Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak angkat bicara terkait vonis pengadilan banding yang memutuskan, selain umat Islam tak bisa menggunakan kata 'Allah' untuk menyebut Tuhan mereka.
Pada 17 Oktober 2013, pengadilan banding membatalkan keputusan pengadilan tingkat pertama pada 2009 yang membolehkan surat kabar Katolik, The Herald, bisa menggunakan kata Allah dalam edisi bahasa Melayunya. Sebagai kata pengganti untuk Tuhan dalam pengertian kristiani.
Namun, Senin kemarin, PM Najib mengatakan umat kristiani di negara bagian Sabah dan Sarawak bisa tetap menggunakan kata tersebut -- sesuatu yang kini jadi perdebatan sengit para pengacara.
"Baru-baru ini, ketika pengadilan banding membuat keputusan tentang penggunaan kata Allah, itu sama sekali tidak menyentuh praktik umat Kristen di Sabah dan Sarawak," kata Najib, seperti dikutip dari BBC, Rabu (23/10/2013).
Malah, dia menambahkan, 10 poin perjanjian masih tetap berlaku. Yang ia maksud adalah perjanjian yang dibuat tahun 2011, yang memungkinkan Alkitab dari semua bahasa diimpor ke Malaysia. Juga bahwa kibat suci bisa dicetak secara lokal di Semenanjung Malaysia, Sabah, dan Sarawak.
Seperti Liputan6.com kutip dari The Malaysian Insider, PM Najib memperingatkan keamanan dan kedamaian negara bergantung pada kerukunan antarumat beragama.
Jaksa Agung Malaysia Tan Sri Abdul Gani Patail mengatakan, kata 'Allah' tak bisa digunakan surat kabar Katolik The Herald. Kalimah tersebut bisa digunakan dalam Alkitab berbahasa Melayu.
Ini alasannya: "Alkitab versi Melayu digunakan hanya oleh Umat Kristen dan di dalam gereja, sementara koran The Herald bisa diakses online dan dibaca kalangan muslim dan non-muslim," kata dia.
Pengumuman terbaru dari pihak pemerintah, oleh sebagian kalangan, dianggap membingungkan 2 juta pemeluk Kristen di negeri jiran itu.
Sementara sejumlah ahli hukum mengatakan, pernyataan pemerintah bak mengayuh ke belakang terhadap putusan pengadilan.
"Pernyataan itu ditujukan untuk menenangkan orang-orang Kristen di seluruh negeri bahwa mereka bisa mempraktikkan iman mereka yang dijamin dalam Konstitusi Federal," kata pengacara Edmund Bon kepada The Malaysian Insider.
"Namun, itu tak bisa mengindarkan bahwa keputusan pengadilan memiliki implikasi yang luas."
Asal Usul Kasus
Perdebatan soal kata 'Allah' muncul pada 2009 lalu dan menciptakan ketegangan antarumat beragama. Baik gereja maupun masjid jadi sasaran kebencian. Saat itu pihak pemerintah mengatakan, koran Katolik, The Herald tak boleh menggunakan kata 'Allah' dalam edisi Bahasa Melayu-nya -- untuk mendeskripsikan Tuhan Kristen.
Surat kabar tersebut menggugat ke pengadilan dan diterima pada Desember 2009. Pihak pemerintah balas mengajukan banding, dan baru diputus belakangan.
Menanggapi putusan itu, editor The Herald, Lawrence Andrew mengaku pihaknya kecewa. Ia akan mengajukan kasasi atas putusan tersebut.
"Putusan itu sebuah langkah mundur terkait hukum kebebasan fundamental bagi agama minoritas," kata dia.
Pihak surat kabar berargumen, Injil dalam Bahasa Melayu telah menggunakan kata 'Allah' bahkan sebelum Malaysia menjadi negara federal pada 1963.
Sementara, sejumlah kelompok Islam berpendapat, penggunaan kata 'Allah' bisa digunakan mendorong umat Islam masuk agama Kristen. (Ein/Ali)
Pada 17 Oktober 2013, pengadilan banding membatalkan keputusan pengadilan tingkat pertama pada 2009 yang membolehkan surat kabar Katolik, The Herald, bisa menggunakan kata Allah dalam edisi bahasa Melayunya. Sebagai kata pengganti untuk Tuhan dalam pengertian kristiani.
Namun, Senin kemarin, PM Najib mengatakan umat kristiani di negara bagian Sabah dan Sarawak bisa tetap menggunakan kata tersebut -- sesuatu yang kini jadi perdebatan sengit para pengacara.
"Baru-baru ini, ketika pengadilan banding membuat keputusan tentang penggunaan kata Allah, itu sama sekali tidak menyentuh praktik umat Kristen di Sabah dan Sarawak," kata Najib, seperti dikutip dari BBC, Rabu (23/10/2013).
Malah, dia menambahkan, 10 poin perjanjian masih tetap berlaku. Yang ia maksud adalah perjanjian yang dibuat tahun 2011, yang memungkinkan Alkitab dari semua bahasa diimpor ke Malaysia. Juga bahwa kibat suci bisa dicetak secara lokal di Semenanjung Malaysia, Sabah, dan Sarawak.
Seperti Liputan6.com kutip dari The Malaysian Insider, PM Najib memperingatkan keamanan dan kedamaian negara bergantung pada kerukunan antarumat beragama.
Jaksa Agung Malaysia Tan Sri Abdul Gani Patail mengatakan, kata 'Allah' tak bisa digunakan surat kabar Katolik The Herald. Kalimah tersebut bisa digunakan dalam Alkitab berbahasa Melayu.
Ini alasannya: "Alkitab versi Melayu digunakan hanya oleh Umat Kristen dan di dalam gereja, sementara koran The Herald bisa diakses online dan dibaca kalangan muslim dan non-muslim," kata dia.
Pengumuman terbaru dari pihak pemerintah, oleh sebagian kalangan, dianggap membingungkan 2 juta pemeluk Kristen di negeri jiran itu.
Sementara sejumlah ahli hukum mengatakan, pernyataan pemerintah bak mengayuh ke belakang terhadap putusan pengadilan.
"Pernyataan itu ditujukan untuk menenangkan orang-orang Kristen di seluruh negeri bahwa mereka bisa mempraktikkan iman mereka yang dijamin dalam Konstitusi Federal," kata pengacara Edmund Bon kepada The Malaysian Insider.
"Namun, itu tak bisa mengindarkan bahwa keputusan pengadilan memiliki implikasi yang luas."
Asal Usul Kasus
Perdebatan soal kata 'Allah' muncul pada 2009 lalu dan menciptakan ketegangan antarumat beragama. Baik gereja maupun masjid jadi sasaran kebencian. Saat itu pihak pemerintah mengatakan, koran Katolik, The Herald tak boleh menggunakan kata 'Allah' dalam edisi Bahasa Melayu-nya -- untuk mendeskripsikan Tuhan Kristen.
Surat kabar tersebut menggugat ke pengadilan dan diterima pada Desember 2009. Pihak pemerintah balas mengajukan banding, dan baru diputus belakangan.
Menanggapi putusan itu, editor The Herald, Lawrence Andrew mengaku pihaknya kecewa. Ia akan mengajukan kasasi atas putusan tersebut.
"Putusan itu sebuah langkah mundur terkait hukum kebebasan fundamental bagi agama minoritas," kata dia.
Pihak surat kabar berargumen, Injil dalam Bahasa Melayu telah menggunakan kata 'Allah' bahkan sebelum Malaysia menjadi negara federal pada 1963.
Sementara, sejumlah kelompok Islam berpendapat, penggunaan kata 'Allah' bisa digunakan mendorong umat Islam masuk agama Kristen. (Ein/Ali)