Kasus Rebutan Bayi Antara Pasutri Afghanistan dan Tentara AS

Bayi Afghanistan itu diadopsi oleh prajurit AS. Namun, pasutri ini berkata bayi itu justru diculik.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 24 Okt 2022, 08:00 WIB
Diterbitkan 24 Okt 2022, 08:00 WIB
Potret Tentara AS Ambil Alih Bandara Internasional Kabul
Tentara AS berjaga di sepanjang perimeter di bandara internasional di Kabul, Afghanistan (16/8/2021). Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan Amerika Serikat mengumumkan bahwa mengambil alih kontrol lalu lintas udara di Bandara tersebut. (AP Photo/Shekib Rahmani)

Liputan6.com, Richmond - Seorang pasangan suami-istri dari Afghanistan menuding bayinya telah diculik oleh tentara AS. Sementara, pihak tentara AS berkata melakukan adopsi.

Orang itu dari bayi itu sebenarnya sudah meninggal, kemudian ia diurus oleh sepupu dari si bayi. Ketika upaya evakuasi AS di Afghanistan, prajurit AS memutuskan untuk mengadopsi bayi itu. 

Dilaporkan VOA Indonesia, Minggu (23/10/2022), dulu bayi itu terluka dalam sebuah serangan militer AS yang menewaskan kedua orangtua dan kelima saudara kandungnya. Barulah bayi itu diasuh sebagai anak oleh sepupu sendiri yang sudah menikah. 

AP News mengungkap kasus "rebutan" bayi ini dimulai setelah Amerika Serikat angkat kaki dari Afghanistan akibat aksi kudeta Afghanistan. Tentara bernama Joshua Mast itu lantas berkomunikasi pada pasutri Afghanistan tersebut agar segera membawa bayi perempuan itu ke Amerika Serikat. 

Sesampainya di AS, Mast mengambil bayi itu dan memberikan paspor dengan nama keluarga Mast. Pasutri Afghanistan itu lantas kaget dan kini menuntutnya.

Mast menyebut bayi itu selamat setelah ayahnya meledakan diri dan membunuh lima dari enam anaknya. Ibu dari bayi itu juga ditembak karena melawan.

Pihak pasutri itu membantah orang tua bayi kecil itu adalah teroris, melainkan seorang petani. Sementara, pihak kuasa hukum Mast justru tidak percaya bahwa pasutri itu benar-benar anggota keluarga bayi tersebut. Bayi itu kini berusia tiga tahun.

Pihak Joshua Mast yakin bahwa dirinya melakukan hal yang baik untuk menyelamatkan bayi itu dari "kejahatan Taliban", namun pihak sepupu bayi itu belum menyerah. Hingga kini, kasusnya masih didebatkan di Virginia, lokasi tempat tinggal Mast. 

 

 

Taliban Semakin Represif Terhadap Perempuan, AS Umumkan Sanksi Tambahan

Demo Perempuan Afghanistan Protes Hak Bersekolah
Aksi sekelompok wanita saat berunjuk rasa di Herat, Afghanistan, Kamis (2/9/2021). Para pengunjuk rasa mendesak Taliban menghormati hak-hak kaum perempuan, termasuk menempuh pendidikan. (AFP Photo)

Sebelumnya dilaporkan, Amerika Serikat mengumumkan sanksi baru, pada Selasa (11/10), terhadap Taliban sebagai hukuman atas perlakuan represif mereka terhadap perempuan dan anak perempuan di Afghanistan.

Menteri Luar Negeri Antony Blinken meluncurkan kebijakan pembatasan visa baru untuk anggota dan mantan anggota Taliban serta pihak lainnya yang dianggap terlibat dalam penindasan perempuan melalui kebijakan pembatasan dan tindakan kekerasan.

Blinken menyampaikan pengumuman itu pada Hari Anak Perempuan Internasional PBB, dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (13/10).

“Sebagai contoh suram, selama lebih dari satu tahun, Afghanistan tetap menjadi satu-satunya negara di dunia di mana anak perempuan secara sistematis dilarang bersekolah di atas kelas enam, tanpa penetapan tanggal kembali (kapan mereka bisa bersekolah),” kata Blinken.

Setelah kembali berkuasa pada Agustus 2021 menyusul mundurnya pasukan pimpinan AS, kelompok garis keras Taliban telah melarang anak perempuan bersekolah di sekolah menengah. Tetapi, perempuan diperbolehkan untuk kuliah.

Sebuah insiden bom bunuh diri baru-baru ini terjadi di sebuah kelas di Kabul menewaskan dan melukai puluhan siswa saat mereka menyiapkan diri untuk ujian.

PBB telah menyebutkan jumlah korban tewas mencapai 53, termasuk 46 anak perempuan dan perempuan muda.

Pelaku meledakkan dirinya di sebelah sejumlah perempuan yang tengah berada di ruang belajar yang dipisahkan berdasarkan gender. Ruang itu dipenuhi ratusan siswa yang mengikuti tes praktik untuk penerimaan mahasiswa baru di universitas.

Malala Kunjungi Pakistan pada Peringatan 10 Tahun Penembakan Dirinya oleh Taliban

Malala, seorang Kartini dari Pakistan lahir pada 12 Juli 1997 (Jessica Rinaldi/AP)
Malala, seorang Kartini dari Pakistan lahir pada 12 Juli 1997 (Jessica Rinaldi/AP)

Peraih Nobel Perdamaian Malala Yousafzai pada Selasa (11/10) kembali ke negara asalnya, Pakistan, untuk menemui para korban banjir, 10 tahun setelah upaya pembunuhan terhadap dirinya dilakukan oleh Taliban.

Kunjungannya – yang kedua sejak dia diterbangkan ke Inggris untuk perawatan yang menyelamatkan jiwanya – dilakukan ketika ribuan orang melancarkan protes di kota kelahirannya, di mana pengaruh kelompok militan yang sama kembali meningkat, dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (13/10). 

Yousafzai baru berusia 15 tahun ketika Taliban Pakistan – sebuah kelompok independen yang memiliki ideologi yang sama dengan Taliban Afghanistan – menembak kepalanya karena kampanyenya untuk pendidikan bagi anak perempuan.

Pada Selasa (11/10), dua hari setelah peringatan 10 tahun serangan itu, dia mendarat di Karachi. Dari kota itu dia akan melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang hancur oleh banjir akibat hujan lebat yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kunjungan Malala bertujuan “untuk membantu menarik perhatian internasional terfokus pada dampak banjir di Pakistan dan meningkatkan bantuan kemanusiaan yang kritis,” kata organisasinya, Malala Fund, dalam sebuah pernyataan.

Bencana banjir membuat sepertiga wilayah Pakistan terendam air, menelantarkan delapan juta orang, dan menyebabkan kerugian senilai US$ 28 miliar.

Taliban Kembali Buka Sekolah Coding Bagi Remaja Perempuan Afghanistan

Taliban Perintahkan Perempuan Afghanistan Pakai Burqa di Ruang Publik
Seorang perempuan mengenakan burqa berjalan melalui pasar burung saat dia menggendong anaknya, di pusat kota Kabul, Afghanistan, 8 Mei 2022. Taliban memerintahkan perempuan Afghanistan untuk mengenakan pakaian dari kepala hingga ujung kaki atau burqa tradisional di depan umum. (AP Photo/Ebrahim Noroozi)

Pihak berwenang Taliban telah mengizinkan kembali sebuah sekolah non-pemerintah beroperasi di provinsi Herat, di mana anak-anak perempuan dapat mempelajari sistem pengkodean komputer atau coding.

Sekolah itu sempat ditutup setelah Taliban mengambil alih Afghanistan pada Agustus tahun lalu, seperti dikutip dari laman VOA Indonesia, Jumat (23/9).

Menurut pendiri dan CEO Code to Inspir, Fereshteh Forough, lebih dari 350 siswa telah mendaftar di sekolah itu, tetapi hanya 200 orang yang akan diterima dalam program desain grafis selama satu tahun yang akan dimulai pada akhir September mendatang.

Code to Inspire adalah lembaga swadaya masyarakat yang mengelola sekolah coding perempuan pertama di Afghanistan.

“Rata-rata siswa kami berusia 18-25 tahun,” ujar Forough pada VOA, seraya menambahkan bahwa biaya bulanan yang mencapai US$ 60 per siswa akan dibayar oleh Code to Inspire.

Meskipun sudah aktif di Afghanistan sejak tahun 2015, lembaga tersebut harus memperbarui pendaftaran LSM itu pada rezim baru Taliban agar dapat terus beroperasi.

Dalam proses pembaruan izin tersebut, Forough mengatakan bahwa lembaganya banyak mengalami hambatan birokrasi, tetapi akhirnya berhasil mendapatkan izin kerja dan lisensi untuk membuka kembali fasilitas tersebut.

Pembukaan kembali sebuah sekolah adalah suatu perkembangan signifikan di negara di mana aksed pendidikan di kalangan anak perempuan mengalami kemunduran besar dalam setahun terakhir ini. Tetapi, pembukaan sekolah coding tersebut tidak menunjukkan perubahan kebijakan Taliban terhadap pendidikan bagi perempuan dan anak perempuan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya