Liputan6.com, Yangon - Kementerian Luar Negeri Myanmar menolak resolusi Majelis Umum PBB yang menyerukan embargo senjata terhadap negara yang tengah dalam masa konflik itu.
PBB juga mengutuk perebutan kekuasaan oleh militer pada Februari 2021, demikian dikutip dari laman The Star, Senin (21/6/2021).
Baca Juga
Myanmar menggambarkan resolusi tersebut yang disahkan pada Jumat, (18/6) sebagai kebijakan dan tidak mengikat secara hukum. Dan sebagai tuduhan sepihak dan asumsi yang salah.
Advertisement
Pernyataan yang dikeluarkan di ibukota Naypyidaw pada Sabtu (19/6) mengatakan bahwa Kementerian Luar Negeri telah mengirim surat keberatan kepada sekretaris jenderal PBB dan presiden Majelis Umum.
Resolusi tersebut mencerminkan konsensus internasional yang luas dan mengutuk pengambilalihan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi.
Ia meminta junta militer untuk memulihkan transisi demokrasi negara itu, mengutuk "kekerasan yang berlebihan dan mematikan" sejak pengambilalihan kekuasaan dan meminta semua negara "untuk mencegah aliran senjata ke Myanmar".
Â
PBB Minta Aung San Suu Kyi Dibebaskan
Resolusi itu juga meminta angkatan bersenjata Myanmar untuk segera dan tanpa syarat membebaskan Suu Kyi, Presiden Win Myint dan pejabat serta politisi lainnya yang ditahan setelah kudeta.
Serta, membebaskan semua orang yang telah ditahan, didakwa, atau ditangkap secara sewenang-wenang.
Langkah itu disetujui 119 negara memilih "ya," Belarus - pemasok senjata utama ke Myanmar - memilih "tidak" dan 36 negara abstain, termasuk tetangga Myanmar, China dan India, bersama dengan Rusia.
Duta Besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun, yang pada Februari 2021 mencela pengambilalihan kekuasaan oleh militer, memilih "ya" dan mendesak masyarakat internasional "untuk mengambil tindakan sekuat mungkin agar segera mengakhiri kudeta militer."
Kementerian Luar Negeri mengatakan pihaknya menganggap Kyaw Moe Tun telah diberhentikan dari posisinya dan mencatat bahwa dia telah didakwa dengan pengkhianatan di Myanmar.
Advertisement