Liputan6.com, Taipei - Buruh migran (TKI) di Taiwan berharap adanya perubahan positif terkait pekerjaan mereka. Pasalnya, gaji dinilai stagnan dan pemerintah Taiwan kurang proaktif dalam mengurus masalah ini.
Awalnya, gaji memang terasa besar, namun lama-lama tidak ada perkembangan.
Advertisement
Baca Juga
Dilaporkan VOA Indonesia, Sabtu (21/5/2022), salah satu TKI yang bercerita adalah Fajar yang bekerja sebagai perawat rumah tangga di Taiwan sejak tahun 2012, dengan gaji minimum 17.000 dollar Taiwan, atau setara 8,4 juta rupiah. Dengan angka tersebut, dia bisa menabung dan mengirimkan sebagian uangnya kepada keluarga di tanah air.
Namun, uang yang didapatkannya lama-lama terasa makin sedikit. Ini lantaran gaji yang mereka terima tidak kunjung naik selama 6 tahun ini. Padahal gaji sektor formal naik terus dan standarnya kini mencapai 25.000 dollar Taiwan.
“Gaji kami hari ini hanya 17.000 NTD per bulan. Jadi kami hanya menikmati kenaikan biaya asuransi kesehatan yang meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan perkembangan gaji sektor formal,” ujarnya dalam sebuah diskusi virtual, Selasa (18/5).
Di samping gaji yang jalan di tempat, perawat rumah tangga juga sering dapat perlakuan tidak adil dari majikan.
Fajar, yang juga Ketua Gabungan Tenaga Kerja Bersolidaritas (Ganas) Taiwan, mengatakan jam kerja mereka tidak jelas, beban kerja selalu bertambah, dan tidak diberi libur. Selain itu, banyak majikan yang menahan paspor dan dokumen tenaga kerja sehingga mereka tidak bisa mencari pekerjaan yang lebih baik.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kerja Tak Layak
Yu-Kuo Su dari Kementerian Tenaga Kerja Taiwan tidak menyangkal bahwa masih ada majikan yang memperlakukan tenaga kerja asing secara buruk. Dia mengatakan buruh migran bisa melaporkan majikan ke sambungan 1955.
“Ketika majikan menahan dokumen atau kartu identitas mereka, mereka bisa mengajukan komplain ke 1955. Kami akan membantu mereka. Selain itu, pemerintah juga akan merevisi peraturan untuk mencegah majikan menahan dokumen di masa depan,” responnya.
Namun, melaporkan majikan tidaklah mudah. Dalam banyak kasus, buruh migran akan kalah dalam negosiasi. Ansensius Guntur dari Stella Maris International Migrants Service Center mengatakan bahwa buruh migran biasanya tidak memiliki bukti-bukti pendukung.
“Mungkin sebelum mereka ke sini mereka diajarkan lebih kuat lagi prosedur pelaporan. Mereka harus diajarkan dan dididik untuk menyediakan bukti yang lengkap kalau mereka diperlakukan tidak adil di tempat kerja. Mereka siapkan bukti supaya mereka bisa menang dalam negosiasi, tandasnya.
Pemerintah Taiwan pada April 2022 mengizinkan tenaga kerja asing, termasuk dari Indonesia untuk bekerja sebagai pekerja teknis menengah. Mereka diperbolehkan masuk indusri yang mengalami kekurangan tenaga kerja antara lain perikanan, manufaktur, dan konstruksi.
Fajar mengatakan banyak perawat rumah tangga yang tertarik bekerja di pabrik.
“Harapan kami pindah ke pabrik adalah ingin ada perbaikan dari jam kerja, hak libur, dan juga gaji. Setiap ada peningkatan dari Kementerian Ketenagakerjaan Taiwan, kami juga ikut merasakan,” ungkapnya.
Advertisement
Pemerintah Taiwan Perlu Intervensi
Namun untuk ikut program tersebut tidaklah mudah. Pemerintah Taiwan mensyaratkan perawat rumah tangga untuk lebih dulu mencapai gaji 24.000 dollar Taiwan, setara 11,8 juta Rupiah. Menurut Fajar, itu tidak masuk akal.
“Untuk dapat gaji 24.000 dollar Taiwan, Pemerintah Taiwan tidak ada intervensi. Karena majikan yang menggaji hanya 17.000 dollar Taiwan tidak melanggar hukum. Jadi bagi kami dengan gaji 24.000 dollar Taiwan itu adalah perjuangan dan negosiasi,” tandasnya.
Hal ini dikonfirmasi Lennon Ying-Dah Wong dari Serve the People Association (SPA), organisasi pendamping buruh migran di Taiwan. Menurutnya, syarat gaji itu tidak realistis.
“Ada banyak perawat rumah tangga dengan gaji di atas 17.000 dollar Taiwan. Tapi di kontraknya tetap tertulis segitu. Uang lebihnya tidak dianggap sebagai gaji. Singkatnya, program ini tidak realistis. Menurut saya hanya sedikit pekerja yang bisa mendaftar program ini,” kata dia.
Sementara itu Direkur Perlindungan WNI di Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, mengatakan akan memperkuat kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil dan komunitas Indonesia di Taiwan.
“Kami mengerti bahwa mengingat banyaknya WNI yang tinggal di Taiwan, tentu Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taiwan tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Ia perlu Kolaborasi dengan LSM dan komunitas di Taiwan,” tegasnya.
Taiwan adalah negara dengan jumlah buruh migran Indonesia terbanyak ketiga, setelah Malaysia dan Arab Saudi. Kemenlu mencatat ada 350.000 WNI di Taiwan yang kebanyakan adalah buruh migran.