Liputan6.com, Jakarta Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) kembali menunjukkan keaktifannya dalam pengendalian tembakau pada generasi muda.
Kali ini, CISDI bersama dengan Prof. dr. Anhari Achadi, SKM, DSc, pakar kebijakan kesehatan dari Universitas Indonesia, memberi kuliah pengantar pada lebih dari 100 mahasiswa Kelas Manajemen dan Kebijakan Kesehatan, Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Materi yang diberikan mengenai advokasi pengendalian tembakau, salah satunya melalui analisis jejaring diskursus dalam cukai rokok.
Baca Juga
Dalam pengantarnya pada kegiatan 6 April 2018 lalu itu, Prof. Anhari menyampaikan urgensi pengendalian tembakau yang merupakan faktor risiko untuk enam dari delapan penyebab kematian terbanyak, yaitu penyakit jantung iskemik, penyakit serebrovaskular, penyakit saluran pernapasan bawah, tuberkulosis, penyakit paru obstruksi kronis, dan kanker paru.
Advertisement
Beliau juga menegaskan bahwa tembakau sama sekali tidak memiliki manfaat dan merusak tubuh dari ujung kepala hingga kaki.
70 Persen Pemuda Indonesia Terpapar Asap Rokok
Dengan bonus demografi yang dimiliki, Indonesia memiliki 16 juta perokok anak setiap tahunnya dan sekitar 70% pemuda Indonesia terpapar asap rokok. Selain itu, tujuh dari sepuluh laki-laki dewasa merupakan perokok aktif dan terdapat peningkatan jumlah perokok perempuan sebesar dua kali lipat dari angka sebelumnya.
Meski demikian, Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia yang belum menandatangani dan meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control atau Kerangka Perjanjian Kontrol Tembakau).
Penandatangan FCTC di Indonesia dapat dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Presiden atau melalui Undang-undang Non-Program Legislasi Nasional di DPR. Mengingat bebannya yang sangat tinggi, berbagai pihak sedang gencar melakukan advokasi secara strategis terhadap pengendalian tembakau di Indonesia.
Nurul Luntungan, Sekretaris Jenderal the 12th Asia Pacific Conference on Tobacco and Health (APACT), memaparkan bahwa harga rokok sangat sensitif dan efektif dalam pengendalian tembakau. Kenaikan cukai rokok sebesar 10,4% oleh Presiden masih dirasa kurang untuk memenuhi tujuan pengendalian.
Meski cukai rokok telah naik, keterjangkauan harga rokok masih memenuhi daya beli masyarakat. Untuk mengendalikan konsumsi, Nurul menambahkan, cukai rokok harus naik sebesar 150%. Kenaikan ini akan meningkatkan tambahan kas negara sebesar 200 triliun, mengurangi 2 juta jiwa kemiskinan dan 4 juta jiwa perokok.
Advertisement
Role Play Advokat Pengendalian Tembakau
Sementara, Anindita Sitepu, Programme Director CISDI menekankan pentingnya kebijakan sebagai alat untuk mendorong perubahan perilaku di masyarakat. Ia menyampaikan bahwa sebagai penggiat kebijakan masyarakat, penting untuk tahu permasalahan, lawan bicara, dan hal yang diinginkan dari pihak tersebut.
Menariknya, para mahasiswa diminta untuk melakukan role play sebagai advokat pengendali tembakau bagi para kementerian, seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perindustrian.
Salah satu mahasiswa yang berperan sebagai pengadvokasi ke Kementerian Kesehatan menyampaikan, “Kementerian Kesehatan harus menaikkan dana usaha kegiatan masyarakat untuk promosi kesehatan pencegahan rokok dan menjadi garda terdepan pengendalian rokok.”
Penting Kenali Pemangku Kebijakan
Proses advokasi tersebut sangat berpengaruh dalam pendekatan seorang advokat dengan penilaian yang benar.
Dalam presentasinya, Yurdhina Meilissa, Policy and Planning Specialist CISDI mengajarkan penggunaan analisis jaringan diskursus untuk mengetahui posisi pemangku kebijakan terhadap sebuah isu, menganalisis hubungan antar aktor dan gagasannya.
Untuk itu, jika ingin melakukan advokasi kebijakan, penting sekali untuk mengenali dan menganalisis pemangku kebijakan beserta ‘jagoan’nya, yang dapat didalami melalui analisis jaringan diskursus.
Advertisement