Pemilu Thailand: Kelompok Oposisi Ungguli Koalisi Pemerintah, Sinyal Pudarnya Pengaruh Monarki-Militer?

Warga Thailand akan menuju ke tempat pemungutan suara pada Minggu 14 Mei 2023, di mana negara itu diperkirakan hendak menyaksikan pemilu terpenting dalam sejarah mereka.

oleh Hariz Barak diperbarui 13 Mei 2023, 13:01 WIB
Diterbitkan 13 Mei 2023, 13:01 WIB
PM Thailand Prayuth Chan-ocha
PM Thailand Prayuth Chan-ocha (AP)

Liputan6.com, Bangkok - Warga Thailand akan menuju ke tempat pemungutan suara pada Minggu 14 Mei 2023, di mana negara itu diperkirakan hendak menyaksikan pemilu terpenting dalam sejarah mereka.

Kelompok oposisi telah mengungguli sejumlah jajak pendapat dengan selisih lebar atas koalisi pemerintah saat ini yang dipimpin oleh Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha --jenderal yang merebut kekuasaan dalam kudeta militer pada tahun 2014. Prayuth turut ikut serta dalam pemilu tahun ini bersama partai United Thai Nation Party.

Partai-partai politik yang beroposisi hendak mendorong masa depan negara monarki tersebut ke masa depan yang lebih demokratis, dengan berusaha untuk melepaskan Thailand dari kekuatan militer selama hampir satu dekade sejak kudeta junta, dan mengekang kekuasaan kerajaan di tatanan pemerintahan dan publik.

Kelompok oposisi terdepan saat ini adalah partai populis Pheu Thai, yang telah mendominasi politik elektoral selama dua dekade terakhir, tetapi telah berulang kali disingkirkan dari kekuasaan oleh kudeta militer dan intervensi yudisial.

Salah satu calon perdana menteri dari Partai Pheu Thai adalah Paetongtarn Shinawatra (36), anggota terbaru dari dinasti politik yang telah membangun basis kekuatan dengan menarik penduduk pedesaan dan kelas pekerja Thailand.

Ayah Paetongtarn, miliarder taipan telekomunikasi Thaksin Shinawatra, adalah perdana menteri sebelum digulingkan dalam kudeta tahun 2006. Bibi Paetongtarn, Yingluck Shinawatra terpilih sebagai perdana menteri pada tahun 2011 dan kemudian juga disingkirkan oleh militer pada tahun 2014.

Jika Pheu Thai mungkin merupakan kelompok politik yang telah mapan di Thailand, kemunculan penantang baru dari partai Move Forwad Party (MFP) yang berhaluan progresif dan digerakkan oleh kaum muda-lah yang membuat banyak pengamat melihat potensi perubahan nyata di Negeri Gajah Putih tersebut.

"Move Forward adalah permainan baru di Thailand," kata Thitinan Pongsudhirak, profesor ilmu politik di Universitas Chulalongkorn di Bangkok, dikutip dari UPI (13/5/2023).

"Ini mengubah arah dalam politik Thailand dari pertempuran antara kemapanan konservatif-royalis yang berputar di sekitar militer, monarki dan peradilan di satu sisi dan kekuatan dinasti politik Thaksin di sisi lain."

Pemilu hari Minggu akan menjadi "pemilihan paling penting hingga saat ini," kata Thitinan. "MFP membawa politik Thailand ke tingkat berikutnya dengan menuntut reformasi struktural dari pusat-pusat kekuasaan yang mapan, khususnya militer dan monarki."

Move Forward telah melonjak ke posisi kedua dalam jajak pendapat di belakang pemimpinnya yang berpendidikan Harvard berusia 42 tahun, Pita Limjaroenrat. Mereka punya agenda ambisius yang ingin menulis ulang konstitusi, mengakhiri wajib militer dan - yang paling radikal - mereformasi hukum lese-majeste di mana tindakan menghina Raja Vajiralongkorn atau anggota keluarga kerajaan dianggap sebagai pidana.

Partai tersebut merupakan penerus partai Future Forward Party, yang meraih kursi terbanyak ketiga dalam pemilihan umum terakhir yang diselenggarakan pada 2019.

Future Forward dengan cepat dibubarkan oleh mahkamah konstitusi Thailand, dan para pemimpinnya dilarang berpolitik selama 10 tahun karena dugaan pelanggaran keuangan. Langkah tersebut, yang dianggap bermotivasi politik, membantu memicu gerakan pro-demokrasi yang dipimpin mahasiswa yang membuat puluhan ribu orang turun ke jalan pada tahun 2020 menyerukan pengekangan kekayaan dan kekuasaan monarki.

Beberapa anak muda yang ikut serta dalam protes mencalonkan diri sebagai kandidat dengan Move Forward.

"[Pemilihan] ini adalah titik balik bagi politik Thailand," kata Taopiphop Limjittrakorn, seorang calon anggota parlemen dari MFP, kepada UPI pada rapat umum Jumat malam di Bangkok.

"Perubahan yang kami butuhkan, kami membutuhkannya sekarang. Kami tidak bisa ragu lagi."

Taopiphop, 34, yang memenangkan kursi di parlemen pada 2019 di bawah panji Future Forward, menyebut hampir 10 tahun sejak kudeta militer sebagai "dekade yang hilang".

"Usia 20-an saya hilang, saya telah kehilangan bagian terbaik dalam hidup saya," katanya. "Orang-orang percaya Move Forward akan mengeluarkan Thailand dari siklus ini dan membawa perubahan pada inti sistem."

Upaya Menggoyah Kemapanan Politik Thailand

PM Thailand Semprot Wartawan dengan Disinfektan
PM Thailand, Prayut Chan-O-Cha menyemprotkan pembersih tangan ke wartawan untuk menghindari pertanyaan perombakan kabinet selama konferensi pers di Bangkok, Selasa (9/3/2021). Sebelum menyemprot, Prayuth mengatakan kepada wartawan untuk mengurus urusan mereka sendiri. (HO/ROYAL THAI GOVERNMENT/AFP)

Sementara Move Forward mewakili pergeseran ideologis dari politik otoriter selama bertahun-tahun, pemilu tahun ini juga akan menjadi referendum praktis tentang pemerintahan Prayuth, yang telah banyak dikritik karena ekonomi yang lesu dan respons yang buruk terhadap pandemi COVID- 19.

"Saya ingin melihat peluang baru di Thailand," kata seorang peserta rapat umum berusia 27 tahun yang menggunakan nama tunggal Baifern.

"Ini adalah pertama kalinya saya memberikan suara karena saya ingin melihat perubahan ekonomi. Saya pikir [Move Forward] dapat membawa Thailand lebih merata dan lebih berkembang."

Bahkan ketika partai-partai utama pro-demokrasi unggul jauh dalam jajak pendapat, membentuk pemerintahan berikutnya akan menjadi tantangan.

Perdana menteri membutuhkan suara mayoritas dari 500 kursi DPR dan 250 anggota Senat, yang dikontrol kuat oleh militer berkat konstitusi pasca-kudeta 2017.

Sebuah pemerintahan koalisi antara Pheu Thai dan Move Forward tampaknya tidak mungkin terjadi karena perpecahan atas rencana ambisius Move Forward untuk reformasi monarki, kata pengamat.

Analis mengatakan Pheu Thai malah mencari dukungan dari senator konservatif dengan mencalonkan kandidat selain Paetongtarn Shinawatra atau bergabung dengan mantan jenderal lainnya, Prawit Wongsuwan, kandidat dari partai Palang Pracharat.

Sementara itu, Prayuth masih bisa dibayangkan untuk tetap berkuasa dengan menyatukan pemerintahan minoritas.

Sejarah panjang kudeta di Thailand juga membayangi potensi hasil apa pun, tetapi Taopiphop dari Move Forward mengatakan waktu untuk taktik anti-demokrasi semacam itu telah berlalu.

"Jika kelas elit Thailand tidak beradaptasi, kita akan kehilangan lebih banyak lagi masa depan kita," katanya. "Jika mereka mencoba untuk melakukan beberapa trik dalam pemilihan ini atau mencoba membubarkan partai kami lagi, rakyat tidak akan menerimanya lagi."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya