Liputan6.com, Islamabad - Pakistan dan Iran mengkritik keras diplomat dari pemerintah de facto Taliban di Afghanistan karena tidak menghormati lagu kebangsaan mereka.
Kontroversi muncul awal minggu ini setelah konsul jenderal Taliban Mohibullah Shakir dan rekannya tetap duduk saat lagu kebangsaan Pakistan dikumandangkan dalam upacara resmi di Kota Peshawar.
Baca Juga
Tindakan tersebut memicu kemarahan publik di Pakistan dan tuntutan untuk mengusir Shakir.
Advertisement
Islamabad langsung melayangkan protes dan secara resmi mengadu kepada otoritas de facto Afghanistan di Kabul, mengecam perilaku tidak hormat diplomat mereka terhadap lagu kebangsaan Pakistan sebagai tindakan tercela dan pelanggaran norma diplomatik.
Konsulat Jenderal Taliban di Peshawar membela Shakir dan menyangkal tuduhan tidak hormat terhadap lagu kebangsaan tersebut. Menurutnya, Shakir tetap duduk karena lagu kebangsaan itu diiringi musik, yang dianggap Taliban sebagai hal yang terlarang sesuai dengan interpretasi mereka yang ketat terhadap Islam.
"Bayangkan seorang ulama berdiri untuk musik," kata seorang juru bicara konsulat, seperti dilansir VOA Indonesia, Sabtu (21/9/2024).
Sejak merebut kembali kendali Afghanistan pada tahun 2021, para pemimpin radikal Taliban menegakkan hukum syariah. Penegakan ini meliputi pelarangan musik, pelarangan pendidikan anak perempuan di atas kelas enam, dan pelarangan perempuan Afghanistan dari sebagian besar tempat kerja, di antara pembatasan lainnya.
Namun, juru bicara Kementerian Luar Negeri Pakistan menolak penjelasan Taliban pada hari Kamis (19/9). Dalam konferensi pers di Islamabad, Mumtaz Baloch menyatakan bahwa tindakan Shakir "menyakiti perasaan rakyat Pakistan." Dia memperingatkan bahwa pemerintahnya berhak mengambil tindakan lebih lanjut sesuai dengan norma dan praktik diplomatik internasional.
"Kami berharap setiap individu yang mempunyai status diplomatik di Pakistan menghormati norma-norma tersebut," tegas Baloch.
"Kami telah menyampaikan hal ini kepada otoritas Afghanistan dan menyampaikan ketidaksenangan kami yang besar ... dan kami juga menolak penjelasan yang diberikan oleh Kuasa Usaha Ad Interim Konjen atas tindakannya."
Kemarahan Iran
Sementara itu, Iran juga mengkritik kepala delegasi Taliban Azizurrahman Mansour yang juga seorang wakil menteri karena tidak berdiri saat lagu kebangsaan negara tuan rumah dikumandangkan pada Konferensi Persatuan Islam Internasional di Teheran, Kamis (19/9) yang dihadiri oleh presiden Iran.
Kementerian Luar Negeri Iran kemudian memanggil Kuasa Usaha Ad Interim Kedutaan Besar Taliban Fazal Mohammad Haqqani untuk meminta klarifikasi mengenai tindakan Mansour yang dianggap tidak menghormati lagu kebangsaan.
Media Iran mengutip Haqqani yang menegaskan kembali rasa hormat negaranya terhadap Iran, dengan mengklaim bahwa tindakan Mansour bersifat pribadi dan tidak mencerminkan sikap resmi pemerintah Afghanistan.
Mansour dalam pesan video resminya menyatakan bahwa dia tetap duduk saat lagu kebangsaan Iran dikumandangkan sesuai dengan tradisi di Afghanistan.
"Di negara kami, kami duduk saat lagu itu dikumandangkan, dan saya telah bertindak sesuai dengan adat ini. Kami minta maaf kepada orang-orang yang marah," ujarnya
Namun, penjelasan Taliban gagal meredakan kemarahan di Iran.
"Tidak menghormati norma diplomatik dengan dalih pelarangan musik berdasarkan syariah, tidak masuk akal," kata Hassan Kazemi Qomi, utusan khusus Iran untuk Afghanistan, di platform media sosial X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter.
Dia menulis dalam bahasa lokal bahwa jika musik dilarang, mendengarkan musik juga harus dilarang.
Mohammad Ali Abtahi, seorang reformis dan pembantu senior mantan Presiden Mohammad Khatami terkemuka Iran, juga ikut mengecam Taliban.
Saluran televisi berbahasa Persia Iran International yang berbasis di London menerbitkan terjemahan dari unggahan X milik Abtahi dalam bahasa aslinya.
"Ketidakhormatan Taliban terhadap lagu kebangsaan Pakistan dan Iran, dan penolakan mereka untuk berdiri, memiliki akar ideologis," tutur Abtahi.
Abtahi lebih lanjut memperingatkan, "Ketika kami mengatakan bahwa ideologi Taliban lebih berbahaya daripada ribuan senjata yang mereka miliki, inilah yang kami maksud."
Dia mengkritik penyelenggara konferensi karena mengundang Taliban dan menyatakan bahwa mayoritas umat muslim di mana pun, termasuk di Iran, tidak menginginkan persatuan dengan Taliban.
Iran adalah negara dengan mayoritas muslim syiah dan Taliban mewakili mayoritas komunitas muslim suni di Afghanistan.
Tidak ada negara yang secara resmi mengakui Taliban sebagai pemerintah yang sah di Kabul, terutama karena mereka membatasi perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan kehidupan publik secara umum.
Menteri Luar Negeri Taliban Amir Khan Muttaqi pada Kamis mengatakan bahwa pemerintahnya mengendalikan sekitar 40 kedutaan besar dan konsulat Afghanistan di seluruh dunia dan bahwa hubungan diplomatiknya dengan masyarakat internasional membaik.
Banyak pemerintah Barat, termasuk Amerika Serikat, bersikeras bahwa pengakuan formal terhadap Taliban bergantung pada tindakan mereka terkait hak-hak perempuan, pendidikan untuk anak perempuan dan perempuan, serta kebebasan bergerak.
Advertisement