Liputan6.com, Jakarta - Sebuah studi baru menyatakan bahwa selama pandemi COVID-19, lebih dari 28.000 ton sampah plastik terkait pandemi, seperti masker dan sarung tangan, telah berakhir di laut.
Dikutip dari laman Live Science, Rabu (10/11/2021), sampah itu setara dengan lebih dari 2.000 bus tingkat limbah. Dalam beberapa tahun, sebagian dari sarung tangan plastik dan bahan kemasan selama pandemi bisa berputar-putar di Kutub Utara.
Advertisement
Analisis tersebut menemukan bahwa 193 negara menghasilkan sekitar 9,2 juta ton sampah plastik terkait pandemi COVID-19 dari awal hingga pertengahan Agustus 2021, menurut The Guardian.
Sebagian besar plastik - sekitar 87,4% - digunakan oleh rumah sakit, sementara 7,6% digunakan oleh individu.
Pengemasan dan alat uji masing-masing menyumbang sekitar 4,7% dan 0,3% dari limbah, para penulis melaporkan dalam sebuah penelitian baru-baru ini, yang diterbitkan secara online pada 8 November di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Sampah Masker dan Sarung Tangan
Tim peneliti mengembangkan model untuk memprediksi berapa banyak sampah plastik berakhir di laut setelah dibuang. Mereka memperkirakan bahwa, pada 23 Agustus 2021, sekitar 28.550 ton puing-puing plastik telah menemukan jalannya ke lautan, diangkut ke sana oleh 369 sungai besar.
Dalam waktu tiga tahun, sebagian besar sampah akan bergeser dari permukaan laut ke pantai dan dasar laut, dengan lebih dari 70% terbawa ke pantai pada akhir tahun.
Sementara dalam jangka pendek, sampah sebagian besar akan berdampak pada lingkungan pesisir di dekat sumber aslinya, dalam jangka panjang, tumpukan sampah dapat terbentuk di laut terbuka, prediksi model tersebut.
Para peneliti juga memprediksi bahwa apa yang disebut zona akumulasi plastik sirkumpolar akan terbentuk pada tahun 2025.
Sementara itu, "pada akhir abad ini, model tersebut menunjukkan bahwa hampir semua plastik terkait pandemi berakhir di dasar laut (28,8%) atau pantai (70,5%), berpotensi merusak ekosistem bentik," yang berarti wilayah terdalam dari laut, tulis para penulis.
Advertisement