Liputan6.com, Jakarta - Pada 2 April 2002, militer Israel mengepung Gereja Kelahiran atau Gereja Nativitas di Betlehem yang diduduki setelah sekitar 200 warga Palestina berlindung di dalamnya.
Pengepungan Israel dimulai pada puncak Intifada II yang dipicu dua tahun sebelumnya ketika perdana menteri Israel saat itu, Ariel Sharon, melakukan kunjungan provokatif ke Masjid Al-Aqsa, di mana dia dilindungi oleh polisi dan tentara Israel bersenjata lengkap. Intifada II sendiri berlangsung selama lima tahun.
Baca Juga
Pada 29 Maret 2002, empat hari sebelum pengepungan, Israel melancarkan Operasi Perisai Pertahanan (Operation Defensive Shield), yang disebut sebagai operasi militer terbesar yang dilakukan oleh pasukan Israel di Tepi Barat yang diduduki sejak Perang Enam Hari tahun 1967. Pasukan Israel dikirim ke jantung enam kota besar di Tepi Barat, termasuk Betlehem.
Advertisement
Di kamp pengungsi Jenin, Israel membunuh sedikitnya 52 warga Palestina dan memberlakukan lockdown total yang berlangsung selama berminggu-minggu. Israel pun melarang jurnalis dan pengamat hak asasi manusia memasuki Tepi Barat yang diduduki. Demikian seperti dilansir Middle East Monitor.
Warga sipil Palestina hanya mempunyai sedikit tempat untuk berlindung dari serbuan tentara Israel dan kekerasan yang tidak pandang bulu. Terjebak di pusat Kota Betlehem oleh pasukan Israel saat itu, sekitar 200 warga Palestina, kebanyakan dari mereka adalah warga sipil dan polisi, bersama dengan pendeta dan biarawati Palestina, serta beberapa anggota milisi Fatah setempat, berlindung di Gereja Kelahiran, yang oleh umat Kristen dihormati sebagai tempat kelahiran Yesus.
Kepada CNN, anggota kelompok kemanusiaan Antonius Society di Betlehem, Anton Salman, mengungkap motivasi mereka mencari perlindungan di gereja. Dia mengatakan pada saat itu orang-orang Palestina yang menghadapi serbuan tentara Israel melihat masjid mereka, Masjid Umar, di seberang alun-alun dari Gereja Kelahiran, dibom.
"Mereka takut dan mencari tempat yang aman. Jadi, mereka menemukan satu-satunya jalan; mereka berlari ke gereja dan tinggal di sana," ujarnya.
Pengepungan Berakhir
Pengepungan oleh militer Israel berlangsung lebih dari satu bulan. Tank-tank dikerahkan di dekat Manger Square, di seberang gereja, dan penembak jitu Israel mengambil posisi di gedung-gedung di sekitarnya. Mereka diperintahkan menembak siapa pun yang terlihat di dalam gereja dan mencari sasaran mereka dengan menggunakan sinar laser.
Pasukan Israel menembaki Gereja Kelahiran secara sporadis dalam upaya memaksa warga Palestina yang berada di dalam gedung bersejarah tersebut untuk menyerah. Pembunyi lonceng gereja, Samir Ibrahim Salman, tewas terkena tembakan Israel. Sebuah laporan mengenai kematiannya menyebutkan bahwa jenazah Salman terbungkus plastik di samping empat warga Palestina lainnya yang dibunuh oleh pasukan Israel di Betlehem. Dilaporkan bahwa lemari es kamar mayat tidak memiliki ruang tersisa karena banyaknya orang yang terbunuh selama serangan gencar Israel, sehingga dokter menempatkan jenazah di kamar rumah sakit yang kosong, di mana dua kipas angin kecil dipasang pada pengaturan tertinggi untuk mengalirkan udara.
Pasukan Israel disebut menghancurkan gerbang selatan gereja dan beberapa dari mereka pindah ke halaman selatan gereja. Seminggu setelah pengepungan, tentara Israel melepaskan tembakan ke arah gereja, yang mengakibatkan kebakaran di kamar salah satu pendeta yang tinggal di sana. Seorang biksu Armenia ditembak dan dilukai oleh tentara Israel. Penembak jitu Israel membunuh tujuh warga Palestina lagi dan melukai 40 lainnya.
Pengepungan Gereja Kelahiran memicu kemarahan global. Vatikan mengeluarkan peringatan keras kepada Israel untuk menghormati situs keagamaan. Juru bicara para biarawan Katolik di Tanah Suci dilaporkan mengatakan bahwa tentara Israel bersalah atas "tindakan barbar yang tak terlukiskan".
Negosiasi untuk mengakhiri pengepungan dimulai pada 23 April. Pada 10 Mei kesepakatan, yang ditengahi Eropa, tercapai. Tiga belas warga Palestina yang selamat dari pengepungan tersebut diasingkan ke negara-negara Eropa dan 26 lainnya dikirim ke Jalur Gaza. Tahun 2016 mereka minta izin pulang, namun hingga kini Israel menolaknya.
Advertisement
Peristiwa Sejarah Lainnya
Peristiwa bersejarah lainnya yang terjadi pada 2 April adalah Paus Yohanes Paulus II, paus yang paling banyak melakukan perjalanan dalam sejarah dan orang non-Italia pertama yang memegang jabatan tersebut sejak Abad ke-16, meninggal di Vatikan tahun 2005. Enam hari kemudian, dua juta orang memadati Kota Vatikan untuk menghadiri pemakamannya, yang dikatakan sebagai salah satu pemakaman terbesar dalam sejarah.
Meskipun belum dikonfirmasi oleh Vatikan hingga tahun 2003, banyak yang percaya bahwa Paus Yohanes Paulus II mulai menderita penyakit Parkinson pada awal tahun 1990-an. Dia mulai bicara tidak jelas dan mengalami kesulitan berjalan, meskipun dia tetap menjalankan jadwal perjalanan yang menuntut fisik.
Pada tahun-tahun terakhirnya, dia terpaksa mendelegasikan banyak tugas resminya, namun masih menemukan kekuatan untuk berbicara kepada umat dari jendela di Vatikan. Pada Februari 2005, Paus Yohanes Paulus II dirawat di rumah sakit karena komplikasi flu. Dia meninggal dua bulan kemudian. Demikian seperti dilansir Today in History.