Liputan6.com, Jakarta Perdana Menteri (PM) Barbados Mia Mottley menggambarkan Raja Charles III, anak dari Ratu Elizabeth II sebagai "orang yang terdepan pada masanya", karena wawasan lingkungan dan komitmennya terhadap kaum muda. Selain itu, baru-baru ini Charles juga menyatakan pengakuannya atas kekejaman perbudakan. Demikian seperti dikutip pada laman The Guardian, Senin (12/9/2022).
Barbados merupakan negara republik terbaru di dunia setelah memerdekakan diri dari Ratu Inggris sebagai kepala negara pada tahun lalu.
Baca Juga
Berbicara kepada program BBC World Service The Newsroom pada hari Sabtu, PM Mia Mottley juga memberikan penghormatan kepada Ratu Elizabeth II -- yang mengucapkan selamat kepada Pulau Karibia pada hari yang "penting" ketika pulau itu menjadi republik pada bulan November tahun 2021 lalu.
Advertisement
"Sangat sedikit orang lain bisa melampaui apa yang bisa dia capai," kata PM Mia Mottley.
"Stabilitas yang dia bawa dalam perjalanan Kerajaan Inggris dari sebuah kerajaan menjadi salah satu negara maju terkemuka di dunia mencerminkan kemampuannya untuk menyadari bahwa perubahan sedang terjadi."
Mottley menyebut Raja Charles sebagai "teman Barbados" dan "orang yang lebih maju dari masanya", karena perjuangan awalnya dalam memperjuangkan lingkungan, arsitektur, dan sosial.
"Apa yang menonjol bagi saya adalah komitmennya terhadap lingkungan, keanekaragaman hayati, pembaruan perkotaan dan integritas arsitektur," ucap Mottley.
"Tetapi selain itu, ia juga berusaha untuk menciptakan peluang bagi kaum muda, terutama mereka yang mungkin berisiko dan yang mungkin tidak terlihat, didengar atau dirasakan oleh orang lain di komunitas mereka atau keluarga mereka."
Perdana Menteri Barbados mengatakan bahwa Raja Charles adalah 'orang yang terdepan pada masanya'.
Charles Menentang Perbudakan
Mottley, yang telah menjabat sejak 2018, mengatakan Charles telah dengan jelas berkomitmen kembali pada "ikatan persahabatan" antara Inggris dan Barbados ketika dia mengunjungi pulau itu untuk menyaksikan proses transisinya.
Charles menggunakan kunjungan itu untuk membahas tindakan dan warisan kolonial Inggris, serta mengutuk "kekejaman perbudakan yang mengerikan" yang "selamanya menodai sejarah kita".
Dia membahas kembali masalah tersebut pada pertemuan kepala pemerintahan Persemakmuran di Rwanda pada bulan Juni tahun ini, ia menekankan pentingnya mengakui "kesalahan yang telah membentuk masa lalu kita".
Charles mengatakan bahwa dia dan istrinya, Camilla, telah terkejut dalam kunjungannya baru-baru ini ke Kanada, ia terkejut dengan bagaimana masyarakat adat dan non-pribumi di negara itu sekarang "merefleksikan secara jujur dan terbuka pada salah satu aspek sejarah yang paling kelam".
Ia menambahkan, ada pelajaran yang bisa dipetik bagi Persemakmuran.
"Sementara kita berjuang bersama untuk perdamaian, kemakmuran, dan demokrasi, saya ingin mengakui bahwa akar dari asosiasi kontemporer kita jauh ke dalam periode paling menyakitkan dalam sejarah kita," katanya.
"Saya tidak dapat menggambarkan kedalaman kesedihan pribadi saya atas penderitaan begitu banyak orang, karena saya terus memperdalam pemahaman saya sendiri tentang dampak abadi perbudakan."
Advertisement
Tantangan Raja Charles III Jadi Pengganti Ratu Elizabeth II di Kerajaan Inggris
Britania Raya kini kembali mempunyai seorang raja yang baru. Setelah Ratu Elizabeth II meninggal, Pangeran Charles kini telah menjadi Raja Charles III.
Pakar hubungan internasional dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Aleksius Jemadu menilai bahwa Ratu Elizabeth II telah meninggalkan warisan yang kuat di bidang diplomasi. Sebagai seorang ratu, Elizabeth II bisa menjaga kedudukan Inggris di dunia internasional, serta menjaga aliansi yang kuat bersama Amerika Serikat.
Aleksius juga menyorot bagaimana Ratu Elizabeth II bisa menjaga stabilitas monarki dari era Perang Dingin, Brexit, hingga sampai sekarang. Sang Ratu lantas menjadi simbol yang baik bagi rakyatnya.
"(Ratu Elizabeth II) juga berhasil bertahan sebagai Ratu itu dalam pergantian pemerintahan Inggris yang sudah berlangsung begitu sering. Tahun 50-an sampai sekarang, dia bisa mempersatukan Inggris Raya dan juga disegani oleh negara-negara jajahan Inggris dalam kerangka Persemakmuran itu," ujar Aleksius Jemadu kepada Liputan6.com, Jumat (9/9/2022).
"Dia dikenal oleh banyak pemimpin dunia sehingga rakyat Inggris betul-betul merasa dia yang menunjukkan kebesaran Inggris dari sejarahnya yang dulu dikenal dengan Pax Britannica sampai pada zaman modern ini," ia menambahkan.
Charles Biasa Saja
Kharisma Ratu Elizabeth II dinilai sebagai ilmu yang harus dipelajari Raja Charles III. Namun, sejauh ini Aleksius menilai Charles bukan sosok yang spesial di kancah internasional. Hal ini menjadi tantangan bagi Raja Charles di masa depan.
"Bayangkan dari tahun 50-an sampai 2022 itu cukup panjang dan dia (Ratu Elizabeth II) sudah pengalamannya banyak sekali, pengetahuan yang dia miliki, dan dia tahu itu Inggris Itu posisinya di mana. Charles harus belajar dari ibunya ini untuk membawa Inggris ke depan dan membuat Inggris tetap terpandang sebagai negara monarki konstitusional," ujar Aleksius.
"Charles kelihatannya biasa-biasa saja, tidak ada sesuatu yang gemilang sekali," lanjutnya.
Aleksius pun turut membandingkan antara sosok Elizabeth yang tegas versus Charles yang kurang stabil. Itu terlihat dari masalah rumah tangga dengan Putri Diana. Berikut penjelasannya:
Advertisement