Studi Ungkap Bulu Kucing Bisa Menjadi Petunjuk Penting dalam Penyidikan Kejahatan

Dalam penelitian ini, tim peneliti berhasil mengidentifikasi DNA mitokondria dari bulu kucing. DNA ini kemudian dapat dibandingkan dengan sampel DNA kucing korban, tersangka, atau kucing yang berada di sekitar TKP.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 07 Nov 2024, 05:00 WIB
Diterbitkan 07 Nov 2024, 05:00 WIB
Kucing Oranye
Kucing berbulu merah atau oranye (ginger) sering dikaitkan dengan kepribadian yang kuat dan dominan. (Foto: Instagram/TigaKucingBadung)

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah studi terbaru yang dipimpin oleh Emily C. Patterson mengungkapkan temuan menarik yang dapat mengubah cara kita memandang bukti forensik. Dalam penelitiannya yang dipublikasikan dalam jurnal Forensic Science International: Genetics, Patterson dan timnya menemukan bahwa sehelai bulu kucing yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) dapat membantu menghubungkan pelaku kejahatan dengan lokasi atau individu yang terlibat.

Dikutip dari laman SciNews ada Rabu (06/11/2024), temuan ini berpotensi membuka babak baru dalam penggunaan bukti DNA hewan dalam investigasi kriminal.

Teknologi Baru untuk Mengidentifikasi DNA dari Bulu Kucing.

Metode baru yang dikembangkan oleh Patterson dan koleganya memungkinkan peneliti untuk mengekstraksi dan menganalisis DNA yang terkandung dalam bulu kucing yang rontok di TKP. Biasanya, bukti forensik DNA diperoleh melalui darah, air liur, atau jaringan tubuh lainnya, tetapi dengan adanya bulu yang rontok, yang sering kali tidak dianggap sebagai bukti penting, dapat memberikan informasi berharga.

Dalam penelitian ini, tim peneliti berhasil mengidentifikasi DNA mitokondria dari bulu kucing. DNA ini kemudian dapat dibandingkan dengan sampel DNA kucing korban, tersangka, atau kucing yang berada di sekitar TKP.

Bulu kucing, meskipun seringkali terlihat sepele, ternyata menyimpan informasi genetik yang sangat penting. Dalam kasus kejahatan, seperti perampokan atau pembunuhan, temuan bulu kucing bisa menjadi petunjuk yang membantu penyidik memahami keterlibatan kucing dalam kejadian tersebut.

Misalnya, jika bulu kucing ditemukan di dekat mayat korban, atau pada pakaian pelaku, hal ini bisa menunjukkan bahwa pelaku memiliki hubungan dengan korban atau mungkin pernah berada di lokasi yang sama.

Patterson menjelaskan bahwa untuk menganalisis DNA dari bulu kucing, tim peneliti hanya dapat mengekstraksi DNA mitokondria, yang merupakan jenis DNA yang diwariskan secara turun-temurun dari induk (dalam hal ini, ibu kucing) kepada keturunannya. DNA mitokondria ditemukan di dalam mitokondria sel, yang ada dalam hampir semua sel tubuh.

 

Mudah Ditemukan

Keunikan DNA mitokondria adalah bahwa ia lebih mudah ditemukan dan dipertahankan pada sampel biologis yang telah terdegradasi, seperti bulu yang rontok. Namun, ada satu keterbatasan yang perlu diperhatikan dalam analisis ini, karena DNA mitokondria hanya diturunkan dari ibu, maka kucing-kucing dari satu garis keturunan yang sama akan memiliki kesamaan dalam DNA mitokondria mereka.

Hal ini berarti bahwa kucing-kucing yang memiliki ibu yang sama tidak dapat dibedakan hanya berdasarkan DNA mitokondria. Meskipun, mereka mungkin memiliki hubungan genetik yang erat.

Metode yang digunakan oleh tim Patterson berbeda dari metode analisis DNA mitokondria sebelumnya. Sebelumnya, peneliti hanya mampu menganalisis fragmen pendek dari DNA mitokondria, yang hanya memberikan gambaran terbatas tentang asal-usul genetik suatu individu.

Namun, dengan teknik baru yang dikembangkan, peneliti dapat menentukan urutan seluruh DNA mitokondria. Hal ini memungkinkan analisis yang jauh lebih mendalam dan akurat.

Patterson dan timnya telah berhasil mengembangkan teknik yang memungkinkan mereka untuk memetakan urutan DNA mitokondria secara keseluruhan, memberikan hasil yang lebih diskriminatif dan lebih akurat. Dengan kemampuan untuk memeriksa lebih banyak bagian dari DNA mitokondria, peneliti dapat menemukan perbedaan yang lebih halus antara individu-individu kucing, bahkan yang berasal dari garis keturunan yang sangat dekat.

Hal ini meningkatkan kemampuan untuk mengidentifikasi asal-usul bulu yang ditemukan di TKP, bahkan memungkinkan untuk mengaitkan bulu tersebut dengan kucing yang spesifik.

 

Potensi Penerapan pada Kejahatan Lain dan Spesies Lain

Walaupun studi ini fokus pada kucing, metode ini tidak terbatas hanya pada hewan tersebut. Patterson dan timnya percaya bahwa pendekatan serupa dapat diterapkan pada spesies lain, khususnya anjing.

Bulu anjing seringkali ditemukan di TKP, dengan mengaplikasikan teknik analisis DNA yang sama, penyidik dapat memperoleh petunjuk lebih lanjut mengenai pelaku atau lokasi kejadian. Selain itu, metode ini membuka kemungkinan untuk penerapan lebih luas dalam berbagai jenis kejahatan.

Dalam kasus kejahatan yang melibatkan perampokan, bukti adanya bulu hewan peliharaan di pakaian atau tempat tidur pelaku atau korban bisa memberikan petunjuk yang berharga. Dalam beberapa kasus, kehadiran bulu hewan yang tidak teridentifikasi sebelumnya bisa menjadi titik awal yang mengarah ke pelaku, yang pada akhirnya dapat membantu mengidentifikasi atau mengecualikan individu-individu tertentu dalam penyidikan.

(Tifani)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya