Liputan6.com, Tokyo - Bagi Masana Izawa, panggilan alam memiliki arti yang sangat harfiah. Selama lebih dari 50 tahun, pria berusia 74 tahun ini menjalani rutinitas unik: buang air besar (BAB) di hutan.
Di Jepang, praktik ini dikenal sebagai "noguso", dan Izawa adalah salah satu tokoh paling vokal dalam mempromosikan filosofi hidup yang selaras dengan alam.
Advertisement
Baca Juga
"Kita bertahan hidup dengan memakan makhluk hidup lainnya. Namun, Anda bisa mengembalikan kotoran ke alam sehingga organisme di tanah dapat mengurainya," kata Izawa kepada AFP, seperti dilansir Bangkok Post, Sabtu (11/1/2025).
Advertisement
"Ini berarti Anda memberi kehidupan kembali. Apa yang lebih luhur dari itu?"
Dijuluki sebagai "Fundo-shi" atau "master pupuk dari kotoran", Izawa telah menjadi selebriti kecil di Jepang. Ia menerbitkan buku, memberikan ceramah, dan tampil dalam dokumenter. Banyak orang mengunjungi "Poopland" miliknya, kawasan hutan seluas 7.000 meter persegi di Sakuragawa, utara Tokyo, untuk mempelajari praktik buang air besar di alam terbuka.
Di tempat itu, pengunjung diajari tata cara "noguso" yang meliputi menggali lubang, menggunakan daun untuk membersihkan diri, mencuci dengan air, dan menandai lokasi dengan ranting. Izawa bahkan mencatat proses dekomposisi kotorannya untuk memastikan bahwa kotoran manusia sepenuhnya terurai.
"Daun-daun ini, apakah Anda bisa merasakan betapa lembutnya mereka?" tanyanya sambil menunjukkan daun pohon silver poplar.
"Lebih nyaman daripada kertas/tisu."
Tuai Kontroversi
Izawa, mantan fotografer alam yang pensiun pada tahun 2006, mendapatkan pencerahan soal "noguso" saat berusia 20 tahun. Saat itu, ia menyaksikan protes terhadap pembangunan pabrik pengolahan limbah.
"Kita semua menghasilkan kotoran, tetapi para demonstran ingin pabrik itu jauh dari pandangan mereka," ujarnya.
"Itu adalah argumen yang sangat egosentris."
Sejak saat itu, Izawa memutuskan untuk mempraktikkan buang air besar di alam terbuka sebagai cara untuk mengurangi beban lingkungan.
Meskipun Izawa yakin bahwa metodenya lebih ramah lingkungan dibandingkan penggunaan toilet modern yang memerlukan banyak air, energi, dan bahan kimia, praktiknya tetap kontroversial. Di Jepang, buang air besar di tempat terbuka dilarang, tetapi Izawa lolos dari hukum karena ia memiliki kawasan hutan tempat ia melakukan praktik tersebut.
Namun, para ahli, termasuk Kazumichi Fujii, seorang ilmuwan tanah dari Institut Penelitian Kehutanan dan Produk Hutan Jepang, memperingatkan bahwa kotoran manusia dapat mengandung bakteri berbahaya. Fujii juga menyebutkan bahwa mencicipi tanah untuk membuktikan keamanannya, seperti yang dilakukan Izawa, adalah tindakan berisiko.
Di masa lalu, seperti di era Edo (Tokyo kuno), kotoran manusia digunakan sebagai pupuk. Namun, sekitar 70 persen penduduk menderita infeksi parasit akibat praktik tersebut.
Advertisement
Mengorbankan Kehidupan Pribadi
Dedikasi Izawa terhadap "noguso" tidak tanpa pengorbanan. Pernikahan keduanya kandas setelah ia membatalkan kunjungan ke Machu Picchu, situs wisata di Peru, karena ia harus menggunakan toilet umum di sana.
"Saya mengorbankan istri saya dan perjalanan ke Machu Picchu hanya untuk sebuah 'noguso'," ujarnya sambil tertawa.
Di tengah meningkatnya perhatian terhadap perubahan iklim dan keberlanjutan, Izawa melihat minat yang lebih besar terhadap filosofi hidupnya, terutama di kalangan generasi muda. Ia berharap agar tubuhnya juga bisa terurai di hutan alih-alih dikremasi seperti tradisi Jepang pada umumnya.
"Bagi saya, tujuan hidup adalah melakukan 'noguso'," kata Izawa.
Meskipun metodenya dianggap ekstrem oleh banyak orang, Izawa tetap teguh dalam keyakinannya bahwa manusia harus hidup lebih harmonis dengan alam.