Liputan6.com, Jakarta Suara piano terdengar mengalun dari dalam ruko yang terletak di daerah Fatmawati itu. Ketika tim Health-Liputan6.com melangkah masuk, tampak seorang pria berkacamata sedang duduk di balik grand piano berwarna cokelat tua yang terletak di bagian depan ruangan.
"Piano ini selalu saya bawa kemana-mana setiap konser di Jakarta," ujar pria tadi, sang maestro piano, Ananda Sukarlan.
Baca Juga
Mengenakan kaus hitam berlengan pendek dan celana jeans, pria 49 tahun itu terlihat santai, dan jauh berbeda dari penampilannya di foto, yang biasanya selalu mengenakan pakaian resmi, seperti batik atau jas.
Advertisement
Nama Ananda Sukarlan kini memang tengah hangat dan mencuat. Semua orang yang punya akses ke media sosial atau aplikasi berkirim pesan, pasti kini sudah mendengar nama pianis yang kariernya besar di Eropa ini.
Ananda Sukarlan adalah satu-satunya orang Indonesia yang namanya masuk dalam daftar Outstanding Musicians on the 20th Century. Tapi bukan bakat dan kepiawaiannya itu yang tengah marak diperbincangkan. Pria yang sempat bersekolah di SMA Kolese Kanisius, sebuah sekolah Katolik, kini tengah dituding sebagai sosok yang intoleran.
"Justru saya, tuh, toleran banget," ujarnya sambil tertawa ketika mendengar tudingan tadi.
Tanggal 11 November 2017 kemarin, Ananda Sukarlan berjalan keluar ruangan ketika Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, tengah berpidato di atas panggung acara SMA-nya. Aksi walk-out-nya membuat pendiri Yayasan Sastra Musik Indonesia (YSMI) ini jadi sasaran empuk warganet di media sosial. Ananda Sukarlan pun kemudian dianggap tidak punya toleransi, alias intoleran.
"Walk-out itu justru bentuk toleransi," sanggahnya. "Dibilang intoleran karena saya enggak setuju sama Pak Anies terus saya keluar."
Melihat kehebohan dan serangan yang diterimanya atas aksi walk-out-nya itu, Ananda Sukarlan mengaku tidak peduli. "Santai saja," jawabnya.
Menurutnya, tindakannya itu adalah bentuk dari nilai-nilai sekolah yang masih dipegangnya. "Salah satu nilai Kanisius itu tentang kejujuran," jelas Ananda. "Kita tuh harus selalu mengekspresikan apa yang kita rasakan, apa yang kita percaya, dengan cara yang sopan. Dan menurut saya walk-out itu sopan."
"Kalau ada orang yang bilang saya enggak santun, ya saya enggak bisa apa-apa lagi. Apa saya harus ngesot?" selorohnya.
Â
Â
Â
Toleransi Dulu dan Sekarang
Sebagai pemeluk agama Islam, Ananda Sukarlan mengakui kalau toleransi di Indonesia kini menurun. "Toleransi di Indonesia merosot, karena pilkada makin merosot," jelasnya. "Karena (pilkada) seperti confirm ke orang-orang, agama ini dan agama ini tuh paling benar. Jadi toleransi dihilangkan karena merasa paling benar sendiri."
Sebagai seorang Muslim yang bersekolah di sekolah Katolik, Ananda Sukarlan mengatakan, ada perbedaan sangat jauh antara toleransi di Indonesia dulu dan sekarang.
"Dulu tuh kepikiran aja enggak kalau kita beda agama," cetusnya. "Ketemu orang baru enggak pernah mikir (untuk memperkenalkan diri) 'Nama saya ini, agama saya ini.'"
"Dulu enggak ada restoran digrebek di bulan Ramadan. Itu bukan masalah toleransi, tapi masalah menekan hawa nafsu," lanjutnya lagi dengan sedikit berapi-api.
"Karena saya sekolah di sekolah Katolik, jadi orangtua saya masukin saya ngaji, biar saya belajar Islam," lanjutnya. "Saya tuh belajar, orang puasa harus menghormati yang enggak puasa, bukan sebaliknya. Jadi puasa kita itu sah karena kita menekan hawa nafsu."
Pri ini juga mengakui, pengalamannya lama tinggal di negeri orang juga mengajarkannya untuk jadi lebih menghargai perbedaan dan toleransi.
"Saya pernah menjadi minoritas, jadi saya tahu rasanya," ujar Ananda yang kini juga tinggal di Spanyol.
Advertisement
Makna Toleransi di Mata Ananda Sukarlan
Ananda Sukarlan juga mengingatkan untuk bisa membedakan antara kepo dan intoleran.
"Beda antara masalah intoleransi dan kepo. Kalau ada orang lain senang, walaupun mereka dosa, kalau kita enggak dosa, ya biarin aja. Yang nanggung dosanya kan mereka," jelasnya. "Kita enggak akan jadi lebih suci kalau nge-judge (menghakimi) mereka, karena yang bisa menghakimi itu cuma Tuhan."
Ananda mengatakan, toleransi itu bersatu walau berbeda. "Dengan menghargai perbedaan, kita jadi bisa membuat perubahan, to make this world a better world," lanjutnya lagi.
Menjadi seseorang yang toleran, bukan berarti kita tidak bisa menyampaikan pendapat. Ananda mengingat, pendapat harus disampaikan dengan jujur, tapi harus tetap dengan cara yang sopan.
"Semua orang berbeda, kita dilahirkan berbeda," ujarnya lagi. "Di musik, kalau dalam orkes instrumennya sama semua, bakal membosankan. Dan kalau kita semua sama, Tuhan itu kerjaannya cuma copy paste," tutupnya.