Cegah Korupsi, Para Dokter Akan Dilarang Terima Sponsorship

KPK mencegah konflik kepentingan antara dokter dan perusahaan farmasi dengan membuat aturan untuk melarang dokter menerima sponsorship.

oleh Gabriel Abdi Susanto diperbarui 05 Feb 2016, 14:19 WIB
Diterbitkan 05 Feb 2016, 14:19 WIB
Dokter
Ilustrasi Dokter (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta KPK mencegah konflik kepentingan antara dokter dan perusahaan farmasi dengan membuat aturan untuk melarang dokter menerima 'sponsorship' langsung.

"Ada 126.000 dokter di Indonesia, dan gratifikasinya sangat unik karena mereka (dokter) harus datang ke seminar-seminar ilmiah. Namun negara belum bisa menyediakan transportasi dan akomodasi, sehingga masuk 'sponsorship' dari perusahaan farmasi," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Selasa.

"Namun khawatirnya akan jadi gratifikasi atau conflict of interest. Jadi saat (dokter) memberikan resep (malah) mengingat sponsor-sponsornya," tutur Pahala Nainggolan.

Selain Pahala, dalam konferensi tersebut hadir juga Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan Purwadi, Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Dorodjatun Sanusi, Konsil Kedokteran Indonesia Bambang Supriyatno, Sekretaris Utama Badan Pengawas Obat dan Makanan Reri Indriani dan Sekjen IDI Adib Khumaidi.

"Kepentingan KPK adalah di bidang pendidikan dan kesehatan. Kita lihat ada praktik yang sudah berjalan puluhan tahun pemberian yang biasa terjadi. Tidak bisa kita larang sama sekali karena dokter butuh kredit profesi setidaknya 250 agar tetap bisa praktik dalam waktu lima tahun. Tapi kalau diperbolehkan terima 'sponsorship' juga salah karena konflik kepentingan sangat tinggi jadi kita ambil jalan tengah dengan memberikan lewat insititusi dan organisasi profesi," kata Pahala.

Menurut Pahala, dalam 5 tahun, seorang dokter harus mengumpulkan 250 kredit profesi sehingga dalam satu tahun ada 50 kredit. Dari satu seminar, dokter dapat mengumpulkan 3-5 kredit sehingga dokter minimal perlu menghadiri 10 seminar.

"Dokter yang datang ke KPK kira-kira yang dia laporkan menerima gratifikasi Rp 3 juta. Jadi 1 dokter butuh Rp 30 juta untuk mendapat kredit selama setahun, ada 126.000 dokter di Indonesia dan masing-masing butuh Rp 30 juta per tahun dan silakan dikalikan 5 tahun. Itulah biaya yang dibutuhkan untuk 'continuing profesional education'. Makanya kalau 'sponsorship' datang dari perusahaan farmasi tidak mungkin ditolak," jelas Pahala.

Secara jangka panjang, KPK ingin agar pelayanan kesehatan warga negara harus rasional, baik sisi pelayanan maupun obat yang standar.

Irjen Kemenkes Purwadi menargetkan waktu seminggu untuk merevisi Peraturan Menteri Kesehatan RI No 14 Tahun 2014 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kemenkes agar sesuai dengan kesepatakan tersebut.

"Apa yang disepakati hari ini ada yang sejalan dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No 14 Tahun 2014 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kemenkes dan ada juga petunjuk teknisnya. Saya kira seminggu setelah ini akan keluar revisinya dan penjelasan lebih lanjut, semakin cepat lebih baik," kata Purwadi.

Perbaikan aturan itu juga tidak menghilangkan seluruhnya 'sponsorship' yang diberikan oleh perusahaan farmasi.

"Dokter itu tidak sebagai agen (farmasi) percayalah, kalau pengawasan organisasi dan profesi belum memadai maka ada media dan KPK yang mengawasi. Tapi tanpa 'sponsoship' juga tidak mungkin karena pemerintah belum bisa hadir sepenuhnya maka masuklah 'sponsorhsip' di situ. Saya yakin dokter-dokter akan memenuhi aturan ini," kata perwakilan Konsil Kedokteran Indonesia Bambang Supriyatno.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya