Liputan6.com, Jakarta Puspitasari (47) bisa jadi termasuk wanita yang tegar dan luar biasa. Bayangkan, delapan kali ibu yang kerap dipanggil Ita ini mengalami keguguran. Hal ini tentu saja bukan persoalan sederhana. Keguguran sekali saja bagi kebanyakan wanita sudah cukup menguras energi bahkan membuat frustrasi.
Baca Juga
Advertisement
Dosen di Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia ini juga harus berkali-kali ganti dokter dan minum obat demi mengatasi keguguran yang berulang. Meski begitu, keguguran tetap dialaminya.
Mengidam anak kedua
Cerita bermula usai Ita menyelesaikan S2. Waktu itu, tahun 2004, perempuan berwajah manis ini sudah menjadi pengajar di Universitas Indonesia. Dan ia mengidamkan kehadiran anak kedua. Ini karena anak sulungnya sudah berusia 5 tahun. Pikirnya, sudah saatnya untuk memberi adik bagi si sulung.
Ita hamil, sayang kehamilannya hanya bertahan beberapa minggu dan keguguran. Kondisi ini terus-menerus terjadi hingga tahun 2009. Di 2008, ia bahkan sudah mengalami empat kali keguguran. Pemeriksaan pun sudah dilakukan. Namun, belum diketahui secara pasti penyebabnya. Dokter hanya mengatakan, penyebab keguguran karena toksoplasma—virus yang bisa menginfeksi janin.
“Saya penasaran penyebabnya. Lalu ada teman yang menyarankan untuk periksa darah. Kali saja problem saya karena darah. Dan benar. Saat saya periksa darah di rumah sakit di bilangan Cikini, Jakarta, disebutkan penyebabnya kemungkinan besar karena darah saya kental. Darah saya mudah mengental,"ujar Ita ketika berbincang dengan Health Liputan6.com di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, Rabu (25/10/2017).
Para dokter menyebut kelainan yang diderita Ita dengan APS (Antiphospholipid antibody syndrome). Kelainan darah inilah yang menyebabkan kejadian keguguran berulang. Penyumbatan pada pembuluh darah menyebabkan aliran darah tidak lancar.
Akibatnya, Ita harus minum obat pengencer darah agar darah tidak mudah mengental. Ita tidak tahu bahwa mudahnya sakit kepala dan tidak bisa tahan panas merupakan gejala kondisi darah mudah mengental yang dialaminya.
“Saya paling tidak bisa tahan panas. Sedikit saja panas, kepala langsung sakit luar biasa. Tapi waktu itu saya belum tahu. Setelah tahu, saya harus minum obat ascardia untuk mengencerkan darah. Dokter juga pesan, kalau hamil lagi harus segera konsultasi lagi,” ungkap wanita kelahiran Jakarta, 1970.
Simak video menarik berikut ini:
Suntikan pengencer darah
Tahun 2009, Ita hamil lagi. Tapi janinnya tidak bisa diselamatkan. Ia harus menjalani kuretase (tindakan medis mengeluarkan jaringan dari dalam rahim) di usia kandungan 3,5 bulan. Prosedur kuretase ini dengan operasi. Cukup berbeda dengan prosedur kuretase yang dilakukan selama ini. Pada keguguran sebelumnya, ia menjalani kuretase biasa dengan alat kuret yang dimasukkan melalui organ intim.
Awal tahun 2010, Ita hamil lagi. Ketika tahu hamil, ia sempat cemas. Rasa takut menyelimutinya. Dia berharap tak keguguran lagi. Rasa kehilangan itu menyayat hatinya.
Akhirnya, ia berkonsultasi ke dokter spesialis penyakit darah. Demi menjaga si bayi, Ita harus disuntik tiga kali sehari di bagian perut untuk mengencerkan darah sehingga bayi bisa makan dan bernapas.
“Dokter bilang, suami bisa bantu menyuntik. Waktu itu kami diajari dokter. Tapi suami tidak berani. Akhirnya, saya suntik sendiri. Tiap ada adegan menyuntik, suami harus keluar kamar dulu,” ucap dosen yang tinggal di Bukit Duri, Jakarta Selatan ini.
Bukannya tega membiarkan istrinya menyuntik, sang suami sebenarnya tak berani melihat darah yang keluar dari gusi di mulut istrinya. Apalagi bekas suntikan di perut juga terlihat membiru. Bahkan hingga usia kandungan 7 bulan, bekas suntikan berwarna biru itu memenuhi perutnya.
Ini karena Ita harus suntik tiap pagi, sore, dan malam. Jeda 8 jam ini bertujuan agar darah tidak terlalu encer. Saking seringnya, Ita kadang-kadang tertidur dan baru terbangun pada dini hari, pukul 01.00 pagi. Dan ia harus tetap suntik.
Advertisement
Darah merembes keluar
Agar terpantau kondisi kekentalan darahnya selama hamil, Ita harus rutin cek darah tiap minggu. Kalau darah makin mengental, dosis harus ditambah. Saking banyaknya dosis obat yang disuntikkan, tak heran bila Ita kerap mendapati rembesan darah keluar dari gusi dan kulit di bagian punggung tangan.
“Ini yang jadi sebab suami tidak berani menyuntik. Tiap kali sehabis sunik pasti suami saya melihat, keluar darah atau tidak dari mulut,” ucap Ita.
Layaknya dokter, Ita pun menjelaskan bahwa darah kental itu berarti darah yang membeku. Dengan suntik obat, diharapkan darah menjadi encer. Yang encer diharapkan darah di bagian perut—rahim. Di dalam rahim inilah janin harus makan dan bernapas dengan tali pusar.
"Darah yang membeku mengakibatkan oksigen tidak mengalir ke janin. Demikian juga makanan. Ini menyebabkan terjadinya kematian bayi di dalam kandungan (keguguran),” jelas Ita.
Selama hamil, ada momen tertentu saat tidak terasa gerakan di perut. Saat itulah, Ita harus langsung cek darah. Bayi yang tidak bergerak atau gerakannya melambat bisa jadi karena darah mulai membeku. Karena itu, harus segera disuntik dengan obat pengencer darah dosis tinggi.
Saking sakitnya, Ita pernah menangis meraung-raung. Kepedihan ini makin terasa ketika suaminya tidak ada di rumah atau keluar kota. Persisnya saat dinas ke Palembang, dan hanya pulang ke rumah Sabtu-Minggu.
“Saya juga selalu ngajak ngomong (bayi), ‘Jangan mati ya. Hidup terus ya.’ Yang membuat saya kuat juga berkat dukungan teman-teman. Paling sama teman-teman diajak makan bareng,”ujar Ita mengenang.
Kontrol tiap minggu
Pada kehamilan di tahun 2010 ini, Ita bisa seminggu sekali kontrol ke dokter spesialis penyakit darah. Perjuangannya mengantre tidak mudah. Hal ini karena Ita harus berjuang melawan ratusan pasien lain yang juga menunggu giliran pemeriksaan darah.
“Kalau saya sudah pesan antrean dua minggu sebelumnya, paling cepat dapat giliran nomor 70-an. Dokter spesialis penyakit darah buka praktik di sore hari. Sebelum periksa ke dokter, saya juga harus cek darah ke laboratorium. Hasil cek darah baru diserahkan ke dokter. Karena laboratoriumnya tutup jam 6 sore. Jadi, saya minimal datang sebelum tutup kan. Padahal, giliran saya konsultasi ke dokter jam 10 malam,” tutur Ita.
Tak terbayangkan, Ita harus menunggu dari pukul 17.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB. Terkadang ia dapat giliran konsultasi pukul 23.00 WIB.
Selama menunggu konsultasi, ia juga dilanda kegalauan. Ia tidak tahu, apakah janin yang dikandungnya tetap hidup atau malah kembali keguguran. Tapi ia tetap harus berkonsultasi agar janinnya hidup.
Selain kontrol ke dokter spesialis penyakit darah. Ita harus kontrol ke dokter kandungan. Dokter kandungan selalu menindaklanjuti informasi dari dokter spesialis penyakit darah. Segala saran dari dokter spesialis penyakit darah diikuti.
(Bersambung..)
Advertisement