Idap Thalasemia Tak Halangi Annisa untuk Jadi Ilmuwan

Sepak terjang Annisa, pengidap thalasemia sejak usia 6 bulan.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 10 Mei 2017, 08:24 WIB
Diterbitkan 10 Mei 2017, 08:24 WIB
Thalasemia
Annisa Octiandari Pertiwi mengidap thalasemia mayor sejak usia 6 bulan. (Foto: Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Liputan6.com, Jakarta Annisa Octiandari Pertiwi, perempuan kelahiran 1993 ini sudah mengidap thalasemia mayor sejak berusia 6 bulan. Kini, di usianya yang genap 24 tahun, dia masih bercita-cita menjadi ilmuwan.

Ketika diwawancarai khusus oleh Health-Liputan6.com di Kementerian Kesehatan pada Senin (8/5/2017), raut wajah dan tubuhnya terlihat energik, ceria, dan penuh semangat. Ia menceritakan perjalanannya saat pertama kali didiagnosis thalasemia mayor.

"Sebenarnya, orangtua saya kaget juga anaknya sakit thalasemia. Sebelum dibawa ke dokter, saya sempat sakit beberapa minggu. Muka pucat dan demam naik-turun," katanya.

Waktu itu, kata dia, orangtuanya sempat memberi obat penurun demam. Tapi demamnya hilang dan muncul, begitu terus. Hingga akhirnya dia dibawa ke rumah sakit. "Dari pemeriksaan di rumah sakit besar, saya didiagnosis mengidap thalasemia mayor," ungkap Annisa.

Perjuangan untuk hidup sebagai pengidap thalasemia begitu berat. Namun, berkat dorongan dan semangat keluarga serta teman-teman yang saling menguatkan, Annisa merasa dirinya tidaklah sendirian.

Ia juga mengakui, dirinya sempat dikira hamil oleh teman-temannya saat SD karena perutnya membesar (membuncit)--efek dari kinerja hati dan limpa yang ikut memproduksi sel darah merah.

"Dulu saat SD, saya suka dikatain 'Eh, kamu hamil ya, hamil.' Saya cuma senyum saja. Toh, saya masih bisa berprestasi walaupun mengidap thalasemia," ujarnya sambil tersenyum.   

Mulai mengenal thalasemia

Mulai mengenal thalasemia

Menyoal dirinya yang mengidap thalasemia, Annisa selalu penasaran akan kondisinya. Dia juga pernah bertanya pada orangtuanya, kenapa dia harus selalu transfusi darah. Namun ketika itu orangtuanya hanya menjawab dengan alasan agar bisa sekolah.

"Mama bilang, 'Kamu butuh transfusi darah agar bisa sekolah. Mau sekolah atau cuma main-main saja?' Saya jawab, 'Mau sekolah.' Pemahaman saya mulai meningkat saat SMA dan kuliah. Oh, ternyata saya terkena thalasemia dan butuh transfusi darah," papar Annisa.

Kesadaran untuk minum obat pun bertambah. Annisa harus minum obat penambah darah setiap hari. Ia mengaku, sempat bosan dan lelah karena harus transfusi dan minum obat terus.

"Dulu mikirnya gitu, bosan dan capek. Tapi sekarang tidak begitu. Saya suka diingetin sama teman-teman. Sudah minum obat atau belum. Jangan lupa transfusi darah. Kami saling mengingatkan dan menguatkan," tambahnya.

Belajar jadi terganggu

Belajar jadi terganggu

Transfusi darah menjadi kebutuhan tiap bulan bagi Annisa. Saat awal-awal transfusi darah, kebutuhan darah 2-3 kantong. Seiring bertambahnya usia dan aktivitas yang meningkat, Annisa harus menjalani transfusi darah hingga 3-4 kantong.

Salah satu efek yang dirasakan, ia kerap mimisan karena kondisinya yang lemah. Selain itu, ia sempat ketinggalan pelajaran gara-gara sering izin transfusi darah. Tapi pelajaran yang tertinggal terus dikejar.

"Saat kuliah, saya juga sempat merasakan perkuliahan jadi terganggu. Saya kuliah di Bandung tapi transfusi darahnya harus tetap di Jakarta. Jadi, tiap bulan, saya izin 3-4 hari untuk transfusi darah. Misal, bulan ini izinnya hari Senin dan Selasa. Bulan depan izinnya hari Rabu-Kamis. Ya,  pintar-pintar juga buat bagi waktunya," ujarnya.

Sulit memeroleh pekerjaan

Sulit memeroleh pekerjaan

Sekarang Annisa sudah lulus dari jurusan Biologi molekuler Universitas Padjajaran Bandung, Jawa Barat.

Salah satu kendala setelah lulus kuliah bagi Annisa adalah kesulitan mendapatkan pekerjaan. Hal ini dikarenakan dirinya harus menjalani transfusi darah tiap bulan. Tiap bulan pasti ada bolosnya, kata Annisa.

Meski mengidap thalasemia, Annisa tetap semangat untuk menjalani transfusi darah. (Foto: Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

Meski sulit mendapatkan pekerjaan, ia mulai menapaki kegiatan lain yakni Komunitas Thalassemia Movement.

"Komunitas ini dibangun untuk mengedukasi soal seluk-beluk thalasemia. Apa itu thalasemia dan cara mencegah agar thalasemia tidak berkembang lebih banyak lagi di Indonesia. Konsep edukasinya berupa cara yang anak muda banget. Informasinya disebar lewat instagram dan media sosial lainnya," ujarnya.

Bertahan hidup

Bertahan hidup

Tidak mudah menjadi pengidap thalasemia mayor. Annisa melihat teman-teman yang senasib dengan dirinya mudah menyerah dan patah semangat. Hal ini berkaitan efek dari transfusi darah yang dilakukan.

Pengidap thalasemia biasanya mengalami perubahan tulang wajah, perut membesar (membuncit), dan kulit menghitam. Akibat perubahan fisik ini, maka muncul permasalahan psikologis.

"Banyak dari teman-teman saya yang juga mengidap thalasemia jadi kurang mental. Mereka menganggap dirinya jelek dan tidak berguna apa-apa karena kulitnya menghitam dan perut membesar. Bahkan ada yang putus sekolah dan bertanya, 'Buat apa hidup?," ucap Annisa dengan wajah pilu.

Padahal, para pengidap thalasemia juga mampu bertahan hidup. Adanya semangat dari orangtua dan teman-teman membuat hidup tetap bermakna. Annisa menceritakan, ada juga teman-temannya sesama pengidap thalasemia sudah lulus kuliah dan bekerja.

Menjadi ilmuwan

Menjadi ilmuwan

Menggapai cita-cita sebagai ilmuwan mungkin tidak mudah. Tapi Annisa tidak mudah menyerah. Dia masih berusaha mewujudkan mimpinya sembari menjalani transfusi darah, minum obat teratur, dan pemeriksaan kesehatan ruitn enam bulan sekali. Dari pemeriksaan jantung, paru-paru sampai hati.

"Yang penting, ada kemauan menjalani transfusi dan pemeriksaan kesehatan. Intinya, kita bisa kok hidup lebih lama," tutupnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya