AS Kecam China Soal Penahanan Seumur Hidup Cendekiawan Uyghur Rahile Dawut

Amerika Serikat menyatakan bahwa Rahile Dawut dan intelektual Uyghur lainnya telah dipenjara secara tidak adil karena upaya mereka melindungi dan melestarikan budaya dan tradisi Uyghur.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 03 Okt 2023, 10:00 WIB
Diterbitkan 03 Okt 2023, 10:00 WIB
Suasana di pusat pelatihan vokasional Shule, di Shule County, Prefektur Kashgar, Xinjiang (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)
Suasana di pusat pelatihan vokasional Shule, di Shule County, Prefektur Kashgar, Xinjiang (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)

Liputan6.com, Washington - Amerika Serikat (AS) mengecam China yang menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup terhadap akademisi Uyghur terkemuka Rahile Dawut. Washington pun menyerukan pembebasannya segera.

Pernyataan tersebut dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri AS pada Jumat (29/9/2023), menyusul laporan dari kelompok hak asasi manusia (HAM) nirlaba Dui Hua Foundation pada 21 September, yang menyebutkan bahwa Rahile Dawut menjalani hukuman seumur hidup karena membahayakan keamanan negara.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Matthew Miller menyatakan bahwa Rahile Dawut dan intelektual Uyghur lainnya telah dipenjara secara tidak adil karena upaya mereka melindungi dan melestarikan budaya dan tradisi Uyghur.

"Hukuman seumur hidup Profesor Dawut adalah bagian dari upaya China yang lebih luas untuk menghapus identitas dan budaya Uyghur serta melemahkan kebebasan akademik, termasuk melalui penahanan dan penghilangan," katanya, seperti dilansir CNN, Selasa (3/10).

Kementerian Luar Negeri AS pada tahun 2021 telah mengatakan bahwa China melakukan genosida terhadap warga Uyghur dan etnis minoritas lainnya di Xinjiang.

Menurut LSM Uyghur Human Rights Project pada tahun 2021, Rahile Dawut yang diyakini secara luas oleh para akademisi dan kelompok HAM telah ditahan secara resmi pada tahun 2017, termasuk di antara lebih dari 300 etnis Uyghur dan intelektual muslim lainnya yang ditahan oleh pemerintah China.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Pelanggaran HAM Serius

Pusat pelatihan vokasional Hotan, Hotan County, Prefektur Hotan, Wilayah Otonomi Xinjiang-Uyghur (XUAR) (Dok. Rizki Akbar Hasan/Liputan6.com)
Pusat pelatihan vokasional Hotan, Hotan County, Prefektur Hotan, Wilayah Otonomi Xinjiang-Uyghur (XUAR) (Dok. Rizki Akbar Hasan/Liputan6.com)

Pemerintah China telah lama dituduh menahan lebih dari 1 juta warga Uyghur dan kelompok mayoritas muslim lainnya di kamp interniran di Xinjiang. Tidak hanya itu, China juga dituding melakukan asimilasi paksa untuk menindas identitas budaya dan agama mereka.

Laporan kantor HAM PBB tahun lalu menemukan bahwa China telah melakukan pelanggaran HAM serius, yang mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan di wilayah Xinjiang. Laporan tersebut mendokumentasi apa yang digambarkan sebagai penahanan sewenang-wenang dan diskriminatif dalam konteks penerapan strategi kontra-terorisme dan kontra-ekstremisme yang dilakukan pemerintah.

Dalam laporan yang sama juga disebutkan tentang penangkapan dan pemenjaraan cendekiawan, seniman, dan intelektual terkemuka dari komunitas Uyghur.

Para akademisi dan aktivis mengatakan bahwa penindasan terus berlanjut, namun diserap ke dalam sistem penjara dan diubah menjadi kerja paksa serta budaya ketakutan dan pengawasan.

China dengan keras membantah melakukan pelanggaran HAM dan pada awalnya menyangkal keberadaan kamp interniran, namun kemudian mengakui bahwa fasilitas tersebut adalah pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan.

Tahun lalu, China mengatakan kepada tim PBB yang berkunjung bahwa fasilitas tersebut telah ditutup – sebuah klaim yang menurut kantor PBB tidak dapat diverifikasi.

Ketika ditanya tentang Rahile Dawut dalam konferensi pers bulan lalu, juru bicara Kementerian Luar Negeri China mengungkapkan bahwa dia tidak mengetahui situasi tersebut dan kemudian menambahkan bahwa China adalah negara supremasi hukum.


Tokoh Budaya Uyghur

Aksi Solidaritas untuk Muslim Uighur
Massa membawa poster bertuliskan 'Stop Genocide' dan 'We Stand With Uyghur' saat menggelar aksi Solidaritas untuk Muslim Uighur di depan Kedutaan Besar China di Jakarta, Jumat (20/12/2019). Mereka mengecam dan mengutuk keras penindasan terhadap muslim Uighur di China. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Rahile Dawut dikenal sebagai pakar budaya Uyghur terkemuka, yang memfokuskan karyanya pada cerita rakyat dan antropologi agama, termasuk mendokumentasikan ziarah Uyghur ke tempat suci keagamaan di seluruh Xinjiang.

Melalui kolaborasinya dengan para peneliti internasional, memberikan kuliah tamu, dan mengajar, Rahile Dawut diakui oleh para akademisi internasional karena telah mengembangkan pemahaman global yang lebih luas mengenai budaya Uyghur dan memberikan kontribusi penting dalam melestarikan serta mendokumentasikan warisan dan arsitektur Uyghur.

Pada tahun 2007, Rahile Dawut mendirikan sebuah wadah yang berfokus pada cerita rakyat di Universitas Xinjiang, tempat dia menjadi profesor. Menurut American Anthropological Association, dia menerima hibah dan penghargaan dari pemerintah China.

Namun, akademisi dan kelompok HAM pada akhir tahun 2017 mengatakan bahwa Rahile Dawut menghilang.

Menurut Dui Hua yang berbasis di San Francisco, Rahile Dawut diadili pada tahun 2018 karena perpecahan atau separatisme politik – sebuah kejahatan yang membahayakan keamanan negara. Dia dinyatakan bersalah dan mengajukan banding, yang kemudian ditolak oleh pengadilan tinggi Xinjiang.

Dilaporkan masih sulit untuk mengakses informasi mengenai kasus-kasus individu di tengah kurangnya transparansi seputar penahanan dan hukuman China terhadap individu di Xinjiang. Karena itu, laporan Dui Hua tidak dapat dikonfirmasi secara independen.


China Bantah Laporan PBB

Aksi Solidaritas untuk Muslim Uighur
Dalam unjuk rasa ini, massa membentangkan dua spanduk raksasa serta puluhan poster yang berisi gambar atau foto Tragedi Berdarah Urumqi serta tuntutan mereka. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Pada tahun 2014, pemerintah Xinjiang berjanji untuk memberantas ekstremisme di wilayah Xinjiang di tengah kekhawatiran mengenai terorisme dan separatisme.

Selain menahan warga Uyghur, pihak berwenang China diduga menargetkan warisan budaya dan agama Uyghur yang dipelajari dan dilestarikan oleh para sarjana seperti Rahile Dawut.

Penilaian PBB pada tahun 2022 mengutip laporan yang merinci "penghancuran situs keagamaan Islam, seperti masjid, tempat suci, dan kuburan". Hal ini terjadi bersamaan dengan kebijakan yang lebih besar yang menganggap "prinsip standar agama Islam" sebagai tanda-tanda ekstremisme dan menjadi sasaran pemerintah.

Tahun lalu, pemerintah China mengatakan bahwa pihaknya menolak secara sah temuan-temuan laporan tersebut, yang disebutnya berdasarkan disinformasi dan kebohongan yang dibuat oleh kekuatan anti-China.

Sejak tahun 2018, banyak kelompok HAM mengecam dugaan penahanan Rahile Dawut, menyerukan pembebasannya dan para intelektual Uyghur lainnya, termasuk Ilham Tohti. Dia merupakan seorang profesor ekonomi di Universitas Minzu di Beijing, yang dijatuhi hukuman seumur hidup pada tahun 2014.

"Rahile Dawut adalah seorang guru dan peneliti brilian yang karyanya telah membimbing generasi cendekiawan muda di seluruh dunia dalam memperdalam pengetahuan kita tentang budaya Uyghur," ungkap Open Society University Network (OSUN), organisasi akademik internasional yang menobatkannya sebagai profesor kehormatan, pada bulan lalu.

"Hukuman pengadilan merupakan serangan terhadap kebebasan akademis, masyarakat Uyghur, dan supremasi hukum. OSUN menyerukan kepada pemerintah China untuk membebaskan Profesor Dawut dari penjara dan mengizinkannya untuk segera melanjutkan pekerjaan penting."

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya