10 Eks Pemimpin Pentagon Peringatkan Donald Trump Tak Libatkan Militer Soal Klaim Kecurangan Pemilu AS

Sepuluh mantan menteri pertahanan AS dikabarkan mengeluarkan peringatan agar militer tidak dilibatkan terkait klaim mengenai kecurangan pemilu Amerika 2020.

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Jan 2021, 11:05 WIB
Diterbitkan 05 Jan 2021, 11:05 WIB
Donald Trump
Presiden Donald Trump setelah meletakkan karangan bunga di Makam Prajurit Tidak Dikenal pada Hari Veteran di Pemakaman Nasional Arlington di Arlington, Virginia, Rabu (11/11/2020). Donald Trump pertama kalinya muncul ke publik sejak kalah dari Joe Biden dalam Pilpres AS. (Brendan Smialowski/AFP)

Liputan6.com, Washington D.C - Hingga kini Donald Trump masih bersikeras soal hasil Pemilu AS 2020 yang diselenggarakan pada 3 November 2020 lalu. Ia seakan tak kunjung terima bahwa saat ini Presiden Terpilih adalah Joe Biden.

Berbagai upaya dilakukan Donald Trump untuk menggugat atau membuktikan bahwa hasil kemenangan yang diraih oleh Joe Biden itu tak benar adanya. Terkini, ia dilaporkan menghubungi pihak Gerorgia untuk mendesak agar membatalkan perolehan Joe Biden.

Mengutip VOA Indonesia, Selasa (5/1/2021), sepuluh mantan menteri pertahanan AS pada Minggu 3 Januari dikabarkan mengeluarkan peringatan agar militer tidak dilibatkan terkait klaim mengenai kecurangan pemilu AS. Mereka beralasan hal itu akan membawa negara ke “wilayah berbahaya, melanggar hukum dan tidak konstitusional.”

Kesepuluh orang itu, baik dari Partai Demokrat maupun Republik, membubuhkan nama mereka dalam artikel opini yang diterbitkan The Washington Post.

Menyusul Pemilu 3 November dan penghitungan ulang suara di beberapa negara bagian serta gugatan hukum yang tidak sukses di pengadilan, hasilnya jelas, tulis mereka, meski tidak menyebut Trump secara jelas dalam artikel itu.

“Waktunya untuk mempertanyakan hasil telah berlalu, waktu untuk penghitungan resmi suara elektoral, sebagaimana diatur dalam Konstitusi dan undang-undang, telah tiba," tulis mereka.

Para mantan pimpinan Pentagon itu memperingatkan agar tidak menggunakan militer dalam upaya apapun untuk mengubah hasil pemilu AS 2020.

"Berbagai upaya untuk melibatkan angkatan bersenjata AS dalam menyelesaikan sengketa pemilu akan membawa kita ke wilayah yang berbahaya, melanggar hukum dan tidak konstitusional," tulis mereka.

"Para pejabat sipil dan militer yang mengarahkan atau melakukan langkah-langkah tersebut akan dituntut pertanggungjawabannya, termasuk kemungkinan menghadapi hukuman pidana, atas konsekuensi berat tindakan mereka terhadap republik kita."

 

Saksikan Juga Video Ini:

Mereka dari Departemen Pertahanan yang Berbicara

Markas Departemen Pertahanan AS atau Pentagon
Markas Departemen Pertahanan AS atau Pentagon (Wikipedia)

Beberapa pejabat militer senior, termasuk Jenderal Mark Milley, Ketua Gabungan Kepala Staf, secara terbuka telah menyatakan dalam beberapa pekan ini bahwa militer tidak punya peran apapun dalam menentukan hasil pemilu AS, dan bahwa loyalitas mereka adalah kepada Konstitusi, bukan kepada seorang pemimpin atau suatu partai.

Mereka juga memperingatkan dalam artikel itu mengenai bahaya menghambat transisi penuh dan mulus di Departemen Pertahanan sebelum Hari Pelantikan sebagai bagian dari peralihan kekuasaan kepada presiden terpilih Joe Biden. Biden telah mengeluhkan upaya-upaya para pejabat yang diangkat Trump untuk menghambat transisi itu.

Tanpa menyebut contoh khusus, para mantan menteri pertahanan itu menulis bahwa peralihan kekuasaan "kerap terjadi pada waktu ketidakpastian internasional mengenai kebijakan dan postur keamanan nasional AS," dan menambahkan, "Itu dapat merupakan momen ketika negara rentan terhadap aksi-aksi musuh yang ingin memanfaatkan situasi."

Ketegangan dengan Iran mewakili momen semacam itu. Hari Minggu 3 Januari menandai satu tahun sejak AS membunuh Qassem Soleimani, jenderal senior Iran. Iran telah bertekad untuk membalas pembunuhan itu, dan para pejabat AS mengatakan dalam beberapa hari ini bahwa mereka dalam kesiagaan yang ditingkatkan bagi kemungkinan serangan Iran terhadap pasukan atau kepentingan AS di Timur Tengah.

Mereka yang membubuhkan nama dalam artikel opini itu di the Post itu adalah Dick Cheney, William Perry, Donald Rumsfeld, William Cohen, Robert Gates, Leon Panetta, Chuck Hagel, Ash Carter, James Mattis dan Mark Esper. Mattis adalah menteri pertahanan pertama Trump. Ia mengundurkan diri pada tahun 2018 dan digantikan oleh Esper, yang dipecat hanya beberapa hari setelah pemilu 3 November.

The Post melaporkan gagasan menulis opini itu dimulai dengan percakapan antara Cheney dan Eric Edelman, pensiunan duta besar dan mantan pejabat senior Pentagon, mengenai bagaimana Trump mungkin berusaha memanfaatkan militer dalam beberapa hari mendatang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya