Liputan6.com, Sanaa - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) mengumumkan bahwa WNI petugas kapal bernama Surya Hidayat Pratama telah bebas usai 111 hari mendekam di tahanan kelompok Houthi di Yaman. Ia ditangkap pada awal 2022.
Berdasarkan laporan Kementerian Luar Negeri, Selasa (26/4/2022), Surya adalah Chief Officer yang bekerja di kapal Rwabee yang berbendera Persatuan Emirat Arab (PEA). Pada tanggal 3 Januari 2022, kapal Rwabee beserta seluruh awak kapal ditahan kelompok Houthi saat berlayar di perairan Al-Hudaidah Yaman.
Advertisement
Baca Juga
Selama masa penahanan, Kemlu RI beserta KBRI Muscat, KBRI Riyadh dan KBRI Abu Dhabi telah mengupayakan pembebasan Surya melalui komunikasi dengan berbagai pihak. Kemlu juga melakukan family engagement kepada pihak keluarga Surya yang berada di Makassar. Selama masa penahanan, telah beberapa kali melakukan komunikasi telepon dengan pihak keluarga.
Melalui upaya berbagai pihak, pada tanggal 24 April 2022, Surya Hidayat Pratama dapat dibebaskan dari penahanan Houthi dan kemudian diterbangkan dari Sanaa ke Muscat melalui fasilitasi yang disediakan Pemerintah Oman. KBRI Muscat melakukan pendampingan pemulangan Surya ke Indonesia dan tiba dengan selamat di tanah air pada tanggal 25 April 2022.
ABK itu selanjutnya akan dipulangkan ke daerah asalnya di Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Kementerian Luar Negeri menyampaikan apresiasi kepada Pemerintah Oman dan seluruh pihak yang turut serta membantu proses pembebasan dan pemulangan dari Surya Hidayat Pratama ke tanah air.
Sebagai informasi, kondisi perang di Yaman sedang relatif aman pada Ramadhan 2022 karena adanya gencatan senjata.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Menanti Perdamaian di Yaman
Sebelumnya dilaporkan, bertepatan dengan Ramadhan 2022, Houthi dilaporkan siap mengikuti rencana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk tidak menggunakan tentara anak. Sebelumnya, Houthi diketahui merekrut tentara berusia anak-anak di Perang Yaman.
Dilaporkan Arab News, Selasa (19/4), Houthi sudah menandatangani rencana aksi dengan PBB untuk mencegah rekrutmen dan penggunaan anak-anak di konflik bersenjata. Perjanjian itu juga menyebut Houthi tidak akan menyerang anak-anak, sekolah, dan pelanggaran berat lainnya.
Juru bicara Sekjen PBB, Stephane Dujarric, menjelaskan bahwa Houthi akan mengidentifikasi anak-anak atau tentara anak yang berada di pasukannya dalam waktu enam bulan.
"Mulai hari ini, pihak-pihak utama di konflik telah semuanya menandatangani komitmen untuk mengakhiri dan mencegah pelanggaran besar terhadap anak-anak," ujarnya.
Laporan PBB menyebut ada nyaris 1.500 anak-anak yang direkrut Houthi meninggal dalam pertempuran di tahun 2020. Tahun lalu, ada 500 orang lebih yang meninggal. Pasukan Houthi dibeking oleh Iran.
Sejak Perang Yaman dimulai di 2015, ada lebih dari 10 ribu anak yang tewas.
PBB menuding bahwa pasukan Houthi merekrut prajurit anak melalui kemah musim panas dan tempat ibadah masjid sebagai lokasi doktrin. Anak-anak juga diajarkan cara pegang senjata.
Virginia Gamba, perwakilan khusus PBB untuk anak-anak di konflik bersenjata, ikut menandatangani perjanjian terbaru ini sebagai saksi. Ia menyambut positif langkah untuk melindungi anak-anak di Yaman.
Ia pun meminta agar semua pihak menggunakan gencatan senjata saat ini untuk memprioritaskan hak anak-anak, beserta kebutuhan mereka. PBB juga mengaku siap mendukung Houthi dalam menerapkan persetujuan ini.
Advertisement
Arab Saudi dan Uni Emirat Arab Janji Donasi Rp 43 Triliun ke Yaman
Kerajaan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab sepakat untuk memberikan paket dana bantuan ke Yaman dengan total US$ 3 miliar (Rp 43 triliun). Langkah ini mendapat respons positif dari Dewan Keamanan PBB.
Menurut laporan Arab News, Kamis (14/4), dana bantuan itu merupakan paket bantuan ekonomi. Arab Saudi juga menambahkan komitmen sebesar US$ 300 juta untuk respons kemanusiaan PBB di Yaman.
Dewan Keamanan PBB mengaku prihatin dengan krisis kemanusiaan di Yaman, sehingga para donor diminta menyumbangkan rencana kemanusiaan PBB dan mendukung pemerintahan Yaman untuk menstabilkan ekonomi.
Pemberian paket bantuan ini terjadi pekan lalu yang juga terjadi transisi kekuasaan dari Presiden Abed Rabbo Mansour Hadi (Abdrabbuh Mansur Hadi) kepada Dewan Kepemimpinan Kepresidenan. Dewan tersebut dibentuk di Arab Saudi dengan tujuan mengakhiri perang di Yaman.
Sebelumnya, Arab Saudi dan sekutunya mendukung Hadi sebagai tokoh pemimpin di Yaman untuk melawan pengaruh Houthi.
DK PBB lanjut meminta para pemberontak Houthi untuk bekerja dengan utusan-utusan DK untuk meraih gencatan senjata yang permanen, serta meminta agar ada minimum 30 persen partisipasi perempuan di persetujuan apapun.
Pada awal Ramadhan 2022, Yaman memang mengadakan gencatan senjata.
Perang saudara di Yaman telah terjadi sejak 2014. Lebih dari 100 ribu tewas di konflik ini. Arab Saudi cs ikut melakukan intervensi untuk melawan Houthi.
Utusan khusus PBB untuk Yaman, Hans Grundberg, meminta agar perdamaian terwujud dan melihat gencatan senjata Ramadhan membantu mengurangi konflik yang terjadi. Ia juga melihat kapal-kapal masuk ke pelabuhan Hodeidah sehingga bisa membantu kekurangan BBM di ibu kota Sanaa. Namun, ia menyebut masih ada tantangan-tantangan ke depannya
Invasi Rusia Perburuk Krisis di Yaman dan Afghanistan
Konflik di Ukraina juga berdampak ke sejumlah negara lain yang butuh bantuan. Melonjaknya biaya makanan dan bahan bakar, bersama dengan pemotongan anggaran di beberapa negara donor tradisional, telah memaksa World Food Program (WFP) untuk mengurangi separuh jumlah makanan yang diberikannya kepada jutaan orang di Yaman, Chad dan Niger.
“Jangan membuat kami mengambil makanan dari anak-anak yang lapar untuk diberikan kepada anak-anak yang kelaparan,” pinta Program Pangan Dunia PBB (WFP).
Pada Desember 2021, PBB membuat rekor seruan sebesar $41 miliar (£31 miliar) untuk membantu 273 juta orang tahun ini. Seperti yang ditekankan oleh para pekerja bantuan, mereka bukanlah orang-orang yang akan dibuat sedikit lebih nyaman dengan bantuan dari PBB. Demikian seperti dikutip dari laman Channel News Asia, Selasa (12/4)
Mereka adalah orang-orang, terutama anak-anak, yang mungkin akan mati tanpanya.
Tapi seruan itu dibuat sebelum Rusia menginvasi Ukraina. Kedua negara itu dulunya menjual gandum ke WFP. Saat itu, Ukraina adalah pemasok, bukan negara yang membutuhkan bantuan kemanusiaan, seperti yang ditunjukkan direktur WFP di Jenewa, Annalisa Conte.
Pada bulan pertama perang, WFP menjangkau satu juta orang di Ukraina. Tapi pasokan gandum Ukraina, yang ditakdirkan untuk memberi makan beberapa yang paling lapar di planet ini, telah mengering.
Sementara itu, banyak negara Afrika, meskipun tidak bergantung pada bantuan PBB, mengimpor gandum dari Ukraina.Somalia mendapatkan lebih dari 60% gandumnya dari Ukraina dan Rusia, sementara Eritrea mendapatkan hampir 97% gandumnya dari Ukraina.
Advertisement