Liputan6.com, Jakarta Edward Bachtiar, 53, memulai karier sebagai relawan Palang Merah Indonesia (PMI) tahun 1982. Pada waktu itu, ia menjadi anggota Korps Sukarela PMI, yang bertugas di bagian dapur umum. Seiring waktu, Edo, sapaan akrabnya setia menekuni dunia PMI hingga ia bisa mencapai posisinya sekarang, Kepala Markas PMI Jakarta Pusat. Edo menjabat dari tahun 2016 sampai sekarang.
Baca Juga
Advertisement
Perjalanan pria kelahiran Maninjau, 26 Juli 1964 tertarik masuk PMI bermula kala dirinya pertama kali menolong orang lain yang tertabrak kendaraan.
"Waktu saya masih STM (Sekolah Teknik Menengah), saya pernah menolong orang yang tertabrak. Ternyata yang ditabrak itu orangnya berprofesi dokter. Keinginan menolong muncul. Sebelum masuk PMI, saya aktif di PMR tahun 1980 dan mengikuti berbagai pelatihan pertolongan pertama," kata Edo saat berbincang dengan Health Liputan6.com melalui telepon, ditulis Selasa (5/12/2017).
Pelatihan dari Palang Merah Remaja (PMR) menjadi bekal saat dirinya masuk menjadi relawan PMI Cabang Jakarta Pusat. Edo menuturkan, beberapa pengalaman berkesan saat ia ditugaskan di lapangan. Ia pernah menangani korban Tragedi Kereta Bintaro pada 1983. Pengalaman ini sangat berbekas di pikirannya.
"Saya ikut mengangkat korban yang terjepit baja kereta. Banyak korban yang saya angkat. Tapi saya ingat, korban terakhir yang saya tolong namanya Urip. Banyak korban yang meninggal. Bau mayat di tubuh saya rasanya tidak hilang hingga beberapa hari, sekitar tujuh hari," papar Edo.
Pada Kerusuhan Mei 1998, Edo juga menolong korban luka tembak. Ia mengaku, baru pertama kali melihat korban luka tembak. Ia pun bertugas membawa korban luka tembak mendapat pertolongan pertama dan membawa ke rumah sakit.
Di PMI, Edo tak hanya bertugas menangani kecelakaan dan bencana, ia juga pernah ditugaskan ke pedalaman Papua pada Mei 1998. Selama dua bulan, ia harus mendistribusikan barang kebutuhan sehari-hari karena adanya kekeringan di pelosok Papua.
Â
Â
Simak video menarik berikut ini:
Gempa Flores 1992
Bencana Gempa Flores 1992 juga sangat berkesan di hati Edo. Saat diterjunkan, ia melakukan bakti sosial pada tahun 1993 tanpa dibekali apapun soal penanganan korban dan situasi rinci saat bencana terjadi. Ia mengikuti hati nurani dan berbekal pengetahuan dari pelatihan yang diperolehnya.
"Saya menangani korban yang trauma dan mencoba mengalirkan air. Aliran air sempat terhambat. Padahal, masyarakat sangat membutuhkan air. Saya akhirnya bisa membuka akses mengalirkan air. Awalnya, masyarakat tidak percaya kalau saya bisa membuka akses aliran air. Sampai ada seorang warga yang bilang, 'Kalau airnya berhasil mengalir, saya akan gendong Pak Edo," tutur Edo sambil tertawa.
Setelah Edo berhasil membuka akses aliran air. Warga itu pun menepati janjinya. Ia menggendong Edo di depan umum. Sebagai tanda syukur, masyarakat menyajikan makanan kepada Edo dan timnya.
Dalam menangani korban trauma pasca gempa, Edo mengaku, dirinya tidak pernah belajar soal psikologi. Ia hanya orang yang bertugas di lapangan. Namun Edo yakin, kuncinya adalah kepedulian terhadap korban.
"Yang penting itu kita harus care (peduli) sama mereka (korban). Saya ini orang yang terbuka. Saat saya melihat korban, saya bisa langsung paham, apa yang dirasakan korban," tuturnya haru.
Advertisement
Tsunami Aceh 2004
Bencana Tsunami Aceh pada tahun 2004 juga membuat Edo ikut andil. Yang menarik, saat itu seluruh rekan Edo diminta berangkat ke Aceh, sedangkan ia tidak mau berangkat. Â
"Saya hanya berpikir, kalau semuanya disuruh berangkat. Maka, tidak ada yang berjaga di Jakarta. Awalnya, kami tidak ada rencana untuk membuka posko. Tapi akhirnya, posko sumbangan dibuat dan dibuka selama 10 hari. Jadi, saat rekan lain sudah terbang ke Aceh, saya menangani posko sumbangan di Jakarta," ucap Edo dengan nada yang tegas.
Situasi di Jakarta juga harus diperhatikan, lanjutnya. Banyak bantuan yang datang dari warga untuk membantu korban Tsunami Aceh. Tapi beberapa hari setelah posko dibuka, Edo menyusul diberangkatkan ke Aceh. Rencana semula memang ke Aceh, tapi dirinya tidak bisa langsung ke Aceh. Ia tiba di Medan.
Situasi pasca tsunami cukup menyulitkan transportasi tiba di lokasi bencana. Hanya helikopter yang bisa masuk membawa pasokan kebutuhan korban. Di Medan, Edo andil dalam mengelola pasokan bantuan kebutuhan korban.
Raih penghargaan
Berkat andilnya dalam penanganan Gempa Flores 1992 dan Tsunami Aceh 2004, Edo mendapatkan piagam penghargaan. Ia menerima piagam penghargaan atas pengabdiannya melakukan bakti sosial untuk korban Gempa Flores dari pengurus pusat PMI.
Penghargaan lain yang sangat mengagumkan berupa piagam penghargaan dari Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2005. Piagam tersebut sebagai penghargaan atas pengabdiannya menolong korban Tsunami Aceh 2004. Piagam itu juga menjadi simbol kinerjanya selama bertahun-tahun bergabung menjadi relawan.
"Saya menerima penghargaan dan mencapai posisi saya sekarang ini (Kepala Markas PMI Jakarta Pusat) ya dari kinerja sejak jadi relawan dulu. Saya ikut pelatihan, terjun ke lapangan, dan menangani korban langsung. Ya, itu masa-masa puncak saya dulu saat tugas di lapangan. Saya sangat menikmatinya," ungkap Edo.
Yang lebih berharga bagi Edo, pencapaian dan keahlian menjadi relawan ia peroleh dari penugasannya di dapur umum.
"Orang cenderung memilih menangani korban langsung. Yang bertugas di dapur umum itu jarang yang memilih. Saat saya jadi relawan PMI pertama kali, saya lebih memilih bertugas di dapur umum. Di sana justru kita menjadi terlatih. Keselamatan korban kan juga ditunjang dengan penyediaan makanan," Edo menambahkan.
Di dapur umum, penyediaan makanan tidak sekadar berdasarkan jumlah korban, misalnya, makanan untuk 1.000 orang. Tapi dari 1.000 orang itu harus rinci, berapa jumlah anak-anak, orang dewasa, dan usia lanjut. Perencanaan mengelola penyediaan makanan di dapur umum harus dikelola dengan benar.
Advertisement