ketat itu sama dengan yang diterapkan pada puncak pandemi di Kota Wuhan awal tahun ini.

"Hanya satu orang dari setiap keluarga yang diizinkan keluar sehari sekali untuk membeli kebutuhan seperti makanan dan obat-obatan," kata satuan tugas pencegahan epidemi di kabupaten itu dalam sebuah pernyataan.

6. North Rhine-Westphalia, Jerman

Jerman memberlakukan kembali penutupan wilayah atau lockdown di dua distrik bagian barat North Rhine-Westphalia yang berdampak pada ratusan ribu orang. Hal itu dilakukan otoritas setempat menyusul merebaknya Virus Corona COVID-19 di pabrik pengolahan daging.

Ini adalah yang terbaru dari serangkaian perebakan di pabrik pengolahan daging di seluruh dunia. Pandemi itu menimbulkan kekhawatiran di Eropa bahwa pelonggaran pembatasan terkait Corona COVID-19 bisa memicu gelombang kedua pandemi.

Otoritas negara itu memberlakukan pembatasan lokal pada Selasa 23 Juni di dua distrik Jerman, hanya beberapa minggu setelah Jerman membuka kembali bisnisnya secara nasional.

7. Victoria, Australia

Victoria, yang merupakan negara bagian terpadat kedua di Australia, pada Minggu 21 Juni kemarin memperpanjang status daruratnya selama empat pekan hingga 19 Juli. 

Australia kini tengah berjuang untuk melawan lonjakan infeksi Virus Corona dengan adanya peningkatan penularan lokal. 

Langkah itu diberikan sehari setelah Australia mengumumkan akan memberlakukan kembali pembatasan untuk pengunjung ke rumah warga.

Kebijakan tersebut membatasi kunjungan rumah warga menjadi lima orang dan pertemuan luar ruangan menjadi 10, yang dimulai pada Senin lalu. 

 Sebelum pembatasan itu, pada 1 Juni, pelonggaran sudah diberikan, yang mengizinkan kunjungan rumah warga hingga 20 orang dan pertemuan. 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya