Liputan6.com, New York Ratusan orang sudah terinfeksi Middle East respiratory syndrome virus (MERS). Namun, hingga kini belum ada obat atau vaksi untuk mencegahnya. Untuk itu, para peneliti berusaha mencari obat dengan menggunakan lebih dari dua lusin obat yang berbeda, mulai dari obat kemoterapi hingga malaria.
Matthew Frieman dari Sekolah Kedokteran University of Maryland bersama rekannya mencari obat yang bisa melawan MERS. Mereka juga melakukan pendekatan umum dengan menyeleksi senyawa di perpustakaan obat.
"Total 27 senyawa dengan aktivitas yang melawan MERS dan SARS diteliti," tulis peneliti dalam jurnal Antimicrobial Agents and Chemotherapy, seperti dilansir NBCNews, Rabu (21/5/2014).
Menurut peneliti, senyawa obat-obatan yang diteliti dari 13 kelas yang berbeda, termasuk inhibitor reseptor estrogen yang digunakan untuk pengobatan kanker dan inhibitor (penghambat) reseptor dopamin digunakan sebagai antipsikotik (golongan obat yang digunakan untuk merawat psikosis atau penyakit mental yang menyebabkan perubahan personaliti dan tidak peka dengan realitas).
Selain, itu ada gemcitabine yang sangat umum pada obat kanker, imatinib dan asatinib pada obat leukemia, serta obat kanker payudara yang disebut Fareston yang juga menunjukkan kemungkinan efektivitasnya terhadap virus Ebola. Klorikuin yang merupakan salah satu obat malaria juga cukup menjanjikan.
Obat yang menunjukkan potensinya di laboratorium tak selalu berarti bisa bekerja untuk mengobati virus pada manusia. Peneliti perlu mengujinya pertama-tama pada hewan dan kemudian pada manusia di laboratorium. Peneliti berharap segera menemukan obat untuk melawan virus yang penyebarannya lebih cepat dibanding yang diduga.
Dua obat ribavirin dan interferon antivirus yang telah dicobakan pada pasien MERS ternyata tak bekerja. "Ini awal yang baik," kata Dr Tony Fauci, Kepala National Institute for Allergy and Infectious Diseases, yang membiayai dan melakukan penelitian.
"Tapi setidaknya ini merupakan petunjuk yang kuat ke arah yang benar," katanya.
MERS dari Unta
SARS ditemukan berasal dari hewan musang sedangkan MERS pada unta. Daniel Chu dari University of Hong Kong melakukan tes daging unta yang disembelih di Mesir. Dua dinyatakan aktif terinfeksi dan lebih dari 90 persen dari 52 unta memiliki antibodi terhadap virus. Ini menunjukkan mereka pernah terinfeksi di masa lalu.
"Temuan kami mengonfirmasi bahwa MERS menginfeksi unta dromedaris dan bahwa virus ini secara genetik sangat mirip dengan MERS (virus) yang menginfeksi manusia," tulis peneliti yang diterbitkan dalam jurnal Emerging Infectious Diseases.
Peneliti juga menguji 179 pekerja rumah jagal, tapi tak menemukan bukti salah satu dari mereka terinfeksi.
"Temuan kami memperkuat bahwa unta bisa menjadi sumber potensi infeksi pada manusia dan menekankan perlunya penyelidikan epidemiologi sejarah manusia tertular MERS," tulis Chu.
Advertisement
MERS sudah menyebar dalam beberapa tahun terakhir. Setidaknya sudah 614 orang yang terinfeksi dan merenggut nyawa 181 orang di antaranya. Tiga kasus ditemukan di Amerika Serikat. Dua kasus terjadi pada petugas kesehatan yang mengunjungi AS dari Arab Saudi. Keduanya sudah sempuh sepenuhnya dan pasien ketika bahkan tak pernah sakit parah.
Rumah Sakit Orlando mengeluarkan pernyataan bahwa tujuh petugas kesehatan yang kontak dengan pasien kedua telah dibersihkan dari infeksi dan bisa kembali kerja.
MERS merupakan anggota dari keluarga coronavirus yang biasnaya menyebabkan flu. Namun, pada 2003, virus korona baru yang disebut SARS menginfeksi 8.000 orang dan menewaskan 770 orang.