Liputan6.com, Teheran - Badan anak-anak PBB (UNICEF) Minggu (27/11) mengeluarkan pernyataan yang mengutuk “kekerasan dan penganiayaan yang dilaporkan telah merenggut nyawa lebih dari 50 anak-anak dan melukai lebih banyak lagi selama berlangsung kerusuhan masyarakat di Iran.”
UNICEF mengatakan “sangat prihatin mengenai berlanjutnya penggerebekan dan penggeledahan yang dilakukan di beberapa sekolah” dan bahwa “sekolah-sekolah harus selalu menjadi tempat aman bagi anak-anak.”
Baca Juga
UNICEF melaporkan telah menyampaikan secara langsung keprihatinannya kepada pihak berwenang di Iran sejak kasus-kasus korban anak-anak pertama terjadi sebagai tanggapan atas protes masyarakat.
Advertisement
Beberapa organisasi HAM melaporkan hingga 63 anak-anak tewas dalam protes tersebut, dikutip dari VOA Indonesia, Rabu (30/11/2022).
Iran adalah pihak penandatangan Konvensi Hak-hak Anak. Kelompok advokasi global untuk anak-anak tersebut mengemukakan dalam sebuah pernyataan bahwa para pemimpin di negara itu memiliki “kewajiban untukmenghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak anak untuk hidup, privasi, kebebasan berpikir dan berkumpul secara damai.”
UNICEF, organisasi pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, mendesak Iran “untuk menghormati hak semua anak untuk berkumpul secara damai sebagai jaminan fundamental – tidak peduli siapa mereka atau di mana pun mereka … anak-anak dan remaja harus dilindungi dari semua bentuk bahaya yang berisiko bukan hanya bagi jiwa dan kebebasan mereka, tetapi juga kesehatan mental dan fisik mereka.”
“Iran beruntung memiliki populasi anak-anak dan remaja yang tergolong muda, yang merupakan sumber daya luar biasa bagi negara, sekarang dan pada masa depan,” kata UNICEF. “Kebutuhan, aspirasi dan kesejahteraan mereka harus menjadi prioritas dalam semua situasi.”
AS Jatuhkan Sanksi pada Tiga Pejabat Iran Buntut Aksi Demonstrasi
Amerika Serikat, pada Rabu (23/11), menjatuhkan sanksi terhadap tiga pejabat keamanan Iran terkait hak asasi, ungkap Departemen Keuangan AS. Lembaga itu mengutip tindakan keras Iran yang berkelanjutan terhadap para demonstran di daerah yang mayoritas penduduknya berasal dari etnis Kurdi.
Langkah tersebut merupakan sanksi terbaru yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat sejak demonstrasi pecah di seluruh Iran sebagai tanggapan atas kematian perempuan Kurdi, Mahsa Amini, 22, yang tewas dalam tahanan polisi moral Iran pada September lalu.
Sanksi menarget pejabat-pejabat penting yang terlibat dengan "respons keamanan yang sangat keras" yang digencarkan oleh otoritas Iran terhadap para demonstran di kota-kota Kurdi di wilayah barat laut Iran, kata Departemen Keuangan.
Sanksi dijatuhkan terhadap dua pejabat di Sanandaj: Gubernur Hassan Asgari dan, komandan pasukan penegak hukum kota itu, Alireza Moradi, dikutip dari VOA Indonesia, Jumat (25/11/2022).
Menurut Departemen Keuangan, Asgari dan pejabat-pejabat lain telah memberi keterangan palsu tentang penyebab kematian seorang demonstran berusia 16 tahun yang dilaporkan dibunuh pasukan keamanan.
Sanksi juga dijatuhkan terhadap Mohammad Taghi Osanloo. Ia adalah komandan pasukan darat Korps Pengawal Revolusi Islam yang mengawasi kota Kurdi lainnya, Mahabad, di mana pasukan tambahan dikerahkan untuk menanggapi protes, kata Departemen Keuangan.
Misi Iran untuk PBB di New York belum menanggapi permintaan komentar.
Sanksi itu berupa pembekuan semua aset di Amerika Serikat dari ketiga orang itu. Selain itu, umumnya warga AS dilarang berbisnis dengan mereka.
Advertisement
Indonesia Tolak Resolusi PBB tentang Pelanggaran HAM Iran
Diplomat Indonesia kembali ogah mengecam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di level global. Kini Indonesia juga menolak mendukung resolusi PBB terkait Iran.
Berdasarkan laporan VOA Indonesia, Selasa (22/11/2022), Indonesia adalah bagian dari 28 negara yang menolak rancangan resolusi mengenai situasi hak asasi manusia (HAM) di Iran dalam pemungutan suara yang berlangsung di sidang Majelis Umum PBB di Kota New York, Amerika Serikat, pekan lalu.
Diplomat Kemlu RI berkata penolakan ini merupakan bentuk konsistensi Indonesia. Sebelumnya, Indonesia memang konsisten menolak mengecam resolusi pelanggaran HAM berat China terhadap Muslim Uighur.
Amnesty International menyebut ratusan orang tewas sejak demo terhadap kematian Mahsa Amini yang ditangkap polisi moral Iran. Amnesty menyalahkan tindakan aparat Iran yang represeif.
Sebanyak 15-16 ribu orang dilaporkan ditangkap, termasuk pendemo, aktivis HAM, dan jurnalis.
Direktur HAM Kementerian Luar Negeri Achsanul Habib kepada VOA, Senin (21/11), menjelaskan posisi Indonesia sejak awal rancangan resolusi dibuat sangat konsisten. Indonesia mengusulkan dilangsungkannya dialog dengan pemerintah Iran untuk secara konstruktif membantu mereka dalam isu HAM.
"Jangan dipojokkan, kemudian diputus malah hubungan dialog dan kerjasama dengan Iran tersebut. Jadi maunya kita gitu dulu. Di samping itu, resolusi juga diikuti pemberian sansi-sanksi dan sebagainya yang akhirnya menimpa rakyat Iran sendiri akibat blokade energi, blokade ekspor, dan sebagainya," kata Achsanul.
Rancangan resolusi itu tetap disahkan dengan dukungan 80 negara anggota, sedangkan 68 negara lainnya abstain.
Achsanul menegaskan pemerintah Indonesia juga ingin agar persoalan di dunia ini dibawa ke arah multilateralisme, didialogkan secara objektif, transparan, dan adil, serta mengedepankan prinsip-prinsip yang diatur dalam Piagam PBB.
Atas Nama Politik Bebas Aktif
Lebih lanjut, Achsanul menekankan prinsip diadopsi Indonesia itu diterapkan bukan hanya dalam isu Iran. Selain penghormatan terhadap negara berdaulat, Indonesia juga tidak menginginkan sistem tebang pilih. Bila memang ada keprihatinan terhadap isu HAM, jangan negara-negara tertentu saja yang disasar.
Tanpa menjelaskan siapa yang sebenarnya ia maksud, Achsanul menyatakan jika negara yang bermasalah dalam isu HAM adalah temannya, maka pura-pura tidak tahu. Sebaliknya, jika negara yang memiliki persoalan HAM itu bukan teman atau tidak sehaluan, buru-buru dimunculkan resolusi.
Achsanul menambahkan kebijakan luar negeri Indonesia itu tidak kaku dalam arti tidak tutup mata terhadap perkembangan. Jika resolusi itu dibuat benar-benar untuk mencari solusi atas sebuah persoalan, tentu Indonesia akan melihat seperti apa konteks dan perkembangannya agar diplomasi Indonesia dapat ikut membantu menciptakan perdamaian dunia.
Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Diponegoro, Mohammad Rosyidin, mengatakan sikap Indonesia menolak resolusi tersebut sudah tepat.
Jika Indonesia mengecam atau memberikan aksi-aksi yang lebih konkret tentu itu bertentangan dengan prinsip bebas aktif dan non-intervensi terhadap urusan domestik negara lain yang dianut oleh Indonesia.
"Karena urusan di Iran ini kan urusan domestik Iran sendiri. Indonesia bisa jadi sangat menahan diri untuk tidak melibatkan diri atau intervensi dalam urusan itu. Namun yang perlu digarisbawahi adalah tindakan pemerintah Iran yang menindas dengan melakukan pembunuhan di luar pengadilan, tindakan-tindakan yang berlebihan terhadap demonstran itu juga perlu untuk diberi perhatian lebih," ujar Rosyidin.
Advertisement