Liputan6.com, Washington D.C - Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyerukan larangan AS terhadap senjata serbu, setelah penembakan massal kedua di negara itu dalam seminggu yang menewaskan 10 orang di Colorado.
Dikutip dari laman Channel News Asia, Rabu (24/3/2021) Joe Biden mengatakan tidak "perlu menunggu satu menit lagi, apalagi satu jam, untuk mengambil langkah-langkah akal sehat untuk menyelamatkan nyawa di masa depan.
Advertisement
Baca Juga
Presiden AS tersebut mendorong rekan-rekannya di DPR dan Senat untuk bertindak atas kasus penembakan ini. "Kami dapat melarang senjata serbu dan magasin berkapasitas tinggi di negara ini sekali lagi," kata Joe Biden.
"Ini seharusnya tidak menjadi masalah partisan. Ini masalah Amerika. Ini akan menyelamatkan nyawa. Nyawa Amerika. Dan kita harus bertindak."
Kontrol senjata yang lebih ketat sangat populer di kalangan orang Amerika, tetapi Partai Republik telah lama menentang hal ini.
Joe Biden menyatakan hal ini di Washington beberapa jam setelah seorang pria berusia 21 tahun didakwa lantaran menembak 10 orang di supermarket Boulder, Colorado. Pembantaian itu terjadi kurang dari seminggu setelah pria bersenjata lainnya menembak mati delapan orang di tempat spa di ibu kota negara bagian Georgia, Atlanta.
Saksikan Video Berikut Ini:
Pelaku Menyerahkan Diri
Polisi mengidentifikasi Ahmad Al Aliwi Alissa (21) sebagai tersangka penembakan supermarket di Boulder, Colorado. Totalnya 10 orang tewas dalam peristiwa itu.
Pada foto yang beredar pasca-kejadian, pelaku penembakan Ahmad Al Aliwi Alissa tampak setengah bugil ketika menyerahkan diri ke polisi di TKP. Kaki kanannya tampak merah karena darah.
Menurut laporan New York Post, pelaku membeli pistol Ruger AR-556 pada 16 Maret 2021. Salah satu korbannya adalah seorang polisi.
Kepolisian Boulder County masih belum mengetahui motif pelaku, dan investigasi masih berada di tahap awal. Dalam prosesnya, FBI juga ikut terlibat.
Ahmad Al Aliwi Alissa merupakan tersangka tunggal. Sebelumnya, ia tidak pernah memiliki masalah dengan polisi.
Profil Facebook pelaku sudah dihapus, tetapi Daily Beast melaporkan bahwa pelaku lahir di Suriah pada 1999, kemudian berimigrasi ke Amerika Serikat pada 2002.
Pada beberapa postingan, ia mengeluhkan kasus Islamofobia dan merasa paranoid dirinya sedang dimata-matai.
Advertisement