Liputan6.com, Jakarta Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini bahwa ini adalah saat untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.
Karenanya dapat dipahami jika kemudian masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan Suro. Pesta pernikahan yang biasanya berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap tidak selaras dengan lelaku yang harus dijalani selama bulan Suro. Karena itu, kebanyakan pesta pernikahan dilakukan sebelum bulan Suro.
Terlepas dari mitos yang beredar dalam masyarakat Jawa berkaitan dengan bulan Suro, namun harus diakui bersama bahwa introspeksi menjelang pergantian tahun memang diperlukan agar lebih mawas diri. Dan bukankah introspeksi tak cukup dilakukan semalam saat pergantian tahun saja?
Advertisement
Makin panjang waktu yang digunakan untuk introspeksi, niscaya makin bijak kita menyikapi hidup ini. Inilah esensi lelaku yang diyakini masyakarat Jawa sepanjang bulan Suro.
Lelaku untuk mawas diri ini, dalam kasanah mistik kejawen, menurut Penulis buku 'Mistik Kejawen' Suwardi Endraswara, inilah yang disebut dengan semedi atau samadi. Ini merupakan laku mistik yang indescritible atau sulit dilukiskan. Menurut Suwardi, ritual semedi melibatkan rasa yang dinamakan rasa sejati.
"Semedi merupakan jalan spiritual yang dikenal dengan laku tarekat dan hakikat untuk mencapai makrifat,"jelas Suwardi. Semedi adalah jalan untuk mencapai intisari mistik yaitu hubungan langsung dengan Tuhan. Jalan yang ditempuh melalui pengasingan diri (bertapa, menyepi) dan berkontemplasi (semedi).
Pada satu saat, manusia yang bersamadi akan sampai pada tingkat kesatuan mistik dengan Tuhan.Â