Liputan6.com, Jakarta Banyak orang masih keliru dalam menilai apakah seorang anak itu menyandang autisme atau tidak. Tidak sedikit orang yang menilai rata suatu kondisi autisme, padahal sebenarnya bukan. Ada anggapan bahwa semua anak dengan gangguan komunikasi dan gangguan interaksi adalah autisme.
Konsultan Neuropediatri dari Asosiasi Disleksia Indonesia, Dr. Purboyo Solek, SpA(K) mengatakan, anak normal yang memiliki IQ di bawah rata-rata atau di kisaran poin 25, memiliki gangguan yang sama seperti anak penyandang autis.
"Anak-anak autis ini kan memiliki gangguan dalam perkembangannya, termasuk komunikasi dan interaksi, serta perilaku. Tapi, harus diketahui juga, kalau anak normal juga ada yang memiliki kondisi yang sama," kata Dr. Purboyo dalam `Seminar Pemberdayaan Anak Penyandang Autis Dalam Memasuki Dunia Kerja`di Hotel Atlet Century Park Senayan, Jakarta, Kamis (1/5/2014)
Ia melanjutkan, kita tidak bisa langsung mengatakan anak yang jika dipanggil tidak menoleh adalah autisme. Karena, anak dengan kondisi pendengaran yang tidak baik atau dengan kata lain tuli berat, dipanggil pun tidak akan menengok.
"Termasuk juga semua anak yang berbahasa planet, yang berperilaku aneh seperti gigit jari tangan, lihat jari tangan berlama-lama, atau mencium-cium benda yang dipegangnya adalah autisme. Pemikiran seperti ini yang harus diubah," kata dia melanjutkan.
Dalam kesempatan itu Purboyo menuturkan, ada beberapa hal yang juga diyakini para orangtua terkait dengan kondisi yang dialami anaknya, misalnya ;
1. Kalau diagnosa autisme, anak pasti akan sangat pintar, jenius. Bahkan, bisa seperti Albert Einstein
2. Kalau diagnosa autisme, orangtua akan memberikan terapi diet pada anak-anaknya itu
3. Kalau diagnosa autisme, akan sangat pandai berhitung
"Jenius seperti Albert Einstein itu harus dibawahi. Karena seorang Albert Einstein bukanlah seorang penyandang autisme, melainkan Gifted. Pun dengan diet pada anak autisme, ini banyak juga yang salah persepsi," kata dia menerangkan.
Karena autisme ini adalah suatu kelainan genetik, tambah Purboyo, yang perlu dipahami adalah kelainan ini akan disandang oleh si anak sepanjang hidupnya. Yang bisa dilakukan orang terdekatnya adalah memperbaiki dan mengubah, sehingga apa saja bentuk dari kelainan genetik kita tidak dapat mengatakan itu sembuh, hanya semakin membaik.