Liputan6.com, Jakarta Keberadaan media sosial sejatinya menjadi sarana bertukar informasi yang sehat. Namun, media sosial bisa juga disalahgunakan sebagai ajang untuk menghina, menindas, merundung, menyudutkan, dan aksi bullying.
Keleluasaan bisa terjadi karena online disinhibition effect. Faktor anonimitas dan minimnya otoritas, berpotensi memicu budaya bullying. Korban perundungan di media sosial bukan hanya menimpa orang dewasa, tapi juga anak-anak dan remaja.
Baca Juga
Seseorang yang memiliki akun media sosial bisa berkomentar secara bebas dan tanpa batas. Belakangan, kids zaman now juga menjadikan kolom komentar di media sosial sebagai lapak untuk menghina, merendahkan, bahkan berkomentar dengan kasar.
Advertisement
Kondisi ini tentu semakin mengkhawatirkan. Banyak anak dan remaja yang tidak paham soal keamanan dalam menggunakan social media. Mereka belum memahami pentingnya pengamanan data pribadi, sehingga tanpa sadar melakukan over sharing data personal.
Psikolog Dr M M Nilam Widyarini, MSi menyatakan media sosial perlahan mengalami pergeseran fungsi. Keberanian seseorang untuk merundung orang lain salah satunya dipengaruhi oleh tidak terjadinya komunikasi face to face. Perkembangan anak yang bebas memakai gawai tanpa monitor dari orangtua, tidak sepenuhnya didukung oleh kesiapan mental dalam menghadapi bullying.
"Soal kesiapan, tentu saja secara umum orang dewasa lebih siap menghadapi bullying di media sosial. Faktornya jelas, wawasan yang sudah lebih luas dan secara mental memang sudah lebih matang. Beda dengan anak-anak dan remaja. Ketika terjadi perundungan, mereka cenderung gelagapan. Rasa kaget itu yang akan memicu mental anak menjadi rapuh," beri tahu Nilam saat dihubungi Health-Liputan6.com, ditulis Selasa (3/4/2018).
Simak juga video menarik berikut :
Butuh peran aktif orangtua untuk melindungi anak dari bullying
Ketua Program Magister Psikologi Profesi di Universitas Gunadarma ini melanjutkan pada era digital seperti sekarang, bullying menjadi semakin kompleks seiring kemajuan teknologi. Anak-anak dan remaja yang tidak siap mental, tentunya berdampak tidak baik.
"Cyber bullying adalah tindak intimidasi, penganiayaan, atau pelecehan kerap dialami anak-anak dan remaja. Bullying, baik di dunia maya maupun di dunia nyata membuat korban menderita emosi negatif berupa sedih, tak berdaya, dan dendam yang akan membekas dalam jangka panjang. Mereka yang tak siap secara mental, susah menangkal emosi negatif," kata praktisi hipnoterapi klinis ini.
Dalam situasi ini, ia mengimbau para orangtua untuk lebih berhati-hati. Ya, aksi bullying bisa terjadi saat anak-anak berada di rumah.
"Masih ada faktor lain yang ikut menentukan kesiapan, yaitu pengenalan akan media sosial atau dunia maya pada umumnya. Orangtua sebaiknya berinteraksi secara intens dengan anaknya. Perlu juga anak diedukasi perihal social media yang berpotensi memberi ruang untuk kebencian. Tidak semua orangtua waspada mengenai hal ini, terutama yang tidak berorientasi pada social media," beber doktor psikolog lulusan Universitas Gadjah Mada tersebut.
Advertisement