Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengumumkan bahwa semua penyandang disabilitas termasuk disabilitas mental (gangguan jiwa) memiliki hak suara dalam pencoblosan Pemilu pada 17 April 2019 mendatang. Diperkirakan lebih dari 3.500 orang dengan gangguan jiwa terdaftar dalam daftar pemilih Pemilu tahun 2019 ini.
Kabar tersebut menimbulkan kontroversi di masyarakat. Ada masyarakat yang mendukung hak pilih orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) untuk nyoblos. Namun, ada juga yang tidak setuju.
Advertisement
Baca Juga
Tanggapan negatif, baik dalam bentuk pernyataan penolakan, merendahkan, dan menjadikannya lelucon. Merespons hal tersebut, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Eka Viora memberikan penjelasan.
"Iya, soal ODGJ yang akan ikut Pemilu 2019 memang heboh. Banyak pro kontra karena kurangnya pemahaman masyarakat. Ada stigma negatif dan diskriminasi," jelas Eka saat dihubungi Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Senin, (8/4/2019).
ODGJ juga punya hak pilih yang sama seperti halnya warga negara. Hak pilih ODGJ sudah tercantum dalam hak asasi manusia pada orang dengan disabilitas seperti yang telah dijamin oleh Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan berbagai peraturan perundangan lainnya.
"Orang dengan gangguan jiwa memiliki hak pilih yang sama dengan warga negara lainnya. Ini terkait aspek yuridis yang melekat sebagai hak asasi manusia (aspek filosofis)," lanjut Eka.
Â
Saksikan video menarik berikut ini:
Sudah dijamin sejak tahun 1955
Kesempatan memberikan suara hak pilih bagi ODGJ di Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1955. Ada beberapa regulasi yang berlaku di Indonesia soal hak suara ODGJ. Diantaranya Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, Pasal 28 D ayat 1, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Bab 9, Pasal 43 ayat 1 dan 2, lalu Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 148.
Menurut Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2018 yang terkait Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum--menghilangkan 2 pasal dalam PKPU no 11 tahun 2018.
"Ada pasal 3 ayat 2 poin C menyatakan pemilih sedang tidak terganggu jiwanya, serta pasal 3 ayat 4 yang mengharuskan orang dengan gangguan jiwa membawa surat keterangan dokter untuk bisa memilih," papar Eka dalam keterangan rilis.
Selain itu, regulasi lain meliputi Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, Pasal 28 D ayat 1; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Bab 9, Pasal 43 ayat 1 dan 2; dan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 148.
Soal angka 3.500 ODGJ, Eka menilai, angka ini sebenarnya masih lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan jumlah orang dengan gangguan jiwa yang ada di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, ada lebih dari 500 000 ODGJ.
Advertisement